Ashanna,.kapan pulang? Dicari suamimu, tuh. Tenang pembaca, author spoiler besok Ashanna pulang kembali ke pelukan paksu, tapi.... ah, pokoknya lucu nanti. Tungguin bab berikutnya, ya. ^^
"Mbak Sha, jangan lupa main ke rumah. Aku tunggu, lho. Kalau nggak datang, nanti kalau Mbok Is bikin nasi liwet, Mbak Sha nggak boleh minta." Arum si bocah kecil berpamitan dengan meninggalkan ancaman yang begitu menggemaskan. "Ya udah, nanti Mbak Sha minta dibuatin sama Budhe Ina, bisa makan banyak, deh," godaku menentang kehendak tuan putri. Budhe Ina adalah tetangga sebelah, jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah orang tuaku, kakak ipar Mama Ani yang kini menempati rumah mereka yang lama. Hari Minggu pagi kami bertamu ke rumah Budhe Ina. Sebenarnya lebih tepat kalau dibilang kami datang untuk bermain, membuat kebisingan, dan meminta makan. Kebetulan sekali hari itu Budhe Ina yang asli Solo memasak nasi liwet. Arum bilang bahwa rasa nasi liwetnya mirip buatan Mbak Is, aromanya sedap, dan rasanya lezat. Aku dan adik-adikku sangat menikmatinya, dan alhasil kami berenamlah yang menghabiskan makanan itu. Nah, si Arum ini lucu, kalau menginginkan sesuatu dari seseorang, tetapi ora
"Kamu itu ... kita nggak ketemu selama seminggu, tapi yang pertama kamu tanyakan malah kakak iparmu." Kutolehkan kepala ke kanan untuk melihat pak sopir yang sedang memegang kemudi. Wajahnya merengut, persis Arum yang sedang ngambek. Tercium bau-bau caper, nih. "Baru juga enam hari, belum tujuh, belum seminggu, lah," sahutku acuh tak acuh, sembari menatap ke jalanan di depan kami. Seru juga bisa menggoda suamiku lagi! Sesekali kulirik dia lewat ekor mataku. Raut mukanya menggelikan. Aku tertawa dalam hati, lucu juga melihat suamiku cemburu kepada saudaranya sendiri. "Seminggu, Ashanna! Satu minggu, hanya kurang delapan belas jam, lima puluh menit, dua detik," timpalnya menolak untuk diabaikan. Ah, semakin lucu saja dia. "Itu perhitungan akurat kah, Pak Yudistira?" tanyaku menggodanya lagi. "Akurat dong ..., tapi banyak ngawurnya," jawabnya seraya nyengir lebar. "Hahaha." Aku tertawa. Benar dugaanku, Yudistira hanya caper. Setelah sekian waktu berpisah, aku sangat bahagia bisa b
"Lucky itu imut-imut, ya. Anaknya cakep, pintar, Mama jadi sayang," ibu mertuaku memuji anak Fitri. Sudah barang tentu ini kemajuan yang menggembirakan, sebab Mama Ani telah jatuh hati kepada anak dari calon menantunya yang sempat ditentang oleh Papa. "Iya, Ma. Lucky memang pintar, lucu," sahutku masih mencoba menjaga senyuman yang sedari tadi kusematkan di bibirku. Pembicaraan dengan ibu mertuaku akhir-akhir ini terasa berat. Bagaimana tidak, meskipun nadanya positif dan menyenangkan, ujung-ujungnya pasti ngomongin harapannya agar segera memiliki cucu dari anak kandungnya sendiri. "Duh, kalau anak Mama sendiri punya anak, pasti cakep, pintar dan lucu juga, kayak Mama. Hihi. Pasti seru hari-hari Mama nanti bisa momong cucu, darah daging Mama sendiri." Deg! Ucapan ibu mertuaku membuatku terdiam. Aku tidak tahu isi hatinya yang sebenarnya, apakah dia memang ingin menyindirku, atau itu hanya sekadar sebuah doa, yang jelas hatiku seperti dicubit. Ini yang namanya sakit, tapi tidak be
"Mas Heri itu ... hihi ... mesra sekali, lho. Setiap hari saya selalu dibuat jatuh cinta kepadanya. Hihihi." Mbak Angel datang ke rumahku untuk memberi oleh-oleh pie susu dari Bali. Katanya dia habis liburan dengan suaminya, bulan madu ketujuh. Widih! Dengan antusias dia menceritakan betapa serunya acara liburannya dengan sang suami, dan (sedikit menjengkelkan) memamerkan betapa mesranya mereka di sana. Semenjak insiden hilangnya uang lima juta kala itu, tetanggaku yang dulu jutek ini berubah baik, dan sering berbagi bila punya makanan atau oleh-oleh yang dibawa dari liburan, termasuk hari ini. Awalnya aku was-was, jangan-jangan nanti ada barang yang hilang lagi di rumah kalau dia datang ke rumah. Siapa tahu 'kan orang ini sebenarnya mengidap kleptomania. "Jangan berburuk sangka dulu," nasihat Yudistira saat aku mengungkapkan kekhawatiranku tentang hal ini. "Bukan berburuk sangka, Yud, jaga-jaga saja. Aku 'kan nggak mau ada barang yang hilang dengan sia-sia. Bukan soal nilainya, t
