Nah,loh... Setiap masalah memang harus dihadapi dengan berani dan lapang dada, ya, pembaca, jangan lari dari kenyataan, karena di manapun kita berhenti, kenyataan lah yang kita temui. (Authornya sok bijaksana. Hehe) Terus, bapaknya Yudistira marah gak ya? Duh, jangan marah dong, nanti cepat tua. Hehe Temukan jawabannya di bab 50 ya. Terima kasih masih terus mengikuti kisah ini. Jangan lupa tinggalkan komentar dan rate bintang 5 agar author semakin semangat ya. Makasih.- Teha
"Kapan kamu mau nurut sama Papa?" Ayah mertuaku bertanya dengan sorot mata dingin. Meskipun pertanyaan itu tidak ditujukan kepadaku, bulu kudukku merinding. Wibawa Pak Pandu memang tidak main-main. Padahal baru Juna yang ditegur oleh ayah mertuaku, belum aku dan Yudis, tapi aku sudah gentar. Jawaban si anak sulung semakin membuat hatiku menciut. "Memang aku harus nurut bagaimana, Pa? Bukannya sudah ada Yudistira yang selalu nurut sama Papa, dan jadi kebanggaan Papa?" Arjuna menanggapi ayahnya dengan sikap tak acuh yang tak kalah dingin. Sepertinya saat ini aku berada di tempat yang salah, aku tak seharusnya mendengarkan perdebatan mereka. Genggaman tangan suamiku yang terasa hangat masih belum sanggup menenangkan kegundahan hatiku. Hanya sorot mata Mama yang sedikit menghibur, seakan meyakinkan aku bahwa Papa tidak akan lepas kendali karena ada dia di sisinya. "Apa maksudmu? Papa membanggakan Yudistira karena ia memang anak yang baik, penurut. Papa berharap dengan memuji Yudistira
"Halah, sama saja itu. Kamu ingin Papa berkenalan dengan perempuan itu, lalu dia akan menghalalkan segala cara agar Papa mau menerimanya, 'kan? Kamu sama saja dengan Arjuna, tidak lagi menghormati Papa," kecam ayah mertuaku. Tampaknya pembicaraan ini tak akan mudah. Pak Pandu masih berkukuh dengan sikapnya. Namun, Yudistira tak semudah itu menyerah. Paling tidak ia ingin memenuhi janjinya untuk membantu kakak tirinya sebisa mungkin. "Pa, Papa sendiri yang ngajarin anak-anak untuk tidak berprasangka, dan membeda-bedakan orang hanya karena warna kulit, status sosial, dan kedudukan yang berbeda dari kita," ucap Yudistira lembut. "Memang, tapi kasus ini berbeda. Ini menyangkut keluarga kita secara khusus." Pak Pandu berceramah panjang lebar soal karier dan reputasi yang selama ini telah ia bangun. Hidup di dunia yang materialistis sekarang memang sulit. Sebaik-baiknya orang kaya, pasti akan melihat status sosial seseorang ketika anaknya mencari pasangan hidup. Ayah mertuaku memang tid
"Aku nggak bisa kalau kayak gitu. Memangnya aku mau melepaskan usaha yang sudah kubangun sendiri?" dengus iparku kesal. "Ya ampun, Jun ....." Yudistira geleng kepala, putus asa. Ia tertawa dengan tangan menyentuh jidat. Aku mengerti kegeraman suamiku, ia nggak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Juna. Begitu sulit meyakinkan dia, meskipun saran dan argumen yang disampaikan oleh suamiku sangat masuk akal. Papa yang mulai membuka hati, tak serta merta melunak, dan meloloskan keinginan Juna untuk menikahi sang kekasih. "Kamu boleh berpacaran dengan Fitri, asalkan kamu mau kerja sama Papa. Kerja di resort, jadi karyawan biasa, jadi buruh seperti yang lain," tantang Papa. Juna yang tak menduga perkembangan ini langsung syok. "Nggak ... nggak bisa, Pa! Bagaimana dengan bisnisku? Bagaimana dengan ...." "Itu urusan kamu. Kalau kamu masih menginginkan restu dari Papa, turuti kemauan Papa. Atau kamu nggak usah nikah sama sekali." Pak Pandu memberikan ultimatum yang tak bisa diganggu
"Atas nama Yudistira aku meminta maaf, Mas, kalau suamiku pernah berbuat salah, atau membuat kehidupan Mas Juna tidak nyaman," ucapku dengan perasaan tidak enak. Perkataan Juna cukup mengagetkanku. Selama ini kupikir tidak ada masalah yang cukup berarti ketika keluarga Pak Pandu dan Bu Ani bersatu, setelah masing-masing kehilangan pasangan hidup. Namun, alih-alih kesal atau menunjukkan ekspresi getir, wajah Mas Arjun terlihat berseri-seri. "Kamu tidak perlu minta maaf, Ashanna. Ini tak seburuk yang kamu pikirkan," ucapnya untuk menghilangkan rasa bersalahku. Syukurlah! Aku lega bahwa tidak ada masalah besar dalam hubungan antara Yudistira dan Arjuna sebagai saudara tiri. Pria ini bahkan sudah mulai terbiasa menerimaku sebagai bagian dari keluarganya. Ia tak lagi ragu menggunakan kata aku-kamu, padahal sebelumnya Mas Juna selalu terasa menjaga jarak, seolah kami belum benar-benar menjadi keluarga. "Aku memang selalu lebih dekat dengan Mama ketimbang dengan Papa. Jadi aku sangat sedi
