Beranda / Romansa / Suami Pelarian / 75. Yudistira - Ashanna

Share

75. Yudistira - Ashanna

Penulis: Teha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
"Syukurlah, Le, kamu sampai di sini dengan selamat. Ibu sudah khawatir saja karena hujan deras."

Seorang wanita berdaster usia lima puluhan menyambut kami dengan wajah yang terlihat lelah tetapi penuh kelegaan. Sepertinya dia ibu Mas Wawan.

"Iya, Bu," sahut si pegawai resort.

"Ini siapa, wong bagus, cah ayu?" tanya sang bu sembari menunjuk kami berdua.

"Bos di kerjaan, Bu."

Mengetahui diri kami disebut, Yudistira dan aku bergegas memperkenalkan diri kepada wanita itu.

"Saya Yudistira, Bu, ini istri saya Ashanna." Kami mengulurkan tangan, dan disambut dengan sangat ramah oleh ibu itu.

"Waduh, matur nuwun, yo, Mas, Mbak, sudah repot jauh-jauh mengantarkan anak saya pulang, hujan-hujan pula," ucapnya penuh rasa terima kasih. "Saya Maryanti, ibunya Irawan (Wawan)."

Kami tersenyum kepada sang ibu, dan menandaskan bahwa kami membantu anaknya dengan senang hati. Beberapa waktu kemudian suami Bu Maryanti muncul dan berkenalan pula dengan kami. Namanya Pak Guntoro.

"Ini anak pertama sa
Teha

Dedek YuNa sudah lahir, walaupun bukan bayinya Yudistira dan Ashanna, yang penting ikut senang. Terus gimana nih? Mau gak ya mereka nginap di rumah Pak Guntoro? Eh, mereka bakal dapat kejutan lagi, lho. Tunggu di bab selanjutnya, ya. Terima kasih telah membaca. ^^

| Sukai
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Suami Pelarian   76. Keluarga atau Pekerjaan?

    "Hahahaha. Tampangmu lucu banget, Yud!" seruku sambil tertawa cekikikan. Suamiku tersenyum kalem saja. Sebenarnya bukan hanya dia yang terlihat konyol, aku pun tak kalah lucu. Tak bisa melawan keadaan tak terduga, kami memutuskan untuk menginap di rumah Pak Guntoro. Ketika kami pergi untuk mengantarkan Mas Wawan pulang kampung, kami tak membawa apapun selain tas kecil berisi dompet, dan kartu indentitas. Di mobil pun tidak ada baju, selain beberapa potong selendang. "Pakai baju kami saja, Mas," usul Pak Guntoro. "Mbaknya bisa pakai baju istri saya." Tak punya pilihan lain, kami menerima kebaikan mereka. Tampak sekali mereka mencari baju rumah yang paling nyaman, sekaligus paling bagus untuk kami kenakan. Mereka berusaha menjadi tuan rumah yang baik. Awalnya Bu Mar hendak meminjamiku salah satu dasternya yang masih bagus, bahkan terlihat relatif baru, tetapi aku menolak. "Kalau ada celana panjang saja, Bu," ujarku sedikit rikuh. Sudah ditawari baju bagus, malah meminta yang lain.

  • Suami Pelarian   77. Solusi Melegakan

    "Loh, kalian kok bisa sampai di sini?" Si bapak tukang perintah itu bertanya kepada kami dengan ekspresi kaget sekaligus gembira."Iya, Pak, kemarin kami mengantar pegawai resort yang istrinya mau lahiran, waktu kami mau pulang, eh, malah terhadang longsor," terang suamiku antusias. "Apa kabar, Pak?""Baik, Mas," jawab si bapak, lalu mereka berdua mengobrol seru. Aku yang menyaksikan tanpa tahu situasi yang sebenarnya hanya bisa plonga-plongo.Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa mereka sudah saling mengenal, karena cara mereka mengobrol bisa langsung klop.Kedua pria beda umur itu berbicara selama beberapa saat, kemudian barulah suamiku menyadari bahwa istrinya hanya menjadi penonton yang cuma bisa domblong seperti sapi ompong."Aduh, Pak. Maafkan saya." Yudistira berseru sambil melirikku. "Keasyikan ngobrol sampai lupa ada istri saya. Sha, kamu masih ingat sama bapak satu ini?"Yudistira merangkul pundakku, dan menarikku supaya lebih mendekat. Dari yang kuperhatikan Yudistira sudah meng

