Waduh, apa maksud Ashanna yang sebenarnya? Kira2 mereka bisa baikan lagi gak ya? Simak terus kelanjutan novel ini, ya, jangan lupa vote dan komennya. Terima kasih.- Teha ^_^
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Nggak ingin bicara baik-baik dulu dengan suamimu?" tanya Ibu dengan wajah prihatin.Aku mengangguk lemah. "Aku sudah sampai di sini artinya semuanya sudah kami bicarakan, Bu, dan ini keputusan kami berdua. Yudistira juga sudah setuju."Bapak menghela napas berat. Kerutan di dahinya semakin bertambah saja. Ah, sejenak aku merasa bersalah karena telah pergi dari suamiku. Mengingat usia pernikahan kami yang bahkan belum genap setahun, rasanya sangat miris bila aku berpisah dari Yudistira, padahal hubungan kami lagi mesra-mesranya."Baiklah, Ashanna. Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung apa yang terbaik untuk kalian berdua. Yang penting ini cuma sementara, dan kalian tidak bercerai," pesan Bapak dengan lembut."Enggak, lah, Pak. Pernikahan ini bukan permainan, meskipun semuanya tidak diawali dengan cinta, aku bukan orang yang suka mengingkari ikrar suci. Aku cuma butuh waktu untuk sendiri dulu," jawabku, kalimat yang sudah kuucapkan
"Kamu tidak tahu, Nak?" Dengan alis terangkat, Ibu membalas pertanyaanku dengan counter attack, eh, bukan, ini bukan sepak bola. Alih-alih langsung menjawab, Ibu malah bertanya balik. Tatapannya polos, dia tidak sedang menggodaku. Otakku langsung bekerja lebih keras karena berupaya untuk memahami maksud ucapan Ibu. "Bu ..., ini kerjaan Yudistira kah?" aku bertanya sekali lagi. Kali ini pertanyaanku tepat. Ibu tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Aku terbengong, seolah wajahku membeku. "Bagaimana bisa aku bersama Yudistira 24 jam, tapi tidak mengetahui dia membangun kamar mandi di rumah bapak ibuku?" gumamku lebih kepada diriku sendiri. Suamiku Yudistira, bukan Bandung Bondowoso, apalagi Bandung kota kembang. "Bisa dimaklumi kalau kamu tidak tahu, karena menantu Ibu memang tidak secara langsung ke mari," tutur Ibu, sedikit memberikan terang kepada gelapnya pengetahuanku. "Ah, begitu rupanya!" Ibu menceritakan bahwa Yudistira meminta tolong Mas Widi, tetangga kami, untuk men
"Kamu ngapain ke mari?" pekikku seraya menyambut sesosok manis yang keluar dari dalam mobil suamiku. Bukannya membalas sambutanku, makhluk bandel itu malah ngeloyor saja, dan memeluk ketiga adikku. Duh, menggemaskan betul bocah satu ini! Rasanya pingin kucubit pipinya sampai molor kayak mozzarella. Kehadirannya yang tanpa pemberitahuan di muka sempat membuat jantungku cenat-cenut. Terang saja, melihat mobil suamiku aku panik, dan berpikir pria itu menyusulku ke rumah orang tuaku. Eh, nggak tahunya yang datang kedua adiknya. "Mbak!" sapa Niken dengan cengiran lebar di wajahnya. Putus dari pacar tak membuatnya patah hati berkepanjangan, gadis satu ini malah tambah cantik saja. Setelah lulus SMA Niken belajar menyetir mobil, dan tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan SIM A. Dia justru lebih mahir menyetir mobil ketimbang aku, yang baru bisa memegang kemudi selama beberapa bulan. "Gimana kabarnya, Ken? Kok nggak ngabari dulu kalau mau ke mari?" Kami melakukan ritual cipika cip
"Mbak Sha, jangan lupa main ke rumah. Aku tunggu, lho. Kalau nggak datang, nanti kalau Mbok Is bikin nasi liwet, Mbak Sha nggak boleh minta." Arum si bocah kecil berpamitan dengan meninggalkan ancaman yang begitu menggemaskan. "Ya udah, nanti Mbak Sha minta dibuatin sama Budhe Ina, bisa makan banyak, deh," godaku menentang kehendak tuan putri. Budhe Ina adalah tetangga sebelah, jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah orang tuaku, kakak ipar Mama Ani yang kini menempati rumah mereka yang lama. Hari Minggu pagi kami bertamu ke rumah Budhe Ina. Sebenarnya lebih tepat kalau dibilang kami datang untuk bermain, membuat kebisingan, dan meminta makan. Kebetulan sekali hari itu Budhe Ina yang asli Solo memasak nasi liwet. Arum bilang bahwa rasa nasi liwetnya mirip buatan Mbak Is, aromanya sedap, dan rasanya lezat. Aku dan adik-adikku sangat menikmatinya, dan alhasil kami berenamlah yang menghabiskan makanan itu. Nah, si Arum ini lucu, kalau menginginkan sesuatu dari seseorang, tetapi ora
