“Kok uang, Bang?” tanya Giana karena yang lainnya masih syok. “Karena butuh, perusahaan bangkrut. Menjadi tersangka penggelapan dana, kemungkinan Bara atau entah siapa berani membayar mahal untuk membuat Emily dan sekelilingnya menjadi cemas.” Gallen menjawab dengan santai. “Itu baru kemungkinan, aku tidak tahu pasti alasannya apa. Akan aku pastikan sendiri nanti,” tambah Gallen. “Enggak ya Gallen, tidak perlu mencari dan menemuinya.” Emily langsung paham isi kepala Gallen saat ini. “Aku enggak akan membahayakan diri tentu saja, banyak sekali cara senyap Emily. Aku punya keluarga yang semuanya perempuan, jadi aku akan jauh lebih berhati-hati.” Gallen memberikan senyum menenangkan pada Emily. Pembicaraan mereka berlima terhenti ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, semuanya masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat. Giana bermalam dengan mama dan Grace, yang Grace seret saat akan m
“Benar enggak jadi ke hotel?” ledek Emily. “Aku tadi hanya bercanda, manalah ingin bercinta kalau kita sedang menghadapi masalah. Nanti saja kita agendakan. Liburan sama-sama kak Grace, Giana dan mama juga belum bisa terlaksana,” ringis Gallen. “Iya nanti saja kalau memang sudah bisa, jangan dipaksakan. Nanti kita buat yang spesial sama-sama. Ngomong-ngomong kamu keberatan enggak sih kalau aku minta mengisi pidato singkat. Jadikan memang kita cewek semua, aku ingin kamu mewakili papa menyapa para tamu undangan dan mengucapkan beberapa kata yang sudah disiapkan.” Emily menoleh pada Gallen dengan tatap lembut. “Mau dong, suatu kehormatan bisa menyapa para petinggi perusahaan almarhum papa. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak memalukan.” Gallen mengucapkannya dengan bersemangat.Emily tergelak pelan. “Tidak perlu berlebihan, cukup menyapa saja. Dengan keahlian kamu menyusun acara dan berinteraksi dengan banyak klien,
“Mau apa lagi?” tanya Emily kaget saat tiba-tiba langkahnya di cegat oleh Benad saat ia baru saja keluar dari sebuah toilet di sebuah Mall usai menemani Giana mencari sepatu. “Bisa kita bicara?” Benad justru berjalan semakin mendekat pada Emily. “Berhenti di sana atau aku akan teriak,” ancam Emily. Benad mengangkat kedua tangannya dan mundur dua langkah agar sang wanita tidak berteriak serta membuat perhatian banyak orang teralih kepada mereka. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kita tidak pernah ada urusan ya Ben. Tolong sudah jangan mengganggu kami. Saya masih cukup sabar dengan apa yang kamu lakukan kemarin-kemarin, saya tahu yang membuntuti saya dan kak Grace dan yang menjambret saya di basemen adalah kamu. Jadi sudahi sebelum kesabaran saya habis.” Emily memberikan tatap dingin tanpa ekspresi pada laki-laki yang masih berdiri di depannya dari jarak yang lumayan dekat. “Gua hanya min
Emily menarik nafas panjang memandang sekitar ruangan tempat ia di dudukan dan diikat tangannya serta mulut tertutup lakban sementara Benad keluar setelah mengunci ruanganya. Ruangan tersebut bersih tanpa perabotan, bahkan lantainya juga bersih. Bau pelitur dan cat masih menyengat di hidungnya. Kemungkinan baru di renovasi rumah tersebut. “Adik dan laki elu memang sialan. Mati dia gua hantam pakai batu, mampus.” Makian Benad yang kembali menghampiri Emily. Mendengar hal tersebut membeku badan Emily, merinding lehernya membayangkan sang adik dihantam batu oleh orang gila di depannya. Matanya memerah dan dalam hitungan detik air mata menganak sungai. Ia memberontak kuat ingin rasanya mencekik laki-laki yang memandangnya dengan seringai lebar. “Sstt tidak perlu menangisi anak sok pemberani itu, dia sudah mati karena berani-beraninya membuntuti gua.” Benad menghapus air mata Emily namun Emily menghindar menolak di sentuh.
