Home / Romansa / Suami Pelarian / 65. Lamaran

Share

65. Lamaran

Author: Teha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56
"Mana bisa begitu, Yud? Aku nggak punya kapasitas untuk itu." Kutatap suamiku putus asa.

"Mau bagaimana lagi, Sha, tidak ada pilihan lain," sahut Yudistira mengangkat bahunya lemah. Ia tak kalah putus asanya dariku.

"Gini amat, ya, hidup ...," desahku lelah. Kupejamkan mataku sejenak.

"Sabar, ya, Sha. Kita pasti bisa melalui semua ini," hiburnya seraya membiarkan aku bersandar di bahunya.

Pak Pandu tak tanggung-tanggung dengan keputusannya, hingga aku berpikir ayah mertuaku itu jahat. Rasanya aku ingin membencinya, serta memprotes keputusannya, tapi siapa diriku, aku cuma perempuan miskin yang sangat beruntung karena diterima menjadi menantunya.

Bagaimana aku tidak geram? Setelah semua keperluan lamaran kami persiapkan, kami baru sadar, Juna tidak mungkin datang melamar Fitri sendirian. Maksudku, kami pasti menemani, tetapi ia membutuhkan orang tuanya untuk melamarkan Fitri untuk Juna, padahal Pak Pandu menolak untuk hadir.

"Keluarga dari pihak Mama meminta maaf karena tidak bisa
Teha

Waduh, Ashanna ketemu siapakah gerangan? Seseorang yang ingin dilupakan???

| Like
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Suami Pelarian   66. Berdamai dengan Masa Lalu 1

    "B-baik," ucapku terbata. Jantungku berdebar tak karuan setelah mengetahui sosok perempuan yang menyapaku ramah. "Sudah lama sekali kita tidak berjumpa, ya. Itu suamimu?" tanyanya lagi ketika melihat Yudistira di sampingku. "Halo! Saya Yudistira, suami Ashanna," sapa Yudis sembari memperkenalkan diri. Ia mengulurkan tangan kanannya yang disambut oleh perempuan tadi dengan antusias, sementara tangan suamiku menggandeng tanganku yang sedingin es. Genggaman tangannya yang hangat begitu menguatkan hatiku. Ikatan batin suami istri bisa sekuat ini, tanpa diucapkan ia mengerti kegelisahanku. "Wah, Ashanna! Kamu memang tidak salah memilih suami," puji wanita lagi setelah bercakap beberapa menit dengan suamiku. "Hehe. Iya, Win," aku tertawa canggung. Benar. Wanita yang tak sengaja bertemu dengan kami adalah Winda, mantan sahabat yang telah merebut kekasihku pada masa itu, wanita yang sangat tak ingin kutemui, meskipun kami pernah sangat dekat di masa lalu. Katanya dunia tak selebar daun

  • Suami Pelarian   67. Berdamai dengan Masa Lalu 2

    "Katanya siklus hidup manusia tuh, lahir, bertumbuh, jadi dewasa. Habis itu ditanyain kapan punya pacar. Setelah punya pacar, ditanyain lagi, kapan menikah, habis menikah, ditanyain lagi, kapan punya anak. Begitu terus bahkan setelah orang menyadari bahwa menikah dan memiliki anak adalah hal yang nggak gampang." Kata-kata bernada gurauan yang sempat Mei lontarkan itu sebetulnya memang benar. Entahlah, hal itu seperti terpola dalam pikiran orang, bahwa kehidupan masih terasa kurang ketika seseorang belum memiliki pasangan, dan keluarga sendiri. Padahal di era digital sekarang, yang katanya generasinya bukan milenial lagi, tapi sudah menjadi generasi Z, ada cukup banyak orang yang memilih untuk tetap singel, ataupun child free dengan alasan masing-masing. Lalu mengapa urusan menikah dan memiliki anak masih dianggap sebagai suatu masalah besar? Aku masih sedikit sensitif dengan persoalan memiliki anak, eh, mantan sahabatku dulu yang kini telah memiliki anak malah menanyakan itu. "Aku?

