“Ya Allah Emily anakku.” Mama menyambut kedatangan Gallen dan Emily dengan wajah basah karena terus menangis setelah mendapati putri bungsunya, Giana pulang diantar taksi yang kaca belakangnya pecah berantakan dan leher berdarah-darah. Kini melihat pipi kiri Emily bengkak dengan bibir robek dan darah yang masih basah di sana, bertambah kencang tangis dan mama. membelai wajah Emily dengan hati-hati takut membuatnya bertambah sakit sebelum dipeluk dengan tangis tersedu-sedan. “Aku hanya luka di mulut karena kena tampar, Ma. Aku enggak apa-apa, enggak di pukul atau disiksa. Mama jangan menangis lagi.” Emily menarik sudut bibirnya pelan walau terasa perih agar sang mama tidak terlalu mencemaskannya. “Bagaimana enggak apa-apa? ini sampai seperti ini berarti kamu di pukul. Ya Tuhan kenapa ada manusia macam dia, jahat sekali dia itu. Apakah sudah ditangkap, Gallen? Buat dia menerima hukuman seberat-beratnya.” Mama menarik lengan Ga
Gallen meninggalkan kantor polisi bersama Emily, Giana dan sang pengacara. Mama serta Gracia pulang terlebih dahulu selepas mengantar ke rumah sakit. Gallen sendiri belum memberitahukan mengenai surat lusuh yang di masukkan ke dalam dompet Emily. “Abang mau ke mana lagi? tersangkanya belum ditangkap, bahaya.” Giana bertanya pada Gallen yang setelah mengantar dirinya dan Emily langsung hendak keluar kembali. “Abang mau bertemu beberapa orang, tenang saja Abang akan hati-hati. Kalian jangan ke mana-mana dulu ya.” Gallen menepuk kepala Giana yang menggulung rambutnya tinggi. Giana mengangguk, sementara Emily melepas masker yang ia kenakan setelah dari rumah sakit. Pipinya semakin bengkak hingga ia harus menutupinya dengan masker. “Jangan meletakan diri dalam bahaya ya, biar yang berwajib yang mengurusnya. Dia punya senjata api,” tukas Emily. Gallen mengangguk membelai pipi yang tidak bengkak E
“Enggak kamu hajar kan?” tanya Emily saat keduanya sudah berada di atas ranjang mereka.Gallen tertawa kecil. “Mana bisa menghajar narapidana di balik sel, Sayang.” “Kok kamu tahu aku ke sel?” Gallen merangkum wajah Emily memeriksa luka di sana, membelai pipinya yang sudah kempes namun masih tersisa biru. “Kebaca tahu mah sama aku, terus hasilnya bagaimana? dia ngaku?” Emily diam saat Gallen kembali mengolesi obat dari rumah sakit di bibirnya. “Mana ada mengaku, tapi memang seratus persen dia yang menyuruh. Dia masih tergila-gila sama kamu, lebih ke obsesi sih. Merasa terhina, enggak mengaca memang kelakuannya amat hina.” Gallen bersandar di kepala ranjang dengan memeluk tubuh Emily yang terasa berat badannya berkurang. “Padahal sudah dihukum tapi enggak buat dia berpikir dan menyesal, orang seperti itu menyeramkan,” gumam Emily. “Iya memang, akan selalu ada orang-orang seperti dia. Kita kala
“Astaga kalian berantem apa mau saling bunuh?” tanya pengacara yang Gallen hubungi dan datang tidak lama dengan membawa mobil ambulans. “Harapannya sih mati saja selama di rumah sakit,” dengus Gallen. “Astaga bisa dijerat pasal pembunuhan berencana nanti.” Pengacara Gallen segera membantu mengangkat Benad yang sudah tidak sadarkan diri bersama dua orang petugas rumah sakit. “kamu juga ke rumah sakit, kita tunggu polisi datang. Aku sengaja menghubunginya belakangan agar tahu dulu kejadiannya seperti apa.” Pengacara Gallen memberikan tisu agar Gallen menyeka darah dari kening, pipi dan mulutnya. “Pak mari ikut kami ke rumah sakit, bapak juga banyak luka,” tukas salah satu petugas rumah sakit pada Gallen. “Saya akan menyusul setelah polisi datang ke sini, Pak. Tolong pastikan dia tidak sampai kabur, dia tersangka penculikan dan rencana pembunuhan, penggelapan dana dan penipuan lainnya. Ikat pak
