Persyaratan apakah yang Pak Pandu minta kepada Arjuna? Bukan membuat seribu candi, kan? Eh, malah mendongeng. Hihi Pantengin terus kisah Yudistira - Ashanna, ya, pembaca yang budiman. Terima kasih banyak. ^^
"Aku nggak bisa kalau kayak gitu. Memangnya aku mau melepaskan usaha yang sudah kubangun sendiri?" dengus iparku kesal. "Ya ampun, Jun ....." Yudistira geleng kepala, putus asa. Ia tertawa dengan tangan menyentuh jidat. Aku mengerti kegeraman suamiku, ia nggak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Juna. Begitu sulit meyakinkan dia, meskipun saran dan argumen yang disampaikan oleh suamiku sangat masuk akal. Papa yang mulai membuka hati, tak serta merta melunak, dan meloloskan keinginan Juna untuk menikahi sang kekasih. "Kamu boleh berpacaran dengan Fitri, asalkan kamu mau kerja sama Papa. Kerja di resort, jadi karyawan biasa, jadi buruh seperti yang lain," tantang Papa. Juna yang tak menduga perkembangan ini langsung syok. "Nggak ... nggak bisa, Pa! Bagaimana dengan bisnisku? Bagaimana dengan ...." "Itu urusan kamu. Kalau kamu masih menginginkan restu dari Papa, turuti kemauan Papa. Atau kamu nggak usah nikah sama sekali." Pak Pandu memberikan ultimatum yang tak bisa diganggu
"Atas nama Yudistira aku meminta maaf, Mas, kalau suamiku pernah berbuat salah, atau membuat kehidupan Mas Juna tidak nyaman," ucapku dengan perasaan tidak enak. Perkataan Juna cukup mengagetkanku. Selama ini kupikir tidak ada masalah yang cukup berarti ketika keluarga Pak Pandu dan Bu Ani bersatu, setelah masing-masing kehilangan pasangan hidup. Namun, alih-alih kesal atau menunjukkan ekspresi getir, wajah Mas Arjun terlihat berseri-seri. "Kamu tidak perlu minta maaf, Ashanna. Ini tak seburuk yang kamu pikirkan," ucapnya untuk menghilangkan rasa bersalahku. Syukurlah! Aku lega bahwa tidak ada masalah besar dalam hubungan antara Yudistira dan Arjuna sebagai saudara tiri. Pria ini bahkan sudah mulai terbiasa menerimaku sebagai bagian dari keluarganya. Ia tak lagi ragu menggunakan kata aku-kamu, padahal sebelumnya Mas Juna selalu terasa menjaga jarak, seolah kami belum benar-benar menjadi keluarga. "Aku memang selalu lebih dekat dengan Mama ketimbang dengan Papa. Jadi aku sangat sedi
"Kamu kenapa, Sha, akhir-akhir ini jadi lebih pendiam? Kurang makan atau gimana, Sayang?" Yudistira menanyakan keadaanku dengan nada bergurau, tetapi aku bisa merasakan kekhawatirannya yang tidak ada kaitannya dengan makanan. "Hehe. Makan pizza, yuk, Yud," ujarku hanya menanggapi pertanyaan yang terucap. Raut wajah suamiku cerah seketika begitu mendengar jawabanku. "Bilang kek dari kemarin, kalau pingin makan pizza," kekehnya. "Jangan ragu bilang kepadaku jika ada yang kamu inginkan, Sayang. Pasti akan kuberikan bila aku mampu." "Hehe. Terima kasih, suamiku tersayang." Aku tersenyum lebar memamerkan sederet gigi sehat yang kujaga ekstra semenjak menikah. Dan sore itu berakhir dengan kencan kami di Mamania, salah satu kedai terkenal yang menyajikan pizza autentik, dipanggang dengan tungku tradisional. Kami makan pizza lezat, bercanda, dan tertawa layaknya pasangan yang tengah dimabuk asmara. Dan percintaan kami di malam harinya masih menggetarkan gairah yang menggelora. Kupikir d
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Nggak ingin bicara baik-baik dulu dengan suamimu?" tanya Ibu dengan wajah prihatin.Aku mengangguk lemah. "Aku sudah sampai di sini artinya semuanya sudah kami bicarakan, Bu, dan ini keputusan kami berdua. Yudistira juga sudah setuju."Bapak menghela napas berat. Kerutan di dahinya semakin bertambah saja. Ah, sejenak aku merasa bersalah karena telah pergi dari suamiku. Mengingat usia pernikahan kami yang bahkan belum genap setahun, rasanya sangat miris bila aku berpisah dari Yudistira, padahal hubungan kami lagi mesra-mesranya."Baiklah, Ashanna. Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung apa yang terbaik untuk kalian berdua. Yang penting ini cuma sementara, dan kalian tidak bercerai," pesan Bapak dengan lembut."Enggak, lah, Pak. Pernikahan ini bukan permainan, meskipun semuanya tidak diawali dengan cinta, aku bukan orang yang suka mengingkari ikrar suci. Aku cuma butuh waktu untuk sendiri dulu," jawabku, kalimat yang sudah kuucapkan