  • Suami Pelarian   78. Hamil

    "Arrkh! Aduh!" erangku, di saat aku mencoba untuk mengangkat kepalaku dari atas bantal.Pagi itu aku terbangun dengan kepala yang sangat berat, pusing, dan tak enak badan, seperti ketika aku masuk angin. Hanya saja rasa sakit ini datang begitu tiba-tiba padahal kemarin aku masih sehat."Kenapa, Sha?" Yudistira yang masih berbaring di sebelahku terbangun dan bertanya."Nggak tahu, Yud. Kepalaku tiba-tiba pusing, nggak enak banget," keluhku dengan suara lemah.Yudistira terduduk sambil memandangku dengan mata terbuka lebar. Sesaat ia membeku, tak bergerak dan tak mengucapkan satu katapun, sampai aku khawatir kalau dia kesambet.Lantas suamiku itu berseru dengan suara yang cukup keras. "Sha! Jangan-jangan kamu hamil!"Suaranya mengagetkanku, tetapi aku terlalu lemah untuk bereaksi, apalagi dengan kepala yang keliyengan begini."Ayo cepat, Sha, kita periksa saja dengan testpack! Kita sudah siapkan itu, kan? Masih ada di lemari obat." Seperti bocah yang kegirangan karena mendapatkan mainan

  • Suami Pelarian   79. Kuaci

    "Jauhkan tanganmu, kisanak!" seru adik iparku menepis tangan kakaknya yang hendak menyentuh kepalanya.Ia membuat kuda-kuda dengan kedua tangan mengepal di depan dada. Wajahnya terlihat garang. Duh, gayanya macam pendekar wanita temannya Wiro Sableng saja. Eh, tapi Wiro Sableng punya teman cewek bernama Niken nggak, sih?Suamiku juga tak mau kalah. Ia menghadapi adiknya sambil menyanyi lagu tema film Mandarin yang diplesetkan. "Hei, kamu bayar utang ... ai juga butuh uang ...."Duh, kakak adik kok kompakan kebanyakan gaya gini, sih? Tertawa diriku jadinya.Yudistira mencemooh saran adiknya untuk memberikan nama embrio yang berada di dalam perutku, menurutnya itu kekanakan banget."Ini tuh seru tau, Mas! Kan lucu, kalau calon bayi dikasih nama, udah biasa itu. Ingat, ya, biarpun mukanya belum kelihatan batang hidungnya, si embrio sudah menjadi satu kehidupan baru. Betul kan, Mbak?" terangnya dengan semangat berkobar, seakan ia sedang mengikuti debat pemilihan ketua RT.Mendengar omongan

  • Suami Pelarian   80. Bumil Manja

    "Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b

  • Suami Pelarian   81. Keponakan

    "Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin

  • Suami Pelarian   82. Semua Untuk Kuaci

    "Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya

  • Suami Pelarian   83. Lagi-lagi Kuaci!

    "Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak

Bab terbaru

  • Suami Pelarian   88. Suami Pelarian (Bab Terakhir)

    (Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc

  • Suami Pelarian   87. Orang Tua Terbaik

    "Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi

  • Suami Pelarian   86. Cendol

    "Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan

  • Suami Pelarian   85. Anak Perempuan yang Mirip Ayahnya

    "Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K

  • Suami Pelarian   84. Anniversary

    "Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah

  • Suami Pelarian   83. Lagi-lagi Kuaci!

    "Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak

  • Suami Pelarian   82. Semua Untuk Kuaci

    "Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya

  • Suami Pelarian   81. Keponakan

    "Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin

  • Suami Pelarian   80. Bumil Manja

    "Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b

DMCA.com Protection Status