Waduh, siapa pula, ya, yang marah-marah?
"Semua cowok sama saja, pembohong! Tidak puas hanya dengan satu wanita!" Niken, adik iparku, datang ke rumah kami tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia marah-marah sambil menangis. Sudah jelas masalahnya mengenai cowok. Reynaldi, teman kuliah sekaligus pacarnya, ketahuan memiliki pacar lain. Kisahnya memprihatinkan ... sekaligus menggelikan, sebab Niken marah-marah sambil menangis dan makan siomay. Katanya ia belum makan siang ini. Niatnya ingin makan, tetapi malah mendapati kekasihnya bersama perempuan lain. "Siapa dia, Rey? Jangan bilang dia saudaramu, nggak mungkin saudara semesra ini. Kamu selingkuh?" todongnya sengit. Reynaldi tak bisa berkata apa-apa, dia gelagapan dengan mulut terbuka dan tertutup seperti ikan di akuarium. Namun, hal yang paling membuatnya jengkel adalah kenyataan bahwa bukan dia yang diselingkuhi. Nikenlah yang menjadi selingkuhan Reynaldi. "Aku pacarnya. Kamu siapa?" tanya Niken kepada si perempuan, karena lelakinya tak berkutik. "Loh, aku pacar Aldi. Kamu
"Kapan kamu mau nurut sama Papa?" Ayah mertuaku bertanya dengan sorot mata dingin. Meskipun pertanyaan itu tidak ditujukan kepadaku, bulu kudukku merinding. Wibawa Pak Pandu memang tidak main-main. Padahal baru Juna yang ditegur oleh ayah mertuaku, belum aku dan Yudis, tapi aku sudah gentar. Jawaban si anak sulung semakin membuat hatiku menciut. "Memang aku harus nurut bagaimana, Pa? Bukannya sudah ada Yudistira yang selalu nurut sama Papa, dan jadi kebanggaan Papa?" Arjuna menanggapi ayahnya dengan sikap tak acuh yang tak kalah dingin. Sepertinya saat ini aku berada di tempat yang salah, aku tak seharusnya mendengarkan perdebatan mereka. Genggaman tangan suamiku yang terasa hangat masih belum sanggup menenangkan kegundahan hatiku. Hanya sorot mata Mama yang sedikit menghibur, seakan meyakinkan aku bahwa Papa tidak akan lepas kendali karena ada dia di sisinya. "Apa maksudmu? Papa membanggakan Yudistira karena ia memang anak yang baik, penurut. Papa berharap dengan memuji Yudistira
"Halah, sama saja itu. Kamu ingin Papa berkenalan dengan perempuan itu, lalu dia akan menghalalkan segala cara agar Papa mau menerimanya, 'kan? Kamu sama saja dengan Arjuna, tidak lagi menghormati Papa," kecam ayah mertuaku. Tampaknya pembicaraan ini tak akan mudah. Pak Pandu masih berkukuh dengan sikapnya. Namun, Yudistira tak semudah itu menyerah. Paling tidak ia ingin memenuhi janjinya untuk membantu kakak tirinya sebisa mungkin. "Pa, Papa sendiri yang ngajarin anak-anak untuk tidak berprasangka, dan membeda-bedakan orang hanya karena warna kulit, status sosial, dan kedudukan yang berbeda dari kita," ucap Yudistira lembut. "Memang, tapi kasus ini berbeda. Ini menyangkut keluarga kita secara khusus." Pak Pandu berceramah panjang lebar soal karier dan reputasi yang selama ini telah ia bangun. Hidup di dunia yang materialistis sekarang memang sulit. Sebaik-baiknya orang kaya, pasti akan melihat status sosial seseorang ketika anaknya mencari pasangan hidup. Ayah mertuaku memang tid
"Aku nggak bisa kalau kayak gitu. Memangnya aku mau melepaskan usaha yang sudah kubangun sendiri?" dengus iparku kesal. "Ya ampun, Jun ....." Yudistira geleng kepala, putus asa. Ia tertawa dengan tangan menyentuh jidat. Aku mengerti kegeraman suamiku, ia nggak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Juna. Begitu sulit meyakinkan dia, meskipun saran dan argumen yang disampaikan oleh suamiku sangat masuk akal. Papa yang mulai membuka hati, tak serta merta melunak, dan meloloskan keinginan Juna untuk menikahi sang kekasih. "Kamu boleh berpacaran dengan Fitri, asalkan kamu mau kerja sama Papa. Kerja di resort, jadi karyawan biasa, jadi buruh seperti yang lain," tantang Papa. Juna yang tak menduga perkembangan ini langsung syok. "Nggak ... nggak bisa, Pa! Bagaimana dengan bisnisku? Bagaimana dengan ...." "Itu urusan kamu. Kalau kamu masih menginginkan restu dari Papa, turuti kemauan Papa. Atau kamu nggak usah nikah sama sekali." Pak Pandu memberikan ultimatum yang tak bisa diganggu