"Kamu tidak tahu, Nak?" Dengan alis terangkat, Ibu membalas pertanyaanku dengan counter attack, eh, bukan, ini bukan sepak bola. Alih-alih langsung menjawab, Ibu malah bertanya balik. Tatapannya polos, dia tidak sedang menggodaku. Otakku langsung bekerja lebih keras karena berupaya untuk memahami maksud ucapan Ibu. "Bu ..., ini kerjaan Yudistira kah?" aku bertanya sekali lagi. Kali ini pertanyaanku tepat. Ibu tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Aku terbengong, seolah wajahku membeku. "Bagaimana bisa aku bersama Yudistira 24 jam, tapi tidak mengetahui dia membangun kamar mandi di rumah bapak ibuku?" gumamku lebih kepada diriku sendiri. Suamiku Yudistira, bukan Bandung Bondowoso, apalagi Bandung kota kembang. "Bisa dimaklumi kalau kamu tidak tahu, karena menantu Ibu memang tidak secara langsung ke mari," tutur Ibu, sedikit memberikan terang kepada gelapnya pengetahuanku. "Ah, begitu rupanya!" Ibu menceritakan bahwa Yudistira meminta tolong Mas Widi, tetangga kami, untuk men
"Kamu ngapain ke mari?" pekikku seraya menyambut sesosok manis yang keluar dari dalam mobil suamiku. Bukannya membalas sambutanku, makhluk bandel itu malah ngeloyor saja, dan memeluk ketiga adikku. Duh, menggemaskan betul bocah satu ini! Rasanya pingin kucubit pipinya sampai molor kayak mozzarella. Kehadirannya yang tanpa pemberitahuan di muka sempat membuat jantungku cenat-cenut. Terang saja, melihat mobil suamiku aku panik, dan berpikir pria itu menyusulku ke rumah orang tuaku. Eh, nggak tahunya yang datang kedua adiknya. "Mbak!" sapa Niken dengan cengiran lebar di wajahnya. Putus dari pacar tak membuatnya patah hati berkepanjangan, gadis satu ini malah tambah cantik saja. Setelah lulus SMA Niken belajar menyetir mobil, dan tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan SIM A. Dia justru lebih mahir menyetir mobil ketimbang aku, yang baru bisa memegang kemudi selama beberapa bulan. "Gimana kabarnya, Ken? Kok nggak ngabari dulu kalau mau ke mari?" Kami melakukan ritual cipika cip
"Mbak Sha, jangan lupa main ke rumah. Aku tunggu, lho. Kalau nggak datang, nanti kalau Mbok Is bikin nasi liwet, Mbak Sha nggak boleh minta." Arum si bocah kecil berpamitan dengan meninggalkan ancaman yang begitu menggemaskan. "Ya udah, nanti Mbak Sha minta dibuatin sama Budhe Ina, bisa makan banyak, deh," godaku menentang kehendak tuan putri. Budhe Ina adalah tetangga sebelah, jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah orang tuaku, kakak ipar Mama Ani yang kini menempati rumah mereka yang lama. Hari Minggu pagi kami bertamu ke rumah Budhe Ina. Sebenarnya lebih tepat kalau dibilang kami datang untuk bermain, membuat kebisingan, dan meminta makan. Kebetulan sekali hari itu Budhe Ina yang asli Solo memasak nasi liwet. Arum bilang bahwa rasa nasi liwetnya mirip buatan Mbak Is, aromanya sedap, dan rasanya lezat. Aku dan adik-adikku sangat menikmatinya, dan alhasil kami berenamlah yang menghabiskan makanan itu. Nah, si Arum ini lucu, kalau menginginkan sesuatu dari seseorang, tetapi ora
"Kamu itu ... kita nggak ketemu selama seminggu, tapi yang pertama kamu tanyakan malah kakak iparmu." Kutolehkan kepala ke kanan untuk melihat pak sopir yang sedang memegang kemudi. Wajahnya merengut, persis Arum yang sedang ngambek. Tercium bau-bau caper, nih. "Baru juga enam hari, belum tujuh, belum seminggu, lah," sahutku acuh tak acuh, sembari menatap ke jalanan di depan kami. Seru juga bisa menggoda suamiku lagi! Sesekali kulirik dia lewat ekor mataku. Raut mukanya menggelikan. Aku tertawa dalam hati, lucu juga melihat suamiku cemburu kepada saudaranya sendiri. "Seminggu, Ashanna! Satu minggu, hanya kurang delapan belas jam, lima puluh menit, dua detik," timpalnya menolak untuk diabaikan. Ah, semakin lucu saja dia. "Itu perhitungan akurat kah, Pak Yudistira?" tanyaku menggodanya lagi. "Akurat dong ..., tapi banyak ngawurnya," jawabnya seraya nyengir lebar. "Hahaha." Aku tertawa. Benar dugaanku, Yudistira hanya caper. Setelah sekian waktu berpisah, aku sangat bahagia bisa b