"Kamu kenapa lagi, Ashanna?" Yudistira bertanya demi melihat gelagat tidak enak di wajahku. "Nggak apa-apa," jawabku lirih. Kedua tanganku meremas satu sama lain, sedangkan mataku tak bisa fokus, bingung apakah harus tetap tinggal atau lebih baik pergi. Terang saja, pikiranku sedang kacau. Repotnya jadi perempuan ya seperti ini, nih. Satu peristiwa kecil dapat mengubah suasana hati dengan begitu drastis. Tadinya aku begitu bersemangat untuk pergi ke mall dengan suamiku karena ingin membeli hadiah untuk anak kedua Mei yang sudah lahir, gara-gara hal nggak penting mood-ku langsung hancur. Di saat seperti ini aku bersyukur memiliki suami seperti Yudistira. Sedikit banyak ia telah belajar tentang menghadapi seorang wanita, khususnya istrinya, maka tanpa kuungkapkan pun suamiku bisa melihat bahwa ada yang tidak beres. "Ikut aku, yuk." Tanpa menunggu jawaban ataupun persetujuanku, Yudistira menarik tanganku, dan mengajakku berjalan. Genggaman tangannya teguh, seolah berkata ia tak akan m
"Kalau kataku, ya, kalian child free aja, malah nggak usah pusing membesarkan anak zaman sekarang yang nakalnya bikin pingin pindah planet." Aku tertegun melihat orang yang membuat pernyataan tadi. Dengan santainya ia menyusui dan berbicara dengan bayi laki-lakinya yang telah berusia dua bulan. "Kamu serius, Mei, ngomong gitu?" tanyaku setengah tak percaya. Kok enteng banget ngomongnya, padahal dia sendiri punya dua anak? Wanita itu adalah Mei, sahabatku yang telah melahirkan anak keduanya. Lagi-lagi anaknya cowok, diberi nama Julian, sesuai janjinya untuk memberikan nama Juli kepada anak keduanya. Berhubung lahirnya bukan di bulan Juli, makanya ditambah -an, jadi Julian, deh. "Ya, serius, lah! Memangnya aku lagi ngelawak? Iya, Sayang. Mimik cucu," sahutnya acuh tak acuh karena ia lebih fokus menyusui anaknya yang menggemaskan itu. "Ya, bukan ngelawak juga, Mei. Kamu saja punya dua anak, tapi ngomongin child free. Apakah itu berarti kamu menyesal memiliki anak, Mei?" Mendengar uc
"Orang kaya tuh semua begitu, sering memandang rendah orang miskin, berpikir mereka tak selevel." Aku masih ingat salah seorang teman berkata seperti itu. Tadinya aku tak begitu peduli, lalu mencemooh pendapatnya, terutama setelah menikah dengan Yudistira yang adalah anak seorang konglomerat. "Ah, mertuaku tak seperti itu, kok. Papa Pandu dan Mama Ani baik kepadaku, meskipun keluargaku bukan keluarga kaya dan terpandang," pendapatku, menepis anggapan bahwa semua orang kaya seperti yang orang tuduhkan. Pak Pandu memang baik kepadaku, Bu Ani lebih-lebih lagi, sayangnya kepadaku sudah seperti anak sendiri. "Aduh, Ashanna! Maafkan Mama, ya, kalau Mama selama ini salah karena sudah membuat kamu tertekan mengenai anak," sesalnya kepadaku seusai anak lelakinya bercerita bahwa aku pusing dan galau karena belum memiliki anak. Menurutnya apa yang ia ucapkan soal mempunyai cucu dari darah dagingnya sendiri adalah sebuah harapan dan doanya, tetapi ia sama sekali tidak memaksa kami untuk secep
"Mana bisa begitu, Yud? Aku nggak punya kapasitas untuk itu." Kutatap suamiku putus asa. "Mau bagaimana lagi, Sha, tidak ada pilihan lain," sahut Yudistira mengangkat bahunya lemah. Ia tak kalah putus asanya dariku. "Gini amat, ya, hidup ...," desahku lelah. Kupejamkan mataku sejenak. "Sabar, ya, Sha. Kita pasti bisa melalui semua ini," hiburnya seraya membiarkan aku bersandar di bahunya. Pak Pandu tak tanggung-tanggung dengan keputusannya, hingga aku berpikir ayah mertuaku itu jahat. Rasanya aku ingin membencinya, serta memprotes keputusannya, tapi siapa diriku, aku cuma perempuan miskin yang sangat beruntung karena diterima menjadi menantunya. Bagaimana aku tidak geram? Setelah semua keperluan lamaran kami persiapkan, kami baru sadar, Juna tidak mungkin datang melamar Fitri sendirian. Maksudku, kami pasti menemani, tetapi ia membutuhkan orang tuanya untuk melamarkan Fitri untuk Juna, padahal Pak Pandu menolak untuk hadir. "Keluarga dari pihak Mama meminta maaf karena tidak bisa