Gallen meringis saat Emily mengobati luka-luka lebam di tubuhnya, siang itu ia akan menghadiri panggilan kepolisian kembali. Namun sepertinya badannya tidak sanggup bergerak leluasa. Ia akan meminta izin agar di geser saja harinya. Badannya kaku semua bahkan untuk di gerakkan dari ranjang. “Rumah sakit saja sih, kenapa bandel sekali kamu enggak mau dirawat,” dumel Emily. “Kata Dokternya boleh pulang, makanya aku mending istirahat di rumah saja. Enggak apa-apa Sayang, biarkan aku tidur lagi ya.” Gallen berkata dengan meletakan tangan dengan penyangganya di atas bantal. “’Ya sudah, aku selesaikan pekerjaan sebentar ya di luar.” Emily menatap wajah Gallen yang bengkak setelah semalam tidak bisa tidur. Gallen tidur hingga matahari tinggi, Emily dua kali menengok ke kamar juga masih pulas. Sampai pukul dua siang berniat membangunkan karena belum makan siang, tiba-tiba Giana pulang dengan raut cemas. Emily sudah
“Sudah sampai mana?” tanya Gallen pada Giana yang duduk bersandar padanya. “Enggak sampai mana-mana Abang, Abang tahu sendiri aku mau fokus kuliah dulu,” jawab Giana. “Bukan Pras, tapi pengobatan kamu? sudah dua kali sama Emily ke Dokter kan?” Gallen mencubit pipi Giana yang langsung tertawa karena Giana pikir sedang membahas Pras. “Baru CT dan pemeriksaan luar, karena aku belum lama jalani operasi juga jadi harus menyembuhkan total luka dalamnya dulu biar enggak ada efek apa pun kelak yang tidak diharapkan. Aku sama sekali enggak tahu ada rekonstruksi kulit,” kekeh Giana. “Abang juga baru tahu kalau kulit bisa dicangkok. Agak seram dengarnya. Abang nanti ikut ya pas pemeriksaan berikutnya. Oh iya Abang mengangkat Ardion jadi pengganti kamu, Emily beberapa kali ada yang terlewat. Bukan tidak percaya tapi pasti karena dia cukup pusing sama pekerjaannya sendiri. Besok kamu ikut Abang sebentar ke Gayana ya,” pin
“Hei kenapa pada diam?” Emily mengerutkan kening saat reaksi kedua orang di sana tidak seperti dugaannya. “Kamu sedang bercanda?” tanya Gallen tanpa memutus pandangannya pada sang istri. “Kamu lihat aku sedang bercanda? Astaga kalian enggak percaya?” Emily melebarkan mata dan langsung merogoh isi tas, memberikan masing-masing satu, sebuah foto hitam putih ukuran kecil pada Gallen dan Giana. Gallen dan Giana memperhatikan foto abstrak tersebut dengan ujung kertas terdapat nama dirinya. Emily menahan senyuman saat mata Gallen melebar, ia sangat suka akan respons suaminya yang bahkan tidak sanggup berkata apa-apa namun sudut-sudut bibirnya tertarik sempurna. “Alhamdulillah,” lirih Gallen. Belum Gallen menoleh ke arah Emily untuk memeluk penuh syukur sang istri, terdengar dari seberang meja gedubrak Giana yang bangun dari kursi dengan cara brutal hingga kursi yang ia duduki tergeletak di lantai pu
“Tidur ... masih pakai oksigen, sudah enggak biru tapi masih pucat sedikit. Aku antar kamu pulang dulu ya, Giana akan jalani pemeriksaannya besok pagi. Malam ini harus di UGD dulu, kamu jangan ikut menginap karena tidak ada tempat istirahat. Besok saja ke sini kalau sudah dipindah ke ruang rawat. Dan satu lagi ... bukan salah kamu memberitahu kehamilan kamu hingga membuat Giana lepas kendali sampai menginap di sini. Jangan menyalahkan diri ya Sayang, kamu tahu pasti kita sangat bahagia dengan berita kehamilan kamu ini. Khususnya aku.” Gallen mengatakannya dengan memandang manik mata sang istri lembut. “Aku temani kamu di sini saja ya, aku bisa istirahat di Mushola nanti,” bujuk Emily.Gallen menggeleng dengan senyuman kecil. “Jangan Sayang, kamu bahkan jauh lebih butuh istirahat dengan layak. Maaf ya ... harusnya kita sedang merayakan kehamilan kamu.” “Jangan bilang maaf, siapa yang mau kejadian seperti ini. Yang penting Giana selamat, kita
