“Oh ya? wau heboh dong pasti.” Gracia menimpali dengan tawa saat mereka tengah makan siang bersama di ruangan sang kakak. “Iya kita jadi duduk semeja sampai pamit pulang,” kekeh Emily. Saling bercerita dengan sesekali bercanda adalah cara kedua kakak beradik tersebut mengurai rindu karena jadwal kerja mereka yang membuat keduanya jarang bertemu. Emily melirik ponsel di samping piring makannya bergetar dan terbaca suami iseng membuat Gracia tersenyum kecil. Kebiasaan Emily memberi nama di kontaknya dengan unik ternyata belum berubah. “Iya, aku sedang makan siang sama kak Grace.” Emily menjawab panggilan video call dari Gallen. “Lagi sama kak Grace? Ya sudah.” Gallen langsung mematikan panggilan yang membuat Emily melongo lebar dan Gracia tertawa kecil. “Panggil lagi sana bicara di luar, mungkin segan.” Gracia dapat mengerti jika sampai saat ini pun adik iparnya masih malu padanya.
“Mau apa mereka?” Gallen berseru segera memakai bajunya setelah mandi kilat. “Enggak tahu, aku sudah hubungi keamanan perumahan untuk datang ke rumah sebelum kita datang. Kak Grace aku hubungi enggak diangkat-angkat. Yuk cepat.” Emily menyambar kedua ponsel mereka dan segera keluar hotel. Menyusuri jalanan Ibu Kota pada jam pulang kerja adalah ibarat mengurut dada dengan tarikan nafas panjang. Harus memiliki kesabaran yang tiada berujung agar selamat sampai tujuan tanpa mengumpat di jalanan. Sesampainya di rumah, Emily segera turun dan berjalan cepat ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar melewati dua sekuriti yang duduk di teras rumah. Gallen menyapa keduanya dan bertanya apa yang terjadi. “Ada apa Ma?” Emily menghampiri mamanya yang duduk di samping Giana. “Emily ... tolong maafkan Tante dan Bara, Emily.” Ibu Batara memegangi kedua kaki Emily dengan berlutut dan tangisan yang pecah ber
Giana memandang wajah lelap Emily di sampingnya, Emily meminta ia tidur bersamanya karena Gallen tiba-tiba harus melakukan perjalanan ke Semarang kembali untuk urusan dekor. “Aku tidak bisa bicara langsung, karena pasti nanti kak Em besar kepala dan terus meledek aku. Aku mau bilang terima kasih sudah mau menerima kami, terutama abang. Aku sangat bersyukur kak Emily datang di antara kami.” Giana berbicara dengan sangat pelan, berbaring miring berhadapan dengan Emily yang sudah terpejam memeluk bantal guling. Giana langsung terdiam kala Emily bergerak dan melempar bantal guling ke punggungnya, mata terpejam dan segaris senyuman terlihat. Emily bergerak kembali, kini menarik tubuh Giana untuk ia peluk dan ia timpa dengan kakinya agar tidak bisa bergerak. “Astaga Kak Em enggak tidur ternyata?” tebak Giana penuh sesal akan pengakuannya beberapa menit lalu. “Anggap saja aku tidur dan enggak dengar ,” kekeh Emil
Gallen sampai rumah sakit saat Giana sudah selesai di operasi tiga jam kemudian dan masih berada di ruangan ICU karena kondisi pasca operasi belum kunjung membaik. Gallen hanya memberikan tatap datar pada Emily dan Gracia sebelum memasuki kamar ICU adiknya. “Apa Gallen akan baik-baik saja, Kak?” tanya Emily parau. “Tentu saja dia tidak baik-baik saja. Kita doakan saja dan dampingi ya,” bujuk Gracia. Emily sendiri sudah sekali masuk untuk melihat adik iparnya yang terbaring penuh dengan alat penunjang hidup hampir di seluruh badannya. Bahkan saat selimut di sibak sedikit saja, maka bekas luka panjang di atas dada Giana terlihat. Emily bahkan belum membawa Giana menemui Dokter kulit untuk memeriksa apa saja yang akan Giana jalani untuk menghilangkan parut panjang di badannya dan sekarang bertambah luka sayatan di dada Giana karena operasinya kali ini. Sesak sekali dada Emily teringat semalam keduanya masih ti
“Gallen sudah-sudah.” Emily berseru dengan menarik lengan kiri Gallen sekuat ia bisa. Gallen mendengus kuat menghentikan tangannya di udara sebelum kembali menghantam Tio yang masih tersungkur di lantai. Gallen masih mengatur deru nafasnya saat dua orang keamanan menghampiri mereka bertiga. Ternyata salah satu penonton di ruang tunggu ICU ada yang memanggil keamanan. “Maaf Pak, maafkan kami yang buat keributan. Hanya salah paham, kami tidak akan ribut dan mengganggu lagi.” Emily yang meminta maaf usai dua sekuriti membantu Tio bangun dan bertanya ada keributan apa. “Bapak sungguh tidak apa-apa? berdarah itu mulutnya, kalau memang bapak ini bersalah kami bisa bantu proses.” Salah satu sekuriti bertanya pada Tio yang meringis kesakitan. “Enggak Pak, benar ini hanya salah paham. Kami masih satu keluarga. Maafkan kami sudah buat keributan.” Tio menjawab dengan menyeka darah di sudut bibirnya yang robek.
