Gallen langsung turun dengan berpesan agar Emily dan Gracia di mobil saja. belum sampai di tempat Giana, Benad melihat Gallen dan langsung pergi dari hadapan sang adik dengan seringai menyebalkan pada Gallen. “Dia bicara apa sama kamu, harusnya kamu langsung menghindar. Kamu enggak apa-apa?” Gallen bertanya pada sang adik. “Aku sudah mau pergi tadi, tapi dia bilang Kak Em di rumah sakit. Benar di rumah sakit?” Giana bertanya dengan berjalan berdampingan dengan Gallen dan tangannya di gandeng menuju seberang di mana mobilnya berada. “Emily ada di mobil, kalau sekali lagi dia menghampiri kamu ... apa pun alasannya langsung pergi. Cari keramaian,” titah Gallen. “Iya Bang,” jawab Giana. Giana dan Gallen masuk ke mobil langsung di serbu pertanyaan oleh Emily dan Gracia. “Kamu enggak apa-apa Gi? Dia bicara apa tadi sama kamu?” tanya Emily. “Lain kali pentung langsung
“Astaga gila!” umpat Gracia seketika. Gracia menginjak pedal gas semakin dalam, ia memang perempuan, namun jangan sekali-sekali meragukan keahlian mengemudinya yang menakjubkan. Di jalanan yang ramai ia sangat gesit membawa Pajero sport putih mengkilap miliknya dengan mengagumkan. “Ada pelatnya Em? Kamera belakang bisa merekamnya.” Gracia bertanya dengan fokus pada jalanan ramai. “Enggak ada Kak, sedikitpun kulitnya enggak terlihat. Kak!” jerit Emily saat Gracia memanuver kemudi memasuki sebuah hotel besar tiba-tiba. “Berani elu hah? berhenti kita di sini, sialan betul berani menguntit kita.” Gracia memaki-maki sendirian. Saat Gracia memberhentikan mobil di depan lobi hotel mewah, sang penguntit berkendaraan motor sport di belakangnya melewati mobil mereka begitu saja. Tidak berhenti karena jelas akan ketahuan dan membahayakan dirinya sendiri. “Sudah lewat, Kak. Ya Tuhan ...
“Kok uang, Bang?” tanya Giana karena yang lainnya masih syok. “Karena butuh, perusahaan bangkrut. Menjadi tersangka penggelapan dana, kemungkinan Bara atau entah siapa berani membayar mahal untuk membuat Emily dan sekelilingnya menjadi cemas.” Gallen menjawab dengan santai. “Itu baru kemungkinan, aku tidak tahu pasti alasannya apa. Akan aku pastikan sendiri nanti,” tambah Gallen. “Enggak ya Gallen, tidak perlu mencari dan menemuinya.” Emily langsung paham isi kepala Gallen saat ini. “Aku enggak akan membahayakan diri tentu saja, banyak sekali cara senyap Emily. Aku punya keluarga yang semuanya perempuan, jadi aku akan jauh lebih berhati-hati.” Gallen memberikan senyum menenangkan pada Emily. Pembicaraan mereka berlima terhenti ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, semuanya masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat. Giana bermalam dengan mama dan Grace, yang Grace seret saat akan m
“Benar enggak jadi ke hotel?” ledek Emily. “Aku tadi hanya bercanda, manalah ingin bercinta kalau kita sedang menghadapi masalah. Nanti saja kita agendakan. Liburan sama-sama kak Grace, Giana dan mama juga belum bisa terlaksana,” ringis Gallen. “Iya nanti saja kalau memang sudah bisa, jangan dipaksakan. Nanti kita buat yang spesial sama-sama. Ngomong-ngomong kamu keberatan enggak sih kalau aku minta mengisi pidato singkat. Jadikan memang kita cewek semua, aku ingin kamu mewakili papa menyapa para tamu undangan dan mengucapkan beberapa kata yang sudah disiapkan.” Emily menoleh pada Gallen dengan tatap lembut. “Mau dong, suatu kehormatan bisa menyapa para petinggi perusahaan almarhum papa. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak memalukan.” Gallen mengucapkannya dengan bersemangat.Emily tergelak pelan. “Tidak perlu berlebihan, cukup menyapa saja. Dengan keahlian kamu menyusun acara dan berinteraksi dengan banyak klien,
