“Benar enggak jadi ke hotel?” ledek Emily. “Aku tadi hanya bercanda, manalah ingin bercinta kalau kita sedang menghadapi masalah. Nanti saja kita agendakan. Liburan sama-sama kak Grace, Giana dan mama juga belum bisa terlaksana,” ringis Gallen. “Iya nanti saja kalau memang sudah bisa, jangan dipaksakan. Nanti kita buat yang spesial sama-sama. Ngomong-ngomong kamu keberatan enggak sih kalau aku minta mengisi pidato singkat. Jadikan memang kita cewek semua, aku ingin kamu mewakili papa menyapa para tamu undangan dan mengucapkan beberapa kata yang sudah disiapkan.” Emily menoleh pada Gallen dengan tatap lembut. “Mau dong, suatu kehormatan bisa menyapa para petinggi perusahaan almarhum papa. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak memalukan.” Gallen mengucapkannya dengan bersemangat.Emily tergelak pelan. “Tidak perlu berlebihan, cukup menyapa saja. Dengan keahlian kamu menyusun acara dan berinteraksi dengan banyak klien,
“Mau apa lagi?” tanya Emily kaget saat tiba-tiba langkahnya di cegat oleh Benad saat ia baru saja keluar dari sebuah toilet di sebuah Mall usai menemani Giana mencari sepatu. “Bisa kita bicara?” Benad justru berjalan semakin mendekat pada Emily. “Berhenti di sana atau aku akan teriak,” ancam Emily. Benad mengangkat kedua tangannya dan mundur dua langkah agar sang wanita tidak berteriak serta membuat perhatian banyak orang teralih kepada mereka. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kita tidak pernah ada urusan ya Ben. Tolong sudah jangan mengganggu kami. Saya masih cukup sabar dengan apa yang kamu lakukan kemarin-kemarin, saya tahu yang membuntuti saya dan kak Grace dan yang menjambret saya di basemen adalah kamu. Jadi sudahi sebelum kesabaran saya habis.” Emily memberikan tatap dingin tanpa ekspresi pada laki-laki yang masih berdiri di depannya dari jarak yang lumayan dekat. “Gua hanya min
Emily menarik nafas panjang memandang sekitar ruangan tempat ia di dudukan dan diikat tangannya serta mulut tertutup lakban sementara Benad keluar setelah mengunci ruanganya. Ruangan tersebut bersih tanpa perabotan, bahkan lantainya juga bersih. Bau pelitur dan cat masih menyengat di hidungnya. Kemungkinan baru di renovasi rumah tersebut. “Adik dan laki elu memang sialan. Mati dia gua hantam pakai batu, mampus.” Makian Benad yang kembali menghampiri Emily. Mendengar hal tersebut membeku badan Emily, merinding lehernya membayangkan sang adik dihantam batu oleh orang gila di depannya. Matanya memerah dan dalam hitungan detik air mata menganak sungai. Ia memberontak kuat ingin rasanya mencekik laki-laki yang memandangnya dengan seringai lebar. “Sstt tidak perlu menangisi anak sok pemberani itu, dia sudah mati karena berani-beraninya membuntuti gua.” Benad menghapus air mata Emily namun Emily menghindar menolak di sentuh.
