"Apa yang kamu lihat, Sayang? Nungguin siapa?" tanya Yudistira menarik kembali perhatianku dari menatap jalanan di depan toko bunga Asri. Seulas senyum lemah kulemparkan kepadanya, ia mengerti apa yang menjadi kegelisahanku. Perlahan diraihnya tanganku dalam genggamannya. "Bahkan sampai detik terakhir pun kamu masih berharap, Ashanna," ucapnya syahdu. "Hehehe. Sesuatu yang baik layak untuk diharapkan sampai detik terakhir, Yud, bahkan jika kemungkinannya hanya 0,0001 persen," ujarku optimis. Yudistira menatapku intens sembari tersenyum penuh arti, sampai aku salah tingkah. "Apaan sih, Yud, ngelihatin aku kayak gitu? Aku malu, tau," sungutku pura-pura merajuk. Dengan gemas suamiku menyentuh ujung hidungku. "Coba kita tidak sedang berada di acara nikahan kakakku, dan kamu nggak lagi dandan lengkap begini, pasti ...." "Hush! Diem, Yud! Di sini banyak anak di bawah umur," desisku dengan mata mendelik. Matahari belum begitu terik, tapi suhu wajahku sudah meningkat. "Hahaha." Yudisti
"Benar 'kan apa kata saya? Mama Brownie memang jago meramal. Hihi," kekeh Mbak Angel sembari menutupi bibirnya dengan tangan, ala-ala wanita cantik gitu. Mendengar nama Mama Brownie yang jago meramal, aku malah jadi horor sendiri, padahal yang dia lakukan hanya membuat perkiraan asal-asalan. Dia bukan cenayang, dan tak bisa mengetahui masa depan. "Yah, memang tidak langsung jadi, tapi waktu setengah tahun kan termasuk cepat, dibandingkan yang sudah hampir dua tahun." Kali ini ucapannya malah mengandung sindiran. Hhh, hayati sungguh lelah, pemirsa! "Iya, Mbak." Kutanggapi ucapannya sambil lalu, karena berbicara dengan Mbak Angel belum pernah menyenangkan bagiku, lebih sering menjengkelkan. Bukannya aku berpikiran negatif tentangnya, tetapi selalu saja ada momen menyebalkan, entah dia bersikap sok tahu, kepo secara berlebihan, merendahkan orang lain, sampai ngibul tentang dirinya sendiri. "Yah, begitulah mereka yang masih muda, cepat banget tercapai gol-nya, nggak kayak kita yang s
"Bapaknya siapa sih itu? Nyolot banget kayak anaknya," sindir Mei sembari melirik suamiku dengan pandangan mencemooh. Kami sedang membicarakan ayah mertuaku. "Pak Pandu? Bapaknya Arjuna, lah. Aku kan cuma anak ketemu gedhe," kilah suamiku. Yudistira menghindari 'serangan' Mei dengan sangat efektif. "Hahaha. Kamu sih, Mei, anak pelawak dilawan." Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat interaksi antara suamiku dan sahabatku. Muka Mei cemberut, seperti bocah yang habis dirundung temannya, dan mainannya direbut. Macam Suneo dengan si giant, Takeshi gitu. "Hah, apes bener, ketemu tukang nyolot beneran! Pinter banget dia membalik kata-kata! Hebat banget kamu, Ashanna, bisa mengalahkan ahli silat lidah." Mei kesal karena tak mampu memojokkan suamiku yang selicin belut. Sikap pasrahnya membuatku semakin geli. Meskipun sahabatku itu telah mengibarkan bendera putih, Yudistira masih belum lelah. "Kalau sama Ashanna aku berubah, Mei," katanya sambil menatap lurus ke arahku. Waduh, ada bau-bau
"Bulan madu macam apa ini, Yud?," gerutuku sembari mengenakan pakaian hangat. Tubuhku rasanya nyaris membeku, padahal saat ini tengah hari. Yudistira memandangku sambil tersenyum geli. "Kan kamu sendiri yang minta ke sini, Sha. Katanya mau ngerasain hidup pedesaan ala Korea," kekehnya. "Iya, aku yang salah. Salahkan saja aku terus ...." "Hihihi." Dengan sigap Yudistira meraihku ke pelukannya, hingga ucapanku terputus. "Duh, istriku ternyata memang jago mengomel. Dapat juara berapa waktu lomba kemarin?" guraunya sembari mengelus kepalaku. "Iih, nyebelin!" seruku kesal-kesal manja. "Aku nyebelin, itu betul. Aku sayang kamu, itu lebih betul lagi." Dengan lembut dikecupnya keningku, membuatku tak bisa berkutik dan pasrah dalam dekapan hangatnya. Yudistira sungguh penuh kejutan. Sewaktu dia bilang akan mengajakku ke ujung dunia, ternyata suamiku itu berniat mengajakku ke belahan lain dari bola bumi ini. Ia mengajakku ke negeri ginseng, Korea Selatan. Wow! Waktu kutanya mengapa tiba-t
