Hayo, pergi berdua, pulang bertiga, bisa gak ya? Btw, novel ini mendekati ending, ya, walaupun masih sedikit panjang. Semoga authornya gak molor kayak kolor, doakan dan kasih semangat, ya, pembaca yang budiman. Terima kasih. ^^
"Yud, omonganmu benar banget ternyata, kita pergi ke Korea berdua, pulang ke Indonesia bertiga," celetukku sambil mencolek-colek lengan suamiku. Kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kami sendiri. "Hahahaha." Dia tertawa ngakak. Salah satu tangannya mengacak rambutku gemas. "Yah, setidaknya ucapanku sudah terwujud dengan cara yang lain, Sha." Ah, suamiku! Makin cinta saja aku rasanya jika melihat sikapnya yang selalu membawa positive vibe begini. "Iya, suamiku. Aku cuma bercanda tadi. Lagipula membantu orang lain yang membutuhkan tidak pernah menjadi hal yang buruk," tandasku dengan senyum menghias bibirku. "Terima kasih, Ashanna sayang, kamu selalu mendukung keputusanku," ucapnya tulus penuh rasa syukur. "Sama-sama, Chagiya," balasku dengan nada genit. "Ahahahaha." Selepas liburan kami di Korea, kami memang benar-benar pulang bertiga. Bukan aku tiba-tiba berbadan dua, karena hanya seminggu kami di sana, dan terlalu dini untuk mengecek kehamilan. Adalah seorang ibu yang
"Syukurlah, Le, kamu sampai di sini dengan selamat. Ibu sudah khawatir saja karena hujan deras." Seorang wanita berdaster usia lima puluhan menyambut kami dengan wajah yang terlihat lelah tetapi penuh kelegaan. Sepertinya dia ibu Mas Wawan. "Iya, Bu," sahut si pegawai resort. "Ini siapa, wong bagus, cah ayu?" tanya sang bu sembari menunjuk kami berdua. "Bos di kerjaan, Bu." Mengetahui diri kami disebut, Yudistira dan aku bergegas memperkenalkan diri kepada wanita itu. "Saya Yudistira, Bu, ini istri saya Ashanna." Kami mengulurkan tangan, dan disambut dengan sangat ramah oleh ibu itu. "Waduh, matur nuwun, yo, Mas, Mbak, sudah repot jauh-jauh mengantarkan anak saya pulang, hujan-hujan pula," ucapnya penuh rasa terima kasih. "Saya Maryanti, ibunya Irawan (Wawan)." Kami tersenyum kepada sang ibu, dan menandaskan bahwa kami membantu anaknya dengan senang hati. Beberapa waktu kemudian suami Bu Maryanti muncul dan berkenalan pula dengan kami. Namanya Pak Guntoro. "Ini anak pertama sa
"Hahahaha. Tampangmu lucu banget, Yud!" seruku sambil tertawa cekikikan. Suamiku tersenyum kalem saja. Sebenarnya bukan hanya dia yang terlihat konyol, aku pun tak kalah lucu. Tak bisa melawan keadaan tak terduga, kami memutuskan untuk menginap di rumah Pak Guntoro. Ketika kami pergi untuk mengantarkan Mas Wawan pulang kampung, kami tak membawa apapun selain tas kecil berisi dompet, dan kartu indentitas. Di mobil pun tidak ada baju, selain beberapa potong selendang. "Pakai baju kami saja, Mas," usul Pak Guntoro. "Mbaknya bisa pakai baju istri saya." Tak punya pilihan lain, kami menerima kebaikan mereka. Tampak sekali mereka mencari baju rumah yang paling nyaman, sekaligus paling bagus untuk kami kenakan. Mereka berusaha menjadi tuan rumah yang baik. Awalnya Bu Mar hendak meminjamiku salah satu dasternya yang masih bagus, bahkan terlihat relatif baru, tetapi aku menolak. "Kalau ada celana panjang saja, Bu," ujarku sedikit rikuh. Sudah ditawari baju bagus, malah meminta yang lain.