"Kamu kenapa, Sha, akhir-akhir ini jadi lebih pendiam? Kurang makan atau gimana, Sayang?" Yudistira menanyakan keadaanku dengan nada bergurau, tetapi aku bisa merasakan kekhawatirannya yang tidak ada kaitannya dengan makanan. "Hehe. Makan pizza, yuk, Yud," ujarku hanya menanggapi pertanyaan yang terucap. Raut wajah suamiku cerah seketika begitu mendengar jawabanku. "Bilang kek dari kemarin, kalau pingin makan pizza," kekehnya. "Jangan ragu bilang kepadaku jika ada yang kamu inginkan, Sayang. Pasti akan kuberikan bila aku mampu." "Hehe. Terima kasih, suamiku tersayang." Aku tersenyum lebar memamerkan sederet gigi sehat yang kujaga ekstra semenjak menikah. Dan sore itu berakhir dengan kencan kami di Mamania, salah satu kedai terkenal yang menyajikan pizza autentik, dipanggang dengan tungku tradisional. Kami makan pizza lezat, bercanda, dan tertawa layaknya pasangan yang tengah dimabuk asmara. Dan percintaan kami di malam harinya masih menggetarkan gairah yang menggelora. Kupikir d
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Nggak ingin bicara baik-baik dulu dengan suamimu?" tanya Ibu dengan wajah prihatin.Aku mengangguk lemah. "Aku sudah sampai di sini artinya semuanya sudah kami bicarakan, Bu, dan ini keputusan kami berdua. Yudistira juga sudah setuju."Bapak menghela napas berat. Kerutan di dahinya semakin bertambah saja. Ah, sejenak aku merasa bersalah karena telah pergi dari suamiku. Mengingat usia pernikahan kami yang bahkan belum genap setahun, rasanya sangat miris bila aku berpisah dari Yudistira, padahal hubungan kami lagi mesra-mesranya."Baiklah, Ashanna. Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung apa yang terbaik untuk kalian berdua. Yang penting ini cuma sementara, dan kalian tidak bercerai," pesan Bapak dengan lembut."Enggak, lah, Pak. Pernikahan ini bukan permainan, meskipun semuanya tidak diawali dengan cinta, aku bukan orang yang suka mengingkari ikrar suci. Aku cuma butuh waktu untuk sendiri dulu," jawabku, kalimat yang sudah kuucapkan
"Kamu tidak tahu, Nak?" Dengan alis terangkat, Ibu membalas pertanyaanku dengan counter attack, eh, bukan, ini bukan sepak bola. Alih-alih langsung menjawab, Ibu malah bertanya balik. Tatapannya polos, dia tidak sedang menggodaku. Otakku langsung bekerja lebih keras karena berupaya untuk memahami maksud ucapan Ibu. "Bu ..., ini kerjaan Yudistira kah?" aku bertanya sekali lagi. Kali ini pertanyaanku tepat. Ibu tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Aku terbengong, seolah wajahku membeku. "Bagaimana bisa aku bersama Yudistira 24 jam, tapi tidak mengetahui dia membangun kamar mandi di rumah bapak ibuku?" gumamku lebih kepada diriku sendiri. Suamiku Yudistira, bukan Bandung Bondowoso, apalagi Bandung kota kembang. "Bisa dimaklumi kalau kamu tidak tahu, karena menantu Ibu memang tidak secara langsung ke mari," tutur Ibu, sedikit memberikan terang kepada gelapnya pengetahuanku. "Ah, begitu rupanya!" Ibu menceritakan bahwa Yudistira meminta tolong Mas Widi, tetangga kami, untuk men
"Kamu ngapain ke mari?" pekikku seraya menyambut sesosok manis yang keluar dari dalam mobil suamiku. Bukannya membalas sambutanku, makhluk bandel itu malah ngeloyor saja, dan memeluk ketiga adikku. Duh, menggemaskan betul bocah satu ini! Rasanya pingin kucubit pipinya sampai molor kayak mozzarella. Kehadirannya yang tanpa pemberitahuan di muka sempat membuat jantungku cenat-cenut. Terang saja, melihat mobil suamiku aku panik, dan berpikir pria itu menyusulku ke rumah orang tuaku. Eh, nggak tahunya yang datang kedua adiknya. "Mbak!" sapa Niken dengan cengiran lebar di wajahnya. Putus dari pacar tak membuatnya patah hati berkepanjangan, gadis satu ini malah tambah cantik saja. Setelah lulus SMA Niken belajar menyetir mobil, dan tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan SIM A. Dia justru lebih mahir menyetir mobil ketimbang aku, yang baru bisa memegang kemudi selama beberapa bulan. "Gimana kabarnya, Ken? Kok nggak ngabari dulu kalau mau ke mari?" Kami melakukan ritual cipika cip