"Yeoboya, fighting!" seruku menyemangati suami dengan gaya Korea.Yudistira langsung sumringah, dan melambaikan tangannya penuh semangat. "Oke, chagiya!!" teriaknya senang. Duh, aku jadi malu!Semalam sebelum tidur kami sempat ngobrol berdua tentang bahasa Korea yang kami dengar dari tuan dan nyonya rumah. "Sha, yoebo itu nama panggilan untuk suami istri kah?" tanya Yudistira."Iya, Yud. Yoebo itu cara seseorang memanggil pasangan hidupnya, suami atau istri. Kalau pacaran beda lagi," paparku dengan gaya sok ahli Korea. Padahal pengetahuanku cuma seupil."Oh, gitu. Memang kalau pacar manggilnya gimana?" Kekepoannya berlanjut."Chagi atau chagiya," jawabku. Lalu kuterangkan bahwa dalam bahasa Korea mereka menambahkan akhiran "a" atau "ya" di belakang nama atau panggilan, bila sudah akrab. Kalau namanya berakhiran huruf konsonan pakai "a", sedangkan nama yang berakhiran huruf vokal pakai "ya".Yudistira mengangguk mengerti. "Berarti kamu juga bisa memanggilku yeobo atau chagi, dong?" tany
"Yud!!! Kalau kacanya pecah dan aku jatuh ke air gimana?" rintihku ketakutan, sembari memegang lengan suamiku erat-erat. Sudah macam balonku ada lima saja pokoknya dipegang erat-erat, ditambah lagi hatiku juga sangat kacau. Yudistira tertawa mengejekku. "Ini bukan kaca, Sha. Ini es," tandasnya, malah membuatku semakin takut, dan mengomel. "Lihat itu si Bapak udah sampai tengah, nggak ada masalah." Dia menunjuk Pak Park yang sudah sampai di tengah danau, dan dengan santai duduk di kursi plastik yang dibawanya. Pria paruh baya itu bahkan siap membuat lubang berbentuk lingkaran dengan gergaji untuk memancing ikan. "Ikut aku, Sha," perintah Yudis dengan suara riang. "Yang penting kamu nggak joget zumba, pasti aman. Jangan juga goyang ngebor, bisa bolong nanti danaunya, tanpa digergaji." Ih, mengesalkan banget sih orang ini, tapi lucu. "Jadul banget sih, Yud, goyang ngebor?!" komentarku. Baiklah, aku mengikutinya berjalan di atas air yang membeku sempurna itu, bahkan tidak ada kesan
"Yud, omonganmu benar banget ternyata, kita pergi ke Korea berdua, pulang ke Indonesia bertiga," celetukku sambil mencolek-colek lengan suamiku. Kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kami sendiri. "Hahahaha." Dia tertawa ngakak. Salah satu tangannya mengacak rambutku gemas. "Yah, setidaknya ucapanku sudah terwujud dengan cara yang lain, Sha." Ah, suamiku! Makin cinta saja aku rasanya jika melihat sikapnya yang selalu membawa positive vibe begini. "Iya, suamiku. Aku cuma bercanda tadi. Lagipula membantu orang lain yang membutuhkan tidak pernah menjadi hal yang buruk," tandasku dengan senyum menghias bibirku. "Terima kasih, Ashanna sayang, kamu selalu mendukung keputusanku," ucapnya tulus penuh rasa syukur. "Sama-sama, Chagiya," balasku dengan nada genit. "Ahahahaha." Selepas liburan kami di Korea, kami memang benar-benar pulang bertiga. Bukan aku tiba-tiba berbadan dua, karena hanya seminggu kami di sana, dan terlalu dini untuk mengecek kehamilan. Adalah seorang ibu yang
"Syukurlah, Le, kamu sampai di sini dengan selamat. Ibu sudah khawatir saja karena hujan deras." Seorang wanita berdaster usia lima puluhan menyambut kami dengan wajah yang terlihat lelah tetapi penuh kelegaan. Sepertinya dia ibu Mas Wawan. "Iya, Bu," sahut si pegawai resort. "Ini siapa, wong bagus, cah ayu?" tanya sang bu sembari menunjuk kami berdua. "Bos di kerjaan, Bu." Mengetahui diri kami disebut, Yudistira dan aku bergegas memperkenalkan diri kepada wanita itu. "Saya Yudistira, Bu, ini istri saya Ashanna." Kami mengulurkan tangan, dan disambut dengan sangat ramah oleh ibu itu. "Waduh, matur nuwun, yo, Mas, Mbak, sudah repot jauh-jauh mengantarkan anak saya pulang, hujan-hujan pula," ucapnya penuh rasa terima kasih. "Saya Maryanti, ibunya Irawan (Wawan)." Kami tersenyum kepada sang ibu, dan menandaskan bahwa kami membantu anaknya dengan senang hati. Beberapa waktu kemudian suami Bu Maryanti muncul dan berkenalan pula dengan kami. Namanya Pak Guntoro. "Ini anak pertama sa