Share

55. Berpisah

Penulis: Teha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Nggak ingin bicara baik-baik dulu dengan suamimu?" tanya Ibu dengan wajah prihatin.

Aku mengangguk lemah. "Aku sudah sampai di sini artinya semuanya sudah kami bicarakan, Bu, dan ini keputusan kami berdua. Yudistira juga sudah setuju."

Bapak menghela napas berat. Kerutan di dahinya semakin bertambah saja. Ah, sejenak aku merasa bersalah karena telah pergi dari suamiku. Mengingat usia pernikahan kami yang bahkan belum genap setahun, rasanya sangat miris bila aku berpisah dari Yudistira, padahal hubungan kami lagi mesra-mesranya.

"Baiklah, Ashanna. Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung apa yang terbaik untuk kalian berdua. Yang penting ini cuma sementara, dan kalian tidak bercerai," pesan Bapak dengan lembut.

"Enggak, lah, Pak. Pernikahan ini bukan permainan, meskipun semuanya tidak diawali dengan cinta, aku bukan orang yang suka mengingkari ikrar suci. Aku cuma butuh waktu untuk sendiri dulu," jawabku, kalimat yang sudah kuucapkan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Suami Pelarian   56. Melihat Kebaikannya

    "Kamu tidak tahu, Nak?" Dengan alis terangkat, Ibu membalas pertanyaanku dengan counter attack, eh, bukan, ini bukan sepak bola. Alih-alih langsung menjawab, Ibu malah bertanya balik. Tatapannya polos, dia tidak sedang menggodaku. Otakku langsung bekerja lebih keras karena berupaya untuk memahami maksud ucapan Ibu. "Bu ..., ini kerjaan Yudistira kah?" aku bertanya sekali lagi. Kali ini pertanyaanku tepat. Ibu tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Aku terbengong, seolah wajahku membeku. "Bagaimana bisa aku bersama Yudistira 24 jam, tapi tidak mengetahui dia membangun kamar mandi di rumah bapak ibuku?" gumamku lebih kepada diriku sendiri. Suamiku Yudistira, bukan Bandung Bondowoso, apalagi Bandung kota kembang. "Bisa dimaklumi kalau kamu tidak tahu, karena menantu Ibu memang tidak secara langsung ke mari," tutur Ibu, sedikit memberikan terang kepada gelapnya pengetahuanku. "Ah, begitu rupanya!" Ibu menceritakan bahwa Yudistira meminta tolong Mas Widi, tetangga kami, untuk men

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Suami Pelarian   57. Kenangan Masa Kecil

    "Kamu ngapain ke mari?" pekikku seraya menyambut sesosok manis yang keluar dari dalam mobil suamiku. Bukannya membalas sambutanku, makhluk bandel itu malah ngeloyor saja, dan memeluk ketiga adikku. Duh, menggemaskan betul bocah satu ini! Rasanya pingin kucubit pipinya sampai molor kayak mozzarella. Kehadirannya yang tanpa pemberitahuan di muka sempat membuat jantungku cenat-cenut. Terang saja, melihat mobil suamiku aku panik, dan berpikir pria itu menyusulku ke rumah orang tuaku. Eh, nggak tahunya yang datang kedua adiknya. "Mbak!" sapa Niken dengan cengiran lebar di wajahnya. Putus dari pacar tak membuatnya patah hati berkepanjangan, gadis satu ini malah tambah cantik saja. Setelah lulus SMA Niken belajar menyetir mobil, dan tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan SIM A. Dia justru lebih mahir menyetir mobil ketimbang aku, yang baru bisa memegang kemudi selama beberapa bulan. "Gimana kabarnya, Ken? Kok nggak ngabari dulu kalau mau ke mari?" Kami melakukan ritual cipika cip

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Suami Pelarian   58. Halusinasi

