Aduh, duh! Siapakah gerangan dirinya yang nyelekit itu? Apakah ...? Tenang jawabannya ada di bab selanjutnya, ya. Terima kasih untuk Anda yang masih terus membaca novel ini. ^^
"Mas Heri itu ... hihi ... mesra sekali, lho. Setiap hari saya selalu dibuat jatuh cinta kepadanya. Hihihi." Mbak Angel datang ke rumahku untuk memberi oleh-oleh pie susu dari Bali. Katanya dia habis liburan dengan suaminya, bulan madu ketujuh. Widih! Dengan antusias dia menceritakan betapa serunya acara liburannya dengan sang suami, dan (sedikit menjengkelkan) memamerkan betapa mesranya mereka di sana. Semenjak insiden hilangnya uang lima juta kala itu, tetanggaku yang dulu jutek ini berubah baik, dan sering berbagi bila punya makanan atau oleh-oleh yang dibawa dari liburan, termasuk hari ini. Awalnya aku was-was, jangan-jangan nanti ada barang yang hilang lagi di rumah kalau dia datang ke rumah. Siapa tahu 'kan orang ini sebenarnya mengidap kleptomania. "Jangan berburuk sangka dulu," nasihat Yudistira saat aku mengungkapkan kekhawatiranku tentang hal ini. "Bukan berburuk sangka, Yud, jaga-jaga saja. Aku 'kan nggak mau ada barang yang hilang dengan sia-sia. Bukan soal nilainya, t
"Kamu kenapa lagi, Ashanna?" Yudistira bertanya demi melihat gelagat tidak enak di wajahku. "Nggak apa-apa," jawabku lirih. Kedua tanganku meremas satu sama lain, sedangkan mataku tak bisa fokus, bingung apakah harus tetap tinggal atau lebih baik pergi. Terang saja, pikiranku sedang kacau. Repotnya jadi perempuan ya seperti ini, nih. Satu peristiwa kecil dapat mengubah suasana hati dengan begitu drastis. Tadinya aku begitu bersemangat untuk pergi ke mall dengan suamiku karena ingin membeli hadiah untuk anak kedua Mei yang sudah lahir, gara-gara hal nggak penting mood-ku langsung hancur. Di saat seperti ini aku bersyukur memiliki suami seperti Yudistira. Sedikit banyak ia telah belajar tentang menghadapi seorang wanita, khususnya istrinya, maka tanpa kuungkapkan pun suamiku bisa melihat bahwa ada yang tidak beres. "Ikut aku, yuk." Tanpa menunggu jawaban ataupun persetujuanku, Yudistira menarik tanganku, dan mengajakku berjalan. Genggaman tangannya teguh, seolah berkata ia tak akan m
"Kalau kataku, ya, kalian child free aja, malah nggak usah pusing membesarkan anak zaman sekarang yang nakalnya bikin pingin pindah planet." Aku tertegun melihat orang yang membuat pernyataan tadi. Dengan santainya ia menyusui dan berbicara dengan bayi laki-lakinya yang telah berusia dua bulan. "Kamu serius, Mei, ngomong gitu?" tanyaku setengah tak percaya. Kok enteng banget ngomongnya, padahal dia sendiri punya dua anak? Wanita itu adalah Mei, sahabatku yang telah melahirkan anak keduanya. Lagi-lagi anaknya cowok, diberi nama Julian, sesuai janjinya untuk memberikan nama Juli kepada anak keduanya. Berhubung lahirnya bukan di bulan Juli, makanya ditambah -an, jadi Julian, deh. "Ya, serius, lah! Memangnya aku lagi ngelawak? Iya, Sayang. Mimik cucu," sahutnya acuh tak acuh karena ia lebih fokus menyusui anaknya yang menggemaskan itu. "Ya, bukan ngelawak juga, Mei. Kamu saja punya dua anak, tapi ngomongin child free. Apakah itu berarti kamu menyesal memiliki anak, Mei?" Mendengar uc
"Orang kaya tuh semua begitu, sering memandang rendah orang miskin, berpikir mereka tak selevel." Aku masih ingat salah seorang teman berkata seperti itu. Tadinya aku tak begitu peduli, lalu mencemooh pendapatnya, terutama setelah menikah dengan Yudistira yang adalah anak seorang konglomerat. "Ah, mertuaku tak seperti itu, kok. Papa Pandu dan Mama Ani baik kepadaku, meskipun keluargaku bukan keluarga kaya dan terpandang," pendapatku, menepis anggapan bahwa semua orang kaya seperti yang orang tuduhkan. Pak Pandu memang baik kepadaku, Bu Ani lebih-lebih lagi, sayangnya kepadaku sudah seperti anak sendiri. "Aduh, Ashanna! Maafkan Mama, ya, kalau Mama selama ini salah karena sudah membuat kamu tertekan mengenai anak," sesalnya kepadaku seusai anak lelakinya bercerita bahwa aku pusing dan galau karena belum memiliki anak. Menurutnya apa yang ia ucapkan soal mempunyai cucu dari darah dagingnya sendiri adalah sebuah harapan dan doanya, tetapi ia sama sekali tidak memaksa kami untuk secep