  • Suami Pelarian   68. Pesta Pernikahan Impian

    "Apa yang kamu lihat, Sayang? Nungguin siapa?" tanya Yudistira menarik kembali perhatianku dari menatap jalanan di depan toko bunga Asri. Seulas senyum lemah kulemparkan kepadanya, ia mengerti apa yang menjadi kegelisahanku. Perlahan diraihnya tanganku dalam genggamannya. "Bahkan sampai detik terakhir pun kamu masih berharap, Ashanna," ucapnya syahdu. "Hehehe. Sesuatu yang baik layak untuk diharapkan sampai detik terakhir, Yud, bahkan jika kemungkinannya hanya 0,0001 persen," ujarku optimis. Yudistira menatapku intens sembari tersenyum penuh arti, sampai aku salah tingkah. "Apaan sih, Yud, ngelihatin aku kayak gitu? Aku malu, tau," sungutku pura-pura merajuk. Dengan gemas suamiku menyentuh ujung hidungku. "Coba kita tidak sedang berada di acara nikahan kakakku, dan kamu nggak lagi dandan lengkap begini, pasti ...." "Hush! Diem, Yud! Di sini banyak anak di bawah umur," desisku dengan mata mendelik. Matahari belum begitu terik, tapi suhu wajahku sudah meningkat. "Hahaha." Yudisti

  • Suami Pelarian   69. Menantu Idaman

    "Benar 'kan apa kata saya? Mama Brownie memang jago meramal. Hihi," kekeh Mbak Angel sembari menutupi bibirnya dengan tangan, ala-ala wanita cantik gitu. Mendengar nama Mama Brownie yang jago meramal, aku malah jadi horor sendiri, padahal yang dia lakukan hanya membuat perkiraan asal-asalan. Dia bukan cenayang, dan tak bisa mengetahui masa depan. "Yah, memang tidak langsung jadi, tapi waktu setengah tahun kan termasuk cepat, dibandingkan yang sudah hampir dua tahun." Kali ini ucapannya malah mengandung sindiran. Hhh, hayati sungguh lelah, pemirsa! "Iya, Mbak." Kutanggapi ucapannya sambil lalu, karena berbicara dengan Mbak Angel belum pernah menyenangkan bagiku, lebih sering menjengkelkan. Bukannya aku berpikiran negatif tentangnya, tetapi selalu saja ada momen menyebalkan, entah dia bersikap sok tahu, kepo secara berlebihan, merendahkan orang lain, sampai ngibul tentang dirinya sendiri. "Yah, begitulah mereka yang masih muda, cepat banget tercapai gol-nya, nggak kayak kita yang s

  • Suami Pelarian   70. Iri Adalah Penyakit Hati

    "Bapaknya siapa sih itu? Nyolot banget kayak anaknya," sindir Mei sembari melirik suamiku dengan pandangan mencemooh. Kami sedang membicarakan ayah mertuaku. "Pak Pandu? Bapaknya Arjuna, lah. Aku kan cuma anak ketemu gedhe," kilah suamiku. Yudistira menghindari 'serangan' Mei dengan sangat efektif. "Hahaha. Kamu sih, Mei, anak pelawak dilawan." Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat interaksi antara suamiku dan sahabatku. Muka Mei cemberut, seperti bocah yang habis dirundung temannya, dan mainannya direbut. Macam Suneo dengan si giant, Takeshi gitu. "Hah, apes bener, ketemu tukang nyolot beneran! Pinter banget dia membalik kata-kata! Hebat banget kamu, Ashanna, bisa mengalahkan ahli silat lidah." Mei kesal karena tak mampu memojokkan suamiku yang selicin belut. Sikap pasrahnya membuatku semakin geli. Meskipun sahabatku itu telah mengibarkan bendera putih, Yudistira masih belum lelah. "Kalau sama Ashanna aku berubah, Mei," katanya sambil menatap lurus ke arahku. Waduh, ada bau-bau