“Mau apa lagi?” tanya Emily kaget saat tiba-tiba langkahnya di cegat oleh Benad saat ia baru saja keluar dari sebuah toilet di sebuah Mall usai menemani Giana mencari sepatu. “Bisa kita bicara?” Benad justru berjalan semakin mendekat pada Emily. “Berhenti di sana atau aku akan teriak,” ancam Emily. Benad mengangkat kedua tangannya dan mundur dua langkah agar sang wanita tidak berteriak serta membuat perhatian banyak orang teralih kepada mereka. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kita tidak pernah ada urusan ya Ben. Tolong sudah jangan mengganggu kami. Saya masih cukup sabar dengan apa yang kamu lakukan kemarin-kemarin, saya tahu yang membuntuti saya dan kak Grace dan yang menjambret saya di basemen adalah kamu. Jadi sudahi sebelum kesabaran saya habis.” Emily memberikan tatap dingin tanpa ekspresi pada laki-laki yang masih berdiri di depannya dari jarak yang lumayan dekat. “Gua hanya min
Emily menarik nafas panjang memandang sekitar ruangan tempat ia di dudukan dan diikat tangannya serta mulut tertutup lakban sementara Benad keluar setelah mengunci ruanganya. Ruangan tersebut bersih tanpa perabotan, bahkan lantainya juga bersih. Bau pelitur dan cat masih menyengat di hidungnya. Kemungkinan baru di renovasi rumah tersebut. “Adik dan laki elu memang sialan. Mati dia gua hantam pakai batu, mampus.” Makian Benad yang kembali menghampiri Emily. Mendengar hal tersebut membeku badan Emily, merinding lehernya membayangkan sang adik dihantam batu oleh orang gila di depannya. Matanya memerah dan dalam hitungan detik air mata menganak sungai. Ia memberontak kuat ingin rasanya mencekik laki-laki yang memandangnya dengan seringai lebar. “Sstt tidak perlu menangisi anak sok pemberani itu, dia sudah mati karena berani-beraninya membuntuti gua.” Benad menghapus air mata Emily namun Emily menghindar menolak di sentuh.
“Ya Allah Emily anakku.” Mama menyambut kedatangan Gallen dan Emily dengan wajah basah karena terus menangis setelah mendapati putri bungsunya, Giana pulang diantar taksi yang kaca belakangnya pecah berantakan dan leher berdarah-darah. Kini melihat pipi kiri Emily bengkak dengan bibir robek dan darah yang masih basah di sana, bertambah kencang tangis dan mama. membelai wajah Emily dengan hati-hati takut membuatnya bertambah sakit sebelum dipeluk dengan tangis tersedu-sedan. “Aku hanya luka di mulut karena kena tampar, Ma. Aku enggak apa-apa, enggak di pukul atau disiksa. Mama jangan menangis lagi.” Emily menarik sudut bibirnya pelan walau terasa perih agar sang mama tidak terlalu mencemaskannya. “Bagaimana enggak apa-apa? ini sampai seperti ini berarti kamu di pukul. Ya Tuhan kenapa ada manusia macam dia, jahat sekali dia itu. Apakah sudah ditangkap, Gallen? Buat dia menerima hukuman seberat-beratnya.” Mama menarik lengan Ga
Gallen meninggalkan kantor polisi bersama Emily, Giana dan sang pengacara. Mama serta Gracia pulang terlebih dahulu selepas mengantar ke rumah sakit. Gallen sendiri belum memberitahukan mengenai surat lusuh yang di masukkan ke dalam dompet Emily. “Abang mau ke mana lagi? tersangkanya belum ditangkap, bahaya.” Giana bertanya pada Gallen yang setelah mengantar dirinya dan Emily langsung hendak keluar kembali. “Abang mau bertemu beberapa orang, tenang saja Abang akan hati-hati. Kalian jangan ke mana-mana dulu ya.” Gallen menepuk kepala Giana yang menggulung rambutnya tinggi. Giana mengangguk, sementara Emily melepas masker yang ia kenakan setelah dari rumah sakit. Pipinya semakin bengkak hingga ia harus menutupinya dengan masker. “Jangan meletakan diri dalam bahaya ya, biar yang berwajib yang mengurusnya. Dia punya senjata api,” tukas Emily. Gallen mengangguk membelai pipi yang tidak bengkak E