    "Mbak Sha, jangan lupa main ke rumah. Aku tunggu, lho. Kalau nggak datang, nanti kalau Mbok Is bikin nasi liwet, Mbak Sha nggak boleh minta." Arum si bocah kecil berpamitan dengan meninggalkan ancaman yang begitu menggemaskan. "Ya udah, nanti Mbak Sha minta dibuatin sama Budhe Ina, bisa makan banyak, deh," godaku menentang kehendak tuan putri. Budhe Ina adalah tetangga sebelah, jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah orang tuaku, kakak ipar Mama Ani yang kini menempati rumah mereka yang lama. Hari Minggu pagi kami bertamu ke rumah Budhe Ina. Sebenarnya lebih tepat kalau dibilang kami datang untuk bermain, membuat kebisingan, dan meminta makan. Kebetulan sekali hari itu Budhe Ina yang asli Solo memasak nasi liwet. Arum bilang bahwa rasa nasi liwetnya mirip buatan Mbak Is, aromanya sedap, dan rasanya lezat. Aku dan adik-adikku sangat menikmatinya, dan alhasil kami berenamlah yang menghabiskan makanan itu. Nah, si Arum ini lucu, kalau menginginkan sesuatu dari seseorang, tetapi ora

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Suami Pelarian   59. Bersama Lagi

    "Kamu itu ... kita nggak ketemu selama seminggu, tapi yang pertama kamu tanyakan malah kakak iparmu." Kutolehkan kepala ke kanan untuk melihat pak sopir yang sedang memegang kemudi. Wajahnya merengut, persis Arum yang sedang ngambek. Tercium bau-bau caper, nih. "Baru juga enam hari, belum tujuh, belum seminggu, lah," sahutku acuh tak acuh, sembari menatap ke jalanan di depan kami. Seru juga bisa menggoda suamiku lagi! Sesekali kulirik dia lewat ekor mataku. Raut mukanya menggelikan. Aku tertawa dalam hati, lucu juga melihat suamiku cemburu kepada saudaranya sendiri. "Seminggu, Ashanna! Satu minggu, hanya kurang delapan belas jam, lima puluh menit, dua detik," timpalnya menolak untuk diabaikan. Ah, semakin lucu saja dia. "Itu perhitungan akurat kah, Pak Yudistira?" tanyaku menggodanya lagi. "Akurat dong ..., tapi banyak ngawurnya," jawabnya seraya nyengir lebar. "Hahaha." Aku tertawa. Benar dugaanku, Yudistira hanya caper. Setelah sekian waktu berpisah, aku sangat bahagia bisa b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Suami Pelarian   60. Perkara Memiliki Anak

    "Lucky itu imut-imut, ya. Anaknya cakep, pintar, Mama jadi sayang," ibu mertuaku memuji anak Fitri. Sudah barang tentu ini kemajuan yang menggembirakan, sebab Mama Ani telah jatuh hati kepada anak dari calon menantunya yang sempat ditentang oleh Papa. "Iya, Ma. Lucky memang pintar, lucu," sahutku masih mencoba menjaga senyuman yang sedari tadi kusematkan di bibirku. Pembicaraan dengan ibu mertuaku akhir-akhir ini terasa berat. Bagaimana tidak, meskipun nadanya positif dan menyenangkan, ujung-ujungnya pasti ngomongin harapannya agar segera memiliki cucu dari anak kandungnya sendiri. "Duh, kalau anak Mama sendiri punya anak, pasti cakep, pintar dan lucu juga, kayak Mama. Hihi. Pasti seru hari-hari Mama nanti bisa momong cucu, darah daging Mama sendiri." Deg! Ucapan ibu mertuaku membuatku terdiam. Aku tidak tahu isi hatinya yang sebenarnya, apakah dia memang ingin menyindirku, atau itu hanya sekadar sebuah doa, yang jelas hatiku seperti dicubit. Ini yang namanya sakit, tapi tidak be

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Suami Pelarian   61. Kamu Mandul?

    "Mas Heri itu ... hihi ... mesra sekali, lho. Setiap hari saya selalu dibuat jatuh cinta kepadanya. Hihihi." Mbak Angel datang ke rumahku untuk memberi oleh-oleh pie susu dari Bali. Katanya dia habis liburan dengan suaminya, bulan madu ketujuh. Widih! Dengan antusias dia menceritakan betapa serunya acara liburannya dengan sang suami, dan (sedikit menjengkelkan) memamerkan betapa mesranya mereka di sana. Semenjak insiden hilangnya uang lima juta kala itu, tetanggaku yang dulu jutek ini berubah baik, dan sering berbagi bila punya makanan atau oleh-oleh yang dibawa dari liburan, termasuk hari ini. Awalnya aku was-was, jangan-jangan nanti ada barang yang hilang lagi di rumah kalau dia datang ke rumah. Siapa tahu 'kan orang ini sebenarnya mengidap kleptomania. "Jangan berburuk sangka dulu," nasihat Yudistira saat aku mengungkapkan kekhawatiranku tentang hal ini. "Bukan berburuk sangka, Yud, jaga-jaga saja. Aku 'kan nggak mau ada barang yang hilang dengan sia-sia. Bukan soal nilainya, t

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Suami Pelarian   62. Tak Merindukan Masa Lalu

    "Kamu kenapa lagi, Ashanna?" Yudistira bertanya demi melihat gelagat tidak enak di wajahku. "Nggak apa-apa," jawabku lirih. Kedua tanganku meremas satu sama lain, sedangkan mataku tak bisa fokus, bingung apakah harus tetap tinggal atau lebih baik pergi. Terang saja, pikiranku sedang kacau. Repotnya jadi perempuan ya seperti ini, nih. Satu peristiwa kecil dapat mengubah suasana hati dengan begitu drastis. Tadinya aku begitu bersemangat untuk pergi ke mall dengan suamiku karena ingin membeli hadiah untuk anak kedua Mei yang sudah lahir, gara-gara hal nggak penting mood-ku langsung hancur. Di saat seperti ini aku bersyukur memiliki suami seperti Yudistira. Sedikit banyak ia telah belajar tentang menghadapi seorang wanita, khususnya istrinya, maka tanpa kuungkapkan pun suamiku bisa melihat bahwa ada yang tidak beres. "Ikut aku, yuk." Tanpa menunggu jawaban ataupun persetujuanku, Yudistira menarik tanganku, dan mengajakku berjalan. Genggaman tangannya teguh, seolah berkata ia tak akan m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Suami Pelarian   63. Punya Anak atau Child Free?

    "Kalau kataku, ya, kalian child free aja, malah nggak usah pusing membesarkan anak zaman sekarang yang nakalnya bikin pingin pindah planet." Aku tertegun melihat orang yang membuat pernyataan tadi. Dengan santainya ia menyusui dan berbicara dengan bayi laki-lakinya yang telah berusia dua bulan. "Kamu serius, Mei, ngomong gitu?" tanyaku setengah tak percaya. Kok enteng banget ngomongnya, padahal dia sendiri punya dua anak? Wanita itu adalah Mei, sahabatku yang telah melahirkan anak keduanya. Lagi-lagi anaknya cowok, diberi nama Julian, sesuai janjinya untuk memberikan nama Juli kepada anak keduanya. Berhubung lahirnya bukan di bulan Juli, makanya ditambah -an, jadi Julian, deh. "Ya, serius, lah! Memangnya aku lagi ngelawak? Iya, Sayang. Mimik cucu," sahutnya acuh tak acuh karena ia lebih fokus menyusui anaknya yang menggemaskan itu. "Ya, bukan ngelawak juga, Mei. Kamu saja punya dua anak, tapi ngomongin child free. Apakah itu berarti kamu menyesal memiliki anak, Mei?" Mendengar uc

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Suami Pelarian   88. Suami Pelarian (Bab Terakhir)

    (Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc

  • Suami Pelarian   87. Orang Tua Terbaik

    "Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi

  • Suami Pelarian   86. Cendol

    "Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan

  • Suami Pelarian   85. Anak Perempuan yang Mirip Ayahnya

    "Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K

  • Suami Pelarian   84. Anniversary

    "Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah

  • Suami Pelarian   83. Lagi-lagi Kuaci!

    "Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak

  • Suami Pelarian   82. Semua Untuk Kuaci

    "Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya

  • Suami Pelarian   81. Keponakan

    "Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin

  • Suami Pelarian   80. Bumil Manja

    "Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b

DMCA.com Protection Status