“Ya Allah Emily anakku.” Mama menyambut kedatangan Gallen dan Emily dengan wajah basah karena terus menangis setelah mendapati putri bungsunya, Giana pulang diantar taksi yang kaca belakangnya pecah berantakan dan leher berdarah-darah. Kini melihat pipi kiri Emily bengkak dengan bibir robek dan darah yang masih basah di sana, bertambah kencang tangis dan mama. membelai wajah Emily dengan hati-hati takut membuatnya bertambah sakit sebelum dipeluk dengan tangis tersedu-sedan. “Aku hanya luka di mulut karena kena tampar, Ma. Aku enggak apa-apa, enggak di pukul atau disiksa. Mama jangan menangis lagi.” Emily menarik sudut bibirnya pelan walau terasa perih agar sang mama tidak terlalu mencemaskannya. “Bagaimana enggak apa-apa? ini sampai seperti ini berarti kamu di pukul. Ya Tuhan kenapa ada manusia macam dia, jahat sekali dia itu. Apakah sudah ditangkap, Gallen? Buat dia menerima hukuman seberat-beratnya.” Mama menarik lengan Ga
Gallen meninggalkan kantor polisi bersama Emily, Giana dan sang pengacara. Mama serta Gracia pulang terlebih dahulu selepas mengantar ke rumah sakit. Gallen sendiri belum memberitahukan mengenai surat lusuh yang di masukkan ke dalam dompet Emily. “Abang mau ke mana lagi? tersangkanya belum ditangkap, bahaya.” Giana bertanya pada Gallen yang setelah mengantar dirinya dan Emily langsung hendak keluar kembali. “Abang mau bertemu beberapa orang, tenang saja Abang akan hati-hati. Kalian jangan ke mana-mana dulu ya.” Gallen menepuk kepala Giana yang menggulung rambutnya tinggi. Giana mengangguk, sementara Emily melepas masker yang ia kenakan setelah dari rumah sakit. Pipinya semakin bengkak hingga ia harus menutupinya dengan masker. “Jangan meletakan diri dalam bahaya ya, biar yang berwajib yang mengurusnya. Dia punya senjata api,” tukas Emily. Gallen mengangguk membelai pipi yang tidak bengkak E
“Enggak kamu hajar kan?” tanya Emily saat keduanya sudah berada di atas ranjang mereka.Gallen tertawa kecil. “Mana bisa menghajar narapidana di balik sel, Sayang.” “Kok kamu tahu aku ke sel?” Gallen merangkum wajah Emily memeriksa luka di sana, membelai pipinya yang sudah kempes namun masih tersisa biru. “Kebaca tahu mah sama aku, terus hasilnya bagaimana? dia ngaku?” Emily diam saat Gallen kembali mengolesi obat dari rumah sakit di bibirnya. “Mana ada mengaku, tapi memang seratus persen dia yang menyuruh. Dia masih tergila-gila sama kamu, lebih ke obsesi sih. Merasa terhina, enggak mengaca memang kelakuannya amat hina.” Gallen bersandar di kepala ranjang dengan memeluk tubuh Emily yang terasa berat badannya berkurang. “Padahal sudah dihukum tapi enggak buat dia berpikir dan menyesal, orang seperti itu menyeramkan,” gumam Emily. “Iya memang, akan selalu ada orang-orang seperti dia. Kita kala
“Astaga kalian berantem apa mau saling bunuh?” tanya pengacara yang Gallen hubungi dan datang tidak lama dengan membawa mobil ambulans. “Harapannya sih mati saja selama di rumah sakit,” dengus Gallen. “Astaga bisa dijerat pasal pembunuhan berencana nanti.” Pengacara Gallen segera membantu mengangkat Benad yang sudah tidak sadarkan diri bersama dua orang petugas rumah sakit. “kamu juga ke rumah sakit, kita tunggu polisi datang. Aku sengaja menghubunginya belakangan agar tahu dulu kejadiannya seperti apa.” Pengacara Gallen memberikan tisu agar Gallen menyeka darah dari kening, pipi dan mulutnya. “Pak mari ikut kami ke rumah sakit, bapak juga banyak luka,” tukas salah satu petugas rumah sakit pada Gallen. “Saya akan menyusul setelah polisi datang ke sini, Pak. Tolong pastikan dia tidak sampai kabur, dia tersangka penculikan dan rencana pembunuhan, penggelapan dana dan penipuan lainnya. Ikat pak
“Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse
“Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa
“Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan
“Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad
“Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.
“Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu
Gallen menghela nafas entah untuk ke berapa kali, menyaksikan istrinya yang masih bergeming tidur di sofa tanpa bantal semenjak satu jam lalu. “Ya susah maaf sudah merakit tanpa kamu lihat. Kamu mau aku bongkar lagi itu lemari sama tempat mandi?” Gallen membelai lengan istrinya lembut, duduk berdempetan dengan Emily dalam satu sofa.Emily menarik nafas panjang, ia sejak tadi sedang memikirkan mengapa ia berlebihan sekali marahnya. Tapi masih kesal juga karena Gallen membohonginya dengan mengatakan akan segera pulang menyusul ia dan Giana. Berniat membalikkan badan namun kesusahan karena terlalu sempit.Gallen cepat bangun dari sana dan membantu istrinya bangun pula dengan meringis kecil. Emily sering kesusahan saat bangun dari posisi tiduran, dan hal tersebut sering membuat Gallen takut jika tidak ada yang melihat dan membantu saat Emily hendak bangun.“Kamu tahu aku sangat menunggu momen ini,” lirih Emily.“Iya aku lupa, aku hanya berniat biar yang bes
Gallen tertawa kecil ketika menurunkan semua barang calon kedua putri mereka. Bukan hanya satu taksi seperti dugaan Emily, melainkan dua taksi dan semuanya penuh sesak. Ia yang paling banyak andil memilih barang. “Biar enggak repot pindahkan lagi ya, Bang?” tanya Giana. Gallen menurunkan semua belanjaan mereka di rumah baru yang baru akan ditempati bulan depan karena masih melengkapi barang-barangnya. Rumah yang ia dan Emily bangun dengan penuh kebahagiaan menyambut kedua putri mereka. Rumah yang dihadiahkan Gallen untuk Emily dan menolak dibantu dengan dalih ia memang sudah menabung untuk hal tersebut dari jauh hari. “Iya kita akan cicil untuk pindahan nanti, kalian pulang saja sana. Biar ini Abang rapikan dulu. Istirahat kamu, Emily.” Gallen mengangkat kardus besar berisi dua stroller dengan mudah. Rumah baru Gallen dan Emily tidak terlalu jauh dari rumah peninggalan orang tua Gallen. Hanya lima menit pa
“Bahagia sekali, Kak. Ada apa gerangan?” tanya Giana. “Tentu saja bahagia, hari ini abang kamu akhirnya bisa temani aku belanja kebutuhan si kembar. Abang kamu masih percaya ucapan orang tua dahulu, belum boleh beli-beli kalau belum tujuh bulan. Aku sampai menyimpan semua catatan setiap lihat yang lucu untuk dibeli. Kamu ikut yuk, bolos sehari. Aku kok merasa akan kesal belanja sama abang kamu saja.” Emily melepas tawa. “Hei bicarakan aku terus kamu ya.” Gallen datang dari dalam kamar mencubit pipi Emily pelan. “Memang iya kok, biarkan Giana ikut ya,” pinta Emily. “Iya boleh, Giana yang akan dorong kursi roda kamu dan aku dorong belanjaan karena aku yakin kita bukan mau belanja tapi mau merampok peralatan bayi,” desah Gallen. “Aku enggak mau pakai kursi roda aku bilang, aku sehat dan jalan itu menyehatkan,” tolak Emily. “Menyehatkan itu 20-30 menit, kamu yakin tidak kurang d