"Mana bisa begitu, Yud? Aku nggak punya kapasitas untuk itu." Kutatap suamiku putus asa. "Mau bagaimana lagi, Sha, tidak ada pilihan lain," sahut Yudistira mengangkat bahunya lemah. Ia tak kalah putus asanya dariku. "Gini amat, ya, hidup ...," desahku lelah. Kupejamkan mataku sejenak. "Sabar, ya, Sha. Kita pasti bisa melalui semua ini," hiburnya seraya membiarkan aku bersandar di bahunya. Pak Pandu tak tanggung-tanggung dengan keputusannya, hingga aku berpikir ayah mertuaku itu jahat. Rasanya aku ingin membencinya, serta memprotes keputusannya, tapi siapa diriku, aku cuma perempuan miskin yang sangat beruntung karena diterima menjadi menantunya. Bagaimana aku tidak geram? Setelah semua keperluan lamaran kami persiapkan, kami baru sadar, Juna tidak mungkin datang melamar Fitri sendirian. Maksudku, kami pasti menemani, tetapi ia membutuhkan orang tuanya untuk melamarkan Fitri untuk Juna, padahal Pak Pandu menolak untuk hadir. "Keluarga dari pihak Mama meminta maaf karena tidak bisa
"B-baik," ucapku terbata. Jantungku berdebar tak karuan setelah mengetahui sosok perempuan yang menyapaku ramah. "Sudah lama sekali kita tidak berjumpa, ya. Itu suamimu?" tanyanya lagi ketika melihat Yudistira di sampingku. "Halo! Saya Yudistira, suami Ashanna," sapa Yudis sembari memperkenalkan diri. Ia mengulurkan tangan kanannya yang disambut oleh perempuan tadi dengan antusias, sementara tangan suamiku menggandeng tanganku yang sedingin es. Genggaman tangannya yang hangat begitu menguatkan hatiku. Ikatan batin suami istri bisa sekuat ini, tanpa diucapkan ia mengerti kegelisahanku. "Wah, Ashanna! Kamu memang tidak salah memilih suami," puji wanita lagi setelah bercakap beberapa menit dengan suamiku. "Hehe. Iya, Win," aku tertawa canggung. Benar. Wanita yang tak sengaja bertemu dengan kami adalah Winda, mantan sahabat yang telah merebut kekasihku pada masa itu, wanita yang sangat tak ingin kutemui, meskipun kami pernah sangat dekat di masa lalu. Katanya dunia tak selebar daun
"Katanya siklus hidup manusia tuh, lahir, bertumbuh, jadi dewasa. Habis itu ditanyain kapan punya pacar. Setelah punya pacar, ditanyain lagi, kapan menikah, habis menikah, ditanyain lagi, kapan punya anak. Begitu terus bahkan setelah orang menyadari bahwa menikah dan memiliki anak adalah hal yang nggak gampang." Kata-kata bernada gurauan yang sempat Mei lontarkan itu sebetulnya memang benar. Entahlah, hal itu seperti terpola dalam pikiran orang, bahwa kehidupan masih terasa kurang ketika seseorang belum memiliki pasangan, dan keluarga sendiri. Padahal di era digital sekarang, yang katanya generasinya bukan milenial lagi, tapi sudah menjadi generasi Z, ada cukup banyak orang yang memilih untuk tetap singel, ataupun child free dengan alasan masing-masing. Lalu mengapa urusan menikah dan memiliki anak masih dianggap sebagai suatu masalah besar? Aku masih sedikit sensitif dengan persoalan memiliki anak, eh, mantan sahabatku dulu yang kini telah memiliki anak malah menanyakan itu. "Aku?
"Apa yang kamu lihat, Sayang? Nungguin siapa?" tanya Yudistira menarik kembali perhatianku dari menatap jalanan di depan toko bunga Asri. Seulas senyum lemah kulemparkan kepadanya, ia mengerti apa yang menjadi kegelisahanku. Perlahan diraihnya tanganku dalam genggamannya. "Bahkan sampai detik terakhir pun kamu masih berharap, Ashanna," ucapnya syahdu. "Hehehe. Sesuatu yang baik layak untuk diharapkan sampai detik terakhir, Yud, bahkan jika kemungkinannya hanya 0,0001 persen," ujarku optimis. Yudistira menatapku intens sembari tersenyum penuh arti, sampai aku salah tingkah. "Apaan sih, Yud, ngelihatin aku kayak gitu? Aku malu, tau," sungutku pura-pura merajuk. Dengan gemas suamiku menyentuh ujung hidungku. "Coba kita tidak sedang berada di acara nikahan kakakku, dan kamu nggak lagi dandan lengkap begini, pasti ...." "Hush! Diem, Yud! Di sini banyak anak di bawah umur," desisku dengan mata mendelik. Matahari belum begitu terik, tapi suhu wajahku sudah meningkat. "Hahaha." Yudisti