Gallen membawa dua kantong makanan di tangan kanan dan di tangan kiri ada beberapa gelas jus dingin yang baru saja ia pesan. Giana sudah dipindahkan ke ruang rawat setelah melalui banyak kejadian menegangkan. Ia sekarang telah menjalani masa pemulihan. “Sini aku bawakan, tadi Emily harus ke kantor sebentar karena ada berkas yang harus ditandatangani dan harus menemui salah satu klien. Aku yang akan membatu jaga Giana sampai Emily pulang.” Gracia mengambil tentengan minum di tangan Gallen dan memasuki kamar Giana berdua. Gallen mendengus saat melihat Tio sedang duduk di samping ranjang Giana dan bercakap-cakap pelan dengan adiknya. Sudah seminggu Tio di Indonesia, dan setiap pagi selalu datang ke rumah sakit hingga sore hari. Gallen sudah mengusirnya berkali-kali namun dasar muka tembok, Tio hanya mengangguk dengan senyuman menyebalkan. “Suruh dia pulang, Giana. Belum jadi Milyader tapi bolos kerja seminggu, perusahaan mak e
“Terima kasih, Kak,” ucap Giana setelah ia duduk nyaman di atas ranjang kamarnya. Setelah lebih dari tiga minggu di rawat, Giana diperbolehkan pulang dan menjalani perawatan di rumah. Banyak teman kuliah yang menjenguknya karena berita Giana tertabrak di depan kampus santer terdengar hingga penjuru fakultas. Bahkan kakak tingkat yang awalnya Emily sangka pacar Giana juga menjenguk dengan salah satu dosen. “Habis ini kita perbaiki berat badan kamu ya, turun sampai empat kilo. Kita akan cekoki kamu makan yang banyak dan bergizi.” Emily membelai kepala Giana yang kusut karena tidak kunjung mandi. “Siap Kak, aku juga merasa kok celana melorot semua. Tapi aku sungguh mau mandi dan keramas. Sudah enggak enak sekali badannya,” ringis Giana. “Besok pagi akan ada yang datang ke sini ya, jadi enggak perlu ke salon kamu.” Emily menghidupkan pendingin ruangan dan menyalakan aroma terapi yang sudah ia siapkan sebelum Gia
“Ya ampun gua dilupakan? Benad,” kekeh laki-laki yang menyapa Emily. “Oh astaga sorry.” Emily bangun dan meletakan mangkuknya di kursi biru untuk menjabat tangan Benad. “Apaan ini?” Benad menatap sangsi uluran tangan Emily yang mengajaknya berjabat tangan, dia justru menarik tubuh Emily untuk ia peluk erat dengan tawa berderai-derai. Hal tersebut tak pelak menjadikan Gallen langsung tersulut, ia langsung bangun dari duduknya untuk menghantam laki-laki bernama Benad yang berani-beraninya memeluk istrinya di depan mata. Akan tetapi belum Gallen menarik tubuh yang memeluk istrinya, Emily sudah mendorong lumayan kuat Benad hingga lengan yang memeluk terlepas segera. “Tolong jangan sembarangan main peluk, aku sudah punya suami. Ini suami aku.” Emily meringis saat melihat wajah siap menerkam Gallen. “Sorry sorry kebiasaan tiap bertemu Emily selalu pelukan. Kami dulunya memang pacaran, kenalkan gua