Gallen meringis saat Emily mengobati luka-luka lebam di tubuhnya, siang itu ia akan menghadiri panggilan kepolisian kembali. Namun sepertinya badannya tidak sanggup bergerak leluasa. Ia akan meminta izin agar di geser saja harinya. Badannya kaku semua bahkan untuk di gerakkan dari ranjang. “Rumah sakit saja sih, kenapa bandel sekali kamu enggak mau dirawat,” dumel Emily. “Kata Dokternya boleh pulang, makanya aku mending istirahat di rumah saja. Enggak apa-apa Sayang, biarkan aku tidur lagi ya.” Gallen berkata dengan meletakan tangan dengan penyangganya di atas bantal. “’Ya sudah, aku selesaikan pekerjaan sebentar ya di luar.” Emily menatap wajah Gallen yang bengkak setelah semalam tidak bisa tidur. Gallen tidur hingga matahari tinggi, Emily dua kali menengok ke kamar juga masih pulas. Sampai pukul dua siang berniat membangunkan karena belum makan siang, tiba-tiba Giana pulang dengan raut cemas. Emily sudah
“Sudah sampai mana?” tanya Gallen pada Giana yang duduk bersandar padanya. “Enggak sampai mana-mana Abang, Abang tahu sendiri aku mau fokus kuliah dulu,” jawab Giana. “Bukan Pras, tapi pengobatan kamu? sudah dua kali sama Emily ke Dokter kan?” Gallen mencubit pipi Giana yang langsung tertawa karena Giana pikir sedang membahas Pras. “Baru CT dan pemeriksaan luar, karena aku belum lama jalani operasi juga jadi harus menyembuhkan total luka dalamnya dulu biar enggak ada efek apa pun kelak yang tidak diharapkan. Aku sama sekali enggak tahu ada rekonstruksi kulit,” kekeh Giana. “Abang juga baru tahu kalau kulit bisa dicangkok. Agak seram dengarnya. Abang nanti ikut ya pas pemeriksaan berikutnya. Oh iya Abang mengangkat Ardion jadi pengganti kamu, Emily beberapa kali ada yang terlewat. Bukan tidak percaya tapi pasti karena dia cukup pusing sama pekerjaannya sendiri. Besok kamu ikut Abang sebentar ke Gayana ya,” pin
“Hei kenapa pada diam?” Emily mengerutkan kening saat reaksi kedua orang di sana tidak seperti dugaannya. “Kamu sedang bercanda?” tanya Gallen tanpa memutus pandangannya pada sang istri. “Kamu lihat aku sedang bercanda? Astaga kalian enggak percaya?” Emily melebarkan mata dan langsung merogoh isi tas, memberikan masing-masing satu, sebuah foto hitam putih ukuran kecil pada Gallen dan Giana. Gallen dan Giana memperhatikan foto abstrak tersebut dengan ujung kertas terdapat nama dirinya. Emily menahan senyuman saat mata Gallen melebar, ia sangat suka akan respons suaminya yang bahkan tidak sanggup berkata apa-apa namun sudut-sudut bibirnya tertarik sempurna. “Alhamdulillah,” lirih Gallen. Belum Gallen menoleh ke arah Emily untuk memeluk penuh syukur sang istri, terdengar dari seberang meja gedubrak Giana yang bangun dari kursi dengan cara brutal hingga kursi yang ia duduki tergeletak di lantai pu
“Tidur ... masih pakai oksigen, sudah enggak biru tapi masih pucat sedikit. Aku antar kamu pulang dulu ya, Giana akan jalani pemeriksaannya besok pagi. Malam ini harus di UGD dulu, kamu jangan ikut menginap karena tidak ada tempat istirahat. Besok saja ke sini kalau sudah dipindah ke ruang rawat. Dan satu lagi ... bukan salah kamu memberitahu kehamilan kamu hingga membuat Giana lepas kendali sampai menginap di sini. Jangan menyalahkan diri ya Sayang, kamu tahu pasti kita sangat bahagia dengan berita kehamilan kamu ini. Khususnya aku.” Gallen mengatakannya dengan memandang manik mata sang istri lembut. “Aku temani kamu di sini saja ya, aku bisa istirahat di Mushola nanti,” bujuk Emily.Gallen menggeleng dengan senyuman kecil. “Jangan Sayang, kamu bahkan jauh lebih butuh istirahat dengan layak. Maaf ya ... harusnya kita sedang merayakan kehamilan kamu.” “Jangan bilang maaf, siapa yang mau kejadian seperti ini. Yang penting Giana selamat, kita