“Ya Allah Emily anakku.” Mama menyambut kedatangan Gallen dan Emily dengan wajah basah karena terus menangis setelah mendapati putri bungsunya, Giana pulang diantar taksi yang kaca belakangnya pecah berantakan dan leher berdarah-darah. Kini melihat pipi kiri Emily bengkak dengan bibir robek dan darah yang masih basah di sana, bertambah kencang tangis dan mama. membelai wajah Emily dengan hati-hati takut membuatnya bertambah sakit sebelum dipeluk dengan tangis tersedu-sedan. “Aku hanya luka di mulut karena kena tampar, Ma. Aku enggak apa-apa, enggak di pukul atau disiksa. Mama jangan menangis lagi.” Emily menarik sudut bibirnya pelan walau terasa perih agar sang mama tidak terlalu mencemaskannya. “Bagaimana enggak apa-apa? ini sampai seperti ini berarti kamu di pukul. Ya Tuhan kenapa ada manusia macam dia, jahat sekali dia itu. Apakah sudah ditangkap, Gallen? Buat dia menerima hukuman seberat-beratnya.” Mama menarik lengan Ga
Gallen meninggalkan kantor polisi bersama Emily, Giana dan sang pengacara. Mama serta Gracia pulang terlebih dahulu selepas mengantar ke rumah sakit. Gallen sendiri belum memberitahukan mengenai surat lusuh yang di masukkan ke dalam dompet Emily. “Abang mau ke mana lagi? tersangkanya belum ditangkap, bahaya.” Giana bertanya pada Gallen yang setelah mengantar dirinya dan Emily langsung hendak keluar kembali. “Abang mau bertemu beberapa orang, tenang saja Abang akan hati-hati. Kalian jangan ke mana-mana dulu ya.” Gallen menepuk kepala Giana yang menggulung rambutnya tinggi. Giana mengangguk, sementara Emily melepas masker yang ia kenakan setelah dari rumah sakit. Pipinya semakin bengkak hingga ia harus menutupinya dengan masker. “Jangan meletakan diri dalam bahaya ya, biar yang berwajib yang mengurusnya. Dia punya senjata api,” tukas Emily. Gallen mengangguk membelai pipi yang tidak bengkak E
“Enggak kamu hajar kan?” tanya Emily saat keduanya sudah berada di atas ranjang mereka.Gallen tertawa kecil. “Mana bisa menghajar narapidana di balik sel, Sayang.” “Kok kamu tahu aku ke sel?” Gallen merangkum wajah Emily memeriksa luka di sana, membelai pipinya yang sudah kempes namun masih tersisa biru. “Kebaca tahu mah sama aku, terus hasilnya bagaimana? dia ngaku?” Emily diam saat Gallen kembali mengolesi obat dari rumah sakit di bibirnya. “Mana ada mengaku, tapi memang seratus persen dia yang menyuruh. Dia masih tergila-gila sama kamu, lebih ke obsesi sih. Merasa terhina, enggak mengaca memang kelakuannya amat hina.” Gallen bersandar di kepala ranjang dengan memeluk tubuh Emily yang terasa berat badannya berkurang. “Padahal sudah dihukum tapi enggak buat dia berpikir dan menyesal, orang seperti itu menyeramkan,” gumam Emily. “Iya memang, akan selalu ada orang-orang seperti dia. Kita kala
“Astaga kalian berantem apa mau saling bunuh?” tanya pengacara yang Gallen hubungi dan datang tidak lama dengan membawa mobil ambulans. “Harapannya sih mati saja selama di rumah sakit,” dengus Gallen. “Astaga bisa dijerat pasal pembunuhan berencana nanti.” Pengacara Gallen segera membantu mengangkat Benad yang sudah tidak sadarkan diri bersama dua orang petugas rumah sakit. “kamu juga ke rumah sakit, kita tunggu polisi datang. Aku sengaja menghubunginya belakangan agar tahu dulu kejadiannya seperti apa.” Pengacara Gallen memberikan tisu agar Gallen menyeka darah dari kening, pipi dan mulutnya. “Pak mari ikut kami ke rumah sakit, bapak juga banyak luka,” tukas salah satu petugas rumah sakit pada Gallen. “Saya akan menyusul setelah polisi datang ke sini, Pak. Tolong pastikan dia tidak sampai kabur, dia tersangka penculikan dan rencana pembunuhan, penggelapan dana dan penipuan lainnya. Ikat pak
Gallen meringis saat Emily mengobati luka-luka lebam di tubuhnya, siang itu ia akan menghadiri panggilan kepolisian kembali. Namun sepertinya badannya tidak sanggup bergerak leluasa. Ia akan meminta izin agar di geser saja harinya. Badannya kaku semua bahkan untuk di gerakkan dari ranjang. “Rumah sakit saja sih, kenapa bandel sekali kamu enggak mau dirawat,” dumel Emily. “Kata Dokternya boleh pulang, makanya aku mending istirahat di rumah saja. Enggak apa-apa Sayang, biarkan aku tidur lagi ya.” Gallen berkata dengan meletakan tangan dengan penyangganya di atas bantal. “’Ya sudah, aku selesaikan pekerjaan sebentar ya di luar.” Emily menatap wajah Gallen yang bengkak setelah semalam tidak bisa tidur. Gallen tidur hingga matahari tinggi, Emily dua kali menengok ke kamar juga masih pulas. Sampai pukul dua siang berniat membangunkan karena belum makan siang, tiba-tiba Giana pulang dengan raut cemas. Emily sudah