“Kembar?” seru tiga wanita di ruang perawatan Giana bersamaan. Emily pura-pura menutup telinganya akan seruan tiga wanita yang ia sayangi tersebut, mama dan Gracia bahkan berlarian menuju Emily dan menarik Gallen agar pindah dari samping Emily. Emily diapit oleh mama dan Gracia membuat Gallen terkekeh tanpa tersinggung sama sekali. Ia sendiri tadi sempat mematung saking kagetnya mendengar Emily hamil kembar. “Serius? kok kamu enggak bilang dari kemarin?” tanya Gracia memegang lengan kiri Emily antusias. “Beneran kembar?” Mama di sebelah kanan Emily juga memegangi lengannya.Emily tersenyum lebar. “Benar Ma, Kak. Memang kembar, turunan dari papa mungkin ya Ma? Om Silah sama tante Madya juga kembar kan?” “Ya Tuhan,” seru Gracia. Mama sendiri memeluk Emily dari samping dan mencium pipinya berulang dengan anggukan. “Iya benar om dan tante kamu kembar, harus sangat hati-hati ya ka
Gallen menutup pintu kamarnya dengan desah nafas panjang, di ruang tengah sudah ada mama dan Giana yang sudah sampai rumah lebih dulu dari pada ia dan Emily yang memutari jalanan di hiasi perdebatan sepihak dari Emily. “Tidur Ma,” ucap Gallen pada sang mama yang bertanya lewat matanya.Mama mengangguk. “Dimaklumi ya Gallen, Mama rasa cemburunya Emily faktor hormon juga. Dia jarang enggak logis seperti itu.” “Iya Ma, pas hamil yang pertama malah lebih parah dari ini,” ringis Gallen. “Abang bilang kalau Kak Andara mantan Abang?” Giana bertanya seraya memberikan gelas air dingin. “Emily yang tanya pas mau naik ranjang periksa,” jawab Gallen. “Terus Abang bilang itu mantan?” tuntut Giana. “Iya masa mau bohong,” jawab Gallen singkat. Mama tertawa dan Giana menepuk keningnya dengan berseru cape deh abang aku. “Lain kali kalau mau jujur lihat kondisi
“Berapa?” tanya Emily. Untuk pertama kalinya semenjak pernikahan mereka, Gallen menyinggung masalah uang dengan wajah serius dan menatapnya tanpa jeda.Gallen mendesah kecil. “Sangat banyak, aku sih inginnya sederhana. Tapi karena istri aku putri kesayangan dari pak Bachtiar maka tidak mungkin hanya sederhana.” “Maksud kamu apa sih? kamu terlilit hutang?” tebak Emily. “Astaga enggak, hutang aku hanya makan siang minggu lalu sama anak Gayana yang aku titipi dan aku lupa bayar sampai sekarang.” Gallen langsung melepas tangan Emily seketika. “Ya kamu buat seram tahu enggak, butuh uang banyak untuk apa? dan berapa?” Emily menggaruk hidungnya yang tiba-tiba gatal. “Mungkin 30-50 Milyar? Baru perkiraan kasar. Semoga enggak sampai segitu,” ringis Gallen.Emily melebarkan matanya. “Buat?” “Rumah.” Gallen berdehem sekali. “Rumah?” ulang Emily. “Harusnya ini aku jadikan kado untuk kamu nanti pas ulang tahun, tapi karena kamu memberitahukan kalau hamil dan kembar, jadi aku gatal untuk cep
Emily bersandar pada dinding kamar mandi dengan duduk di lantai dingin di depan closet. Ia baru saja menguras habis isi lambungnya padahal yang masuk tidak lebih dari air dan air. Menunduk di atas closet yang masih terbuka. “Kak Em,” seru suara Giana yang membahana di seluruh penjuru rumah hingga terdengar ke kamar mandi Emily. Emily tidak sanggup menyahut, ia bahkan tidak sanggup sekedar berdiri dan pindah ke kasur yang nyaman. Suara Giana masih membahana mencari keberadaan sang ipar. Sampai terdengar Giana membuka pintu kamarnya dan masuk ke kamar mandi. “Ya Tuhan Kak Em, kenapa di lantai? Mual?” Giana memberondong pertanyaan dengan langsung menunduk membantu Emily bangun dari dinginnya lantai kamar mandi. “Aku lemas,” lirih Emily di antara sengal nafas dan gejolak di perutnya yang belum juga mereda. “Mau muntah lagi?” Giana mengurungkan niat membantu Emily berdiri dan kini berlutut di sam