  • Suami Pelarian   71. Terjebak

    "Bulan madu macam apa ini, Yud?," gerutuku sembari mengenakan pakaian hangat. Tubuhku rasanya nyaris membeku, padahal saat ini tengah hari. Yudistira memandangku sambil tersenyum geli. "Kan kamu sendiri yang minta ke sini, Sha. Katanya mau ngerasain hidup pedesaan ala Korea," kekehnya. "Iya, aku yang salah. Salahkan saja aku terus ...." "Hihihi." Dengan sigap Yudistira meraihku ke pelukannya, hingga ucapanku terputus. "Duh, istriku ternyata memang jago mengomel. Dapat juara berapa waktu lomba kemarin?" guraunya sembari mengelus kepalaku. "Iih, nyebelin!" seruku kesal-kesal manja. "Aku nyebelin, itu betul. Aku sayang kamu, itu lebih betul lagi." Dengan lembut dikecupnya keningku, membuatku tak bisa berkutik dan pasrah dalam dekapan hangatnya. Yudistira sungguh penuh kejutan. Sewaktu dia bilang akan mengajakku ke ujung dunia, ternyata suamiku itu berniat mengajakku ke belahan lain dari bola bumi ini. Ia mengajakku ke negeri ginseng, Korea Selatan. Wow! Waktu kutanya mengapa tiba-t

  • Suami Pelarian   72. Hikmah di Balik Badai

    "Yeoboya, fighting!" seruku menyemangati suami dengan gaya Korea.Yudistira langsung sumringah, dan melambaikan tangannya penuh semangat. "Oke, chagiya!!" teriaknya senang. Duh, aku jadi malu!Semalam sebelum tidur kami sempat ngobrol berdua tentang bahasa Korea yang kami dengar dari tuan dan nyonya rumah. "Sha, yoebo itu nama panggilan untuk suami istri kah?" tanya Yudistira."Iya, Yud. Yoebo itu cara seseorang memanggil pasangan hidupnya, suami atau istri. Kalau pacaran beda lagi," paparku dengan gaya sok ahli Korea. Padahal pengetahuanku cuma seupil."Oh, gitu. Memang kalau pacar manggilnya gimana?" Kekepoannya berlanjut."Chagi atau chagiya," jawabku. Lalu kuterangkan bahwa dalam bahasa Korea mereka menambahkan akhiran "a" atau "ya" di belakang nama atau panggilan, bila sudah akrab. Kalau namanya berakhiran huruf konsonan pakai "a", sedangkan nama yang berakhiran huruf vokal pakai "ya".Yudistira mengangguk mengerti. "Berarti kamu juga bisa memanggilku yeobo atau chagi, dong?" tany

  • Suami Pelarian   73. Bulan Madu yang Sebenarnya

    "Yud!!! Kalau kacanya pecah dan aku jatuh ke air gimana?" rintihku ketakutan, sembari memegang lengan suamiku erat-erat. Sudah macam balonku ada lima saja pokoknya dipegang erat-erat, ditambah lagi hatiku juga sangat kacau. Yudistira tertawa mengejekku. "Ini bukan kaca, Sha. Ini es," tandasnya, malah membuatku semakin takut, dan mengomel. "Lihat itu si Bapak udah sampai tengah, nggak ada masalah." Dia menunjuk Pak Park yang sudah sampai di tengah danau, dan dengan santai duduk di kursi plastik yang dibawanya. Pria paruh baya itu bahkan siap membuat lubang berbentuk lingkaran dengan gergaji untuk memancing ikan. "Ikut aku, Sha," perintah Yudis dengan suara riang. "Yang penting kamu nggak joget zumba, pasti aman. Jangan juga goyang ngebor, bisa bolong nanti danaunya, tanpa digergaji." Ih, mengesalkan banget sih orang ini, tapi lucu. "Jadul banget sih, Yud, goyang ngebor?!" komentarku. Baiklah, aku mengikutinya berjalan di atas air yang membeku sempurna itu, bahkan tidak ada kesan

Latest chapter

  • Suami Pelarian   88. Suami Pelarian (Bab Terakhir)

    (Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc

  • Suami Pelarian   87. Orang Tua Terbaik

    "Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi

  • Suami Pelarian   86. Cendol

    "Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan

  • Suami Pelarian   85. Anak Perempuan yang Mirip Ayahnya

    "Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K

  • Suami Pelarian   84. Anniversary

    "Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah

  • Suami Pelarian   83. Lagi-lagi Kuaci!

    "Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak

  • Suami Pelarian   82. Semua Untuk Kuaci

    "Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya

  • Suami Pelarian   81. Keponakan

    "Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin

  • Suami Pelarian   80. Bumil Manja

    "Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b

DMCA.com Protection Status