"Kamu itu ... kita nggak ketemu selama seminggu, tapi yang pertama kamu tanyakan malah kakak iparmu." Kutolehkan kepala ke kanan untuk melihat pak sopir yang sedang memegang kemudi. Wajahnya merengut, persis Arum yang sedang ngambek. Tercium bau-bau caper, nih. "Baru juga enam hari, belum tujuh, belum seminggu, lah," sahutku acuh tak acuh, sembari menatap ke jalanan di depan kami. Seru juga bisa menggoda suamiku lagi! Sesekali kulirik dia lewat ekor mataku. Raut mukanya menggelikan. Aku tertawa dalam hati, lucu juga melihat suamiku cemburu kepada saudaranya sendiri. "Seminggu, Ashanna! Satu minggu, hanya kurang delapan belas jam, lima puluh menit, dua detik," timpalnya menolak untuk diabaikan. Ah, semakin lucu saja dia. "Itu perhitungan akurat kah, Pak Yudistira?" tanyaku menggodanya lagi. "Akurat dong ..., tapi banyak ngawurnya," jawabnya seraya nyengir lebar. "Hahaha." Aku tertawa. Benar dugaanku, Yudistira hanya caper. Setelah sekian waktu berpisah, aku sangat bahagia bisa b
"Lucky itu imut-imut, ya. Anaknya cakep, pintar, Mama jadi sayang," ibu mertuaku memuji anak Fitri. Sudah barang tentu ini kemajuan yang menggembirakan, sebab Mama Ani telah jatuh hati kepada anak dari calon menantunya yang sempat ditentang oleh Papa. "Iya, Ma. Lucky memang pintar, lucu," sahutku masih mencoba menjaga senyuman yang sedari tadi kusematkan di bibirku. Pembicaraan dengan ibu mertuaku akhir-akhir ini terasa berat. Bagaimana tidak, meskipun nadanya positif dan menyenangkan, ujung-ujungnya pasti ngomongin harapannya agar segera memiliki cucu dari anak kandungnya sendiri. "Duh, kalau anak Mama sendiri punya anak, pasti cakep, pintar dan lucu juga, kayak Mama. Hihi. Pasti seru hari-hari Mama nanti bisa momong cucu, darah daging Mama sendiri." Deg! Ucapan ibu mertuaku membuatku terdiam. Aku tidak tahu isi hatinya yang sebenarnya, apakah dia memang ingin menyindirku, atau itu hanya sekadar sebuah doa, yang jelas hatiku seperti dicubit. Ini yang namanya sakit, tapi tidak be
"Mas Heri itu ... hihi ... mesra sekali, lho. Setiap hari saya selalu dibuat jatuh cinta kepadanya. Hihihi." Mbak Angel datang ke rumahku untuk memberi oleh-oleh pie susu dari Bali. Katanya dia habis liburan dengan suaminya, bulan madu ketujuh. Widih! Dengan antusias dia menceritakan betapa serunya acara liburannya dengan sang suami, dan (sedikit menjengkelkan) memamerkan betapa mesranya mereka di sana. Semenjak insiden hilangnya uang lima juta kala itu, tetanggaku yang dulu jutek ini berubah baik, dan sering berbagi bila punya makanan atau oleh-oleh yang dibawa dari liburan, termasuk hari ini. Awalnya aku was-was, jangan-jangan nanti ada barang yang hilang lagi di rumah kalau dia datang ke rumah. Siapa tahu 'kan orang ini sebenarnya mengidap kleptomania. "Jangan berburuk sangka dulu," nasihat Yudistira saat aku mengungkapkan kekhawatiranku tentang hal ini. "Bukan berburuk sangka, Yud, jaga-jaga saja. Aku 'kan nggak mau ada barang yang hilang dengan sia-sia. Bukan soal nilainya, t
"Kamu kenapa lagi, Ashanna?" Yudistira bertanya demi melihat gelagat tidak enak di wajahku. "Nggak apa-apa," jawabku lirih. Kedua tanganku meremas satu sama lain, sedangkan mataku tak bisa fokus, bingung apakah harus tetap tinggal atau lebih baik pergi. Terang saja, pikiranku sedang kacau. Repotnya jadi perempuan ya seperti ini, nih. Satu peristiwa kecil dapat mengubah suasana hati dengan begitu drastis. Tadinya aku begitu bersemangat untuk pergi ke mall dengan suamiku karena ingin membeli hadiah untuk anak kedua Mei yang sudah lahir, gara-gara hal nggak penting mood-ku langsung hancur. Di saat seperti ini aku bersyukur memiliki suami seperti Yudistira. Sedikit banyak ia telah belajar tentang menghadapi seorang wanita, khususnya istrinya, maka tanpa kuungkapkan pun suamiku bisa melihat bahwa ada yang tidak beres. "Ikut aku, yuk." Tanpa menunggu jawaban ataupun persetujuanku, Yudistira menarik tanganku, dan mengajakku berjalan. Genggaman tangannya teguh, seolah berkata ia tak akan m