"Atas nama Yudistira aku meminta maaf, Mas, kalau suamiku pernah berbuat salah, atau membuat kehidupan Mas Juna tidak nyaman," ucapku dengan perasaan tidak enak. Perkataan Juna cukup mengagetkanku. Selama ini kupikir tidak ada masalah yang cukup berarti ketika keluarga Pak Pandu dan Bu Ani bersatu, setelah masing-masing kehilangan pasangan hidup. Namun, alih-alih kesal atau menunjukkan ekspresi getir, wajah Mas Arjun terlihat berseri-seri. "Kamu tidak perlu minta maaf, Ashanna. Ini tak seburuk yang kamu pikirkan," ucapnya untuk menghilangkan rasa bersalahku. Syukurlah! Aku lega bahwa tidak ada masalah besar dalam hubungan antara Yudistira dan Arjuna sebagai saudara tiri. Pria ini bahkan sudah mulai terbiasa menerimaku sebagai bagian dari keluarganya. Ia tak lagi ragu menggunakan kata aku-kamu, padahal sebelumnya Mas Juna selalu terasa menjaga jarak, seolah kami belum benar-benar menjadi keluarga. "Aku memang selalu lebih dekat dengan Mama ketimbang dengan Papa. Jadi aku sangat sedi
"Kamu kenapa, Sha, akhir-akhir ini jadi lebih pendiam? Kurang makan atau gimana, Sayang?" Yudistira menanyakan keadaanku dengan nada bergurau, tetapi aku bisa merasakan kekhawatirannya yang tidak ada kaitannya dengan makanan. "Hehe. Makan pizza, yuk, Yud," ujarku hanya menanggapi pertanyaan yang terucap. Raut wajah suamiku cerah seketika begitu mendengar jawabanku. "Bilang kek dari kemarin, kalau pingin makan pizza," kekehnya. "Jangan ragu bilang kepadaku jika ada yang kamu inginkan, Sayang. Pasti akan kuberikan bila aku mampu." "Hehe. Terima kasih, suamiku tersayang." Aku tersenyum lebar memamerkan sederet gigi sehat yang kujaga ekstra semenjak menikah. Dan sore itu berakhir dengan kencan kami di Mamania, salah satu kedai terkenal yang menyajikan pizza autentik, dipanggang dengan tungku tradisional. Kami makan pizza lezat, bercanda, dan tertawa layaknya pasangan yang tengah dimabuk asmara. Dan percintaan kami di malam harinya masih menggetarkan gairah yang menggelora. Kupikir d
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Nggak ingin bicara baik-baik dulu dengan suamimu?" tanya Ibu dengan wajah prihatin.Aku mengangguk lemah. "Aku sudah sampai di sini artinya semuanya sudah kami bicarakan, Bu, dan ini keputusan kami berdua. Yudistira juga sudah setuju."Bapak menghela napas berat. Kerutan di dahinya semakin bertambah saja. Ah, sejenak aku merasa bersalah karena telah pergi dari suamiku. Mengingat usia pernikahan kami yang bahkan belum genap setahun, rasanya sangat miris bila aku berpisah dari Yudistira, padahal hubungan kami lagi mesra-mesranya."Baiklah, Ashanna. Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung apa yang terbaik untuk kalian berdua. Yang penting ini cuma sementara, dan kalian tidak bercerai," pesan Bapak dengan lembut."Enggak, lah, Pak. Pernikahan ini bukan permainan, meskipun semuanya tidak diawali dengan cinta, aku bukan orang yang suka mengingkari ikrar suci. Aku cuma butuh waktu untuk sendiri dulu," jawabku, kalimat yang sudah kuucapkan
"Kamu tidak tahu, Nak?" Dengan alis terangkat, Ibu membalas pertanyaanku dengan counter attack, eh, bukan, ini bukan sepak bola. Alih-alih langsung menjawab, Ibu malah bertanya balik. Tatapannya polos, dia tidak sedang menggodaku. Otakku langsung bekerja lebih keras karena berupaya untuk memahami maksud ucapan Ibu. "Bu ..., ini kerjaan Yudistira kah?" aku bertanya sekali lagi. Kali ini pertanyaanku tepat. Ibu tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Aku terbengong, seolah wajahku membeku. "Bagaimana bisa aku bersama Yudistira 24 jam, tapi tidak mengetahui dia membangun kamar mandi di rumah bapak ibuku?" gumamku lebih kepada diriku sendiri. Suamiku Yudistira, bukan Bandung Bondowoso, apalagi Bandung kota kembang. "Bisa dimaklumi kalau kamu tidak tahu, karena menantu Ibu memang tidak secara langsung ke mari," tutur Ibu, sedikit memberikan terang kepada gelapnya pengetahuanku. "Ah, begitu rupanya!" Ibu menceritakan bahwa Yudistira meminta tolong Mas Widi, tetangga kami, untuk men
(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak
"Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya
"Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin
"Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b