"Loh, kalian kok bisa sampai di sini?" Si bapak tukang perintah itu bertanya kepada kami dengan ekspresi kaget sekaligus gembira."Iya, Pak, kemarin kami mengantar pegawai resort yang istrinya mau lahiran, waktu kami mau pulang, eh, malah terhadang longsor," terang suamiku antusias. "Apa kabar, Pak?""Baik, Mas," jawab si bapak, lalu mereka berdua mengobrol seru. Aku yang menyaksikan tanpa tahu situasi yang sebenarnya hanya bisa plonga-plongo.Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa mereka sudah saling mengenal, karena cara mereka mengobrol bisa langsung klop.Kedua pria beda umur itu berbicara selama beberapa saat, kemudian barulah suamiku menyadari bahwa istrinya hanya menjadi penonton yang cuma bisa domblong seperti sapi ompong."Aduh, Pak. Maafkan saya." Yudistira berseru sambil melirikku. "Keasyikan ngobrol sampai lupa ada istri saya. Sha, kamu masih ingat sama bapak satu ini?"Yudistira merangkul pundakku, dan menarikku supaya lebih mendekat. Dari yang kuperhatikan Yudistira sudah meng
"Arrkh! Aduh!" erangku, di saat aku mencoba untuk mengangkat kepalaku dari atas bantal.Pagi itu aku terbangun dengan kepala yang sangat berat, pusing, dan tak enak badan, seperti ketika aku masuk angin. Hanya saja rasa sakit ini datang begitu tiba-tiba padahal kemarin aku masih sehat."Kenapa, Sha?" Yudistira yang masih berbaring di sebelahku terbangun dan bertanya."Nggak tahu, Yud. Kepalaku tiba-tiba pusing, nggak enak banget," keluhku dengan suara lemah.Yudistira terduduk sambil memandangku dengan mata terbuka lebar. Sesaat ia membeku, tak bergerak dan tak mengucapkan satu katapun, sampai aku khawatir kalau dia kesambet.Lantas suamiku itu berseru dengan suara yang cukup keras. "Sha! Jangan-jangan kamu hamil!"Suaranya mengagetkanku, tetapi aku terlalu lemah untuk bereaksi, apalagi dengan kepala yang keliyengan begini."Ayo cepat, Sha, kita periksa saja dengan testpack! Kita sudah siapkan itu, kan? Masih ada di lemari obat." Seperti bocah yang kegirangan karena mendapatkan mainan
"Jauhkan tanganmu, kisanak!" seru adik iparku menepis tangan kakaknya yang hendak menyentuh kepalanya.Ia membuat kuda-kuda dengan kedua tangan mengepal di depan dada. Wajahnya terlihat garang. Duh, gayanya macam pendekar wanita temannya Wiro Sableng saja. Eh, tapi Wiro Sableng punya teman cewek bernama Niken nggak, sih?Suamiku juga tak mau kalah. Ia menghadapi adiknya sambil menyanyi lagu tema film Mandarin yang diplesetkan. "Hei, kamu bayar utang ... ai juga butuh uang ...."Duh, kakak adik kok kompakan kebanyakan gaya gini, sih? Tertawa diriku jadinya.Yudistira mencemooh saran adiknya untuk memberikan nama embrio yang berada di dalam perutku, menurutnya itu kekanakan banget."Ini tuh seru tau, Mas! Kan lucu, kalau calon bayi dikasih nama, udah biasa itu. Ingat, ya, biarpun mukanya belum kelihatan batang hidungnya, si embrio sudah menjadi satu kehidupan baru. Betul kan, Mbak?" terangnya dengan semangat berkobar, seakan ia sedang mengikuti debat pemilihan ketua RT.Mendengar omongan
"Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b
"Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin