Smpai di rumah, Damian dipapah Alex untuk masuk. Dokter belum tiba, Ines pun meminta pelayan agar menyiapkan kamar untuk suaminya. Wanita itu hendak beralih ke dapur mengambilkan air untuk membersihkan darah yang mengucur pada perut suaminya, tapi lelaki itu mencegah dan meminta agar ditemani duduk di ruang TV saja. Alex pergi keluar rumah, menghubungi Max untuk sekadar mencari tahu keadaan keluarga Damian selepas keributan di rumah sakit, itu pun atas keinginan Ines yang sempat meminta dalam bisikan terhadap adiknya, ketika tadi ingin membantu Damian turun.“Ambilkan air dan kain bersih,” perintah Ines pada pelayan yang mengantarkan minuman.“Baik, Nyonya.” Asisten rumah tangga itu bergerak pergi.“Tunggu di sini, aku akan mengambilkan baju untukmu.” Ines berucap setelah membantu suaminya berbaring.“Tidak perlu,” cegah Damian. “Bisakah tidak terlalu banyak bergerak? Wajahmu terlihat sangat lelah.”“Damian, aku tidak suka dengan bau darah. Aku akan membersihkan lukamu dan menggantika
Dmian memikirkan apa yang hendak dijadikan rencana oleh Vivian terhadap sang ibunda, namun itu tidak memberinya titik cerah walau berjam-jam mempekerjakan pikirannya dengan sangat keras. Damian sengaja menanti di luar rumah kala malam menjelang, disusul sang istri yang sengaja membawakan teh hangat menggunakan kedua tangannya.“Haruskah aku bertanya apa fungsi pelayan dan koki sekali lagi?” tegur Damian, menerima sikap nampan putih bunga sakura dari tangan istrinya.“Kenapa kamu di depan? Pengawal akan mengatakan kalau mereka sudah tiba, tidak perlu menantikan seperti ini.” Ines menemani duduk.“Aku hanya penasaran apa rencana mereka,” sahut lelaki yang memang telah mengisahkan terhadap sang istri, sesuai janji diucapkan untuk menjadikan Ines orang pertama yang mengetahui segalanya.“Sepertinya, keluargamu akan menggunakan situasi sekarang untuk mendapatkan hasil lebih besar.” Ines berkata seraya menghela napas panjang, Damian menautkan kedua alis lebatnya menatap wanita berbalut dres
Damian hening dalam pemikiran, menarik ingatan atas kejadian baru saja dialami. Itu menyakitkan bagi dirinya, ketika mengingat seperti apa keributan antara ibu dan istrinya. Ya, nyatanya Damian lah yang paling terluka dari pertikaian yang terjadi antara Ines dan Amanda, ia juga menyesali tiap untaian kata keras dilayangkan pada sang ibu.Namun, waktu tidaklah bisa diulang untuk kembali pada titik peristiwa di rumah sakit, di mana Damian juga menyesali ketika dirinya tidak mampu berbuat lebih banyak. Perkataan Leon dibenarkan oleh perasaan Damian, sekeras apa pun ia berusaha menjadi imbang antara Ines dan sang ibu, itu tidaklah berguna. Tidak berbeda saat dirinya rela memakan dari keduanya hingga berakhir tersiksa, semua tetap akan berakhir tak jauh berbeda jika terus dilanjutkan.“Baiklah, aku setuju dengan semua yang kalian rencanakan. Tapi, bisakah aku terus memantau mommy? Aku tidak akan pernah bisa tenang kalau tidak mengetahui langsung kondisinya,” ucap Damian setelah memantapkan
Dalam perjalanan kembali pulang, Vivian memahat senyum dan terlihat oleh sang daddy yang tengah mengambil alih tubuh Veli karena ingin pindah ke depan.“Ada apa?” tanya David pada putrinya.“Entahlah, Dad. Aku merasa tidak pernah melihat Damian bahagia seperti ini,” sahut Vivian mempertahankan senyuman. “Aku juga tidak pernah tahu, kalau Ines memperlakukan Damian dengan baik. Sepertinya aku bersalah, karena sempat mengira kalau Ines memperlakukan Damian kejam selama ini.”“Itulah, jangan pernah menilai apa pun hanya dari luar.” David mengulas senyum tak jauh berbeda.“Aku berharap, mommy akan bisa melihat seperti apa Damian bahagia hidup bersama Ines. Aku juga berharap, kalau mommy bisa membuka mata untuk melihat kebaikan Ines. Mereka berdua terlihat saling mencintai. Aku suka saat melihat mereka bersama-sama dan saling mendukung.” Vivian mengingat apa disaksikan di rumah Ines tadi.David tersenyum lebar, tidak lagi menjawab perkataan putrinya. Vivian menyandarkan punggung nyaman, men
Hari demi hari bergulir Minggu serta bulan, Damian semakin menunjukkan sikap posesif terhadap istrinya. Bahkan, lelaki yang sudah memusatkan lebih banyak energi pada pencapaian bisnis itu, kerap mencerca tanya pada sang istri sesaat dirinya kembali bekerja. Tentang siapa saja yang berhubungan dengan istrinya melalui sambungan telepon dan apa saja yang dilakukan sang istri ketika di rumah, itu tak pernah absen diulang.Jika ketika perut masih belum terbentuk sempurna Ines sesekali keluar mendatangi pertemuan penting, tidak untuk kali ini di mana kandungan sudah berusia tujuh bulan kurang lima hari. Ines bekerja dari rumah, mempercayakan segalanya pada Alex, walau tidak sepenuhnya karena memang perjanjian harus melewati persetujuan dirinya lebih dulu.Ya, meski perut membesarnya membuat sedikit kesulitan bergerak, tidak tahan duduk lebih lama dan kerap merasakan sakit pada area punggung serta pinggang, tetap Ines tidak mengabaikan tanggung jawab atas apa yang sudah dibangunnya dengan ke
“Aku pergi dulu, masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.” Alex berdiri, tergesa pergi tanpa menunggu jawaban dari tiga orang yang belum bisa menyadarkan diri.“Tunggu aku!” teriak Louisa, seketika menarik kesadaran dari tiga orang yang langsung mengecap mulut kosong dan menelan saliva.Ketiganya memata-matai langkah cepat Louisa, sampai keluar dari restoran dan menyambar lengan Alex untuk digandeng. Leon tak mampu percaya, ia menatap kedua kawannya bergantian. Jauh lebih tidak percaya, adalah ketika Alex membebaskan tangan Louisa dari lengannya, kemudian melepas jas dan menutup paksa tubuh atas perempuan berprofesi sebagai model tersebut.“Kalian yakin mereka tidak memiliki hubungan?” tanya Leon, menjaga ekspresi terkejut.“Haruskah itu yang kau pikirkan? Kita bertiga bisa mati kalau benar-benar Alex memiliki hubungan dengannya!” sembur Max.“Kau yang membayangkan hal gila tadi!” balas Leon.“Tunggu!” seru Damian, menyita perhatian kawannya. “Leon memiliki pena yang memiliki pere
“Kamu yakin ingin memiliki anak?” tanya Ines, setelah tawa dihentikan.“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku sudah terlalu siap untuk memiliki anak, bahkan lebih dari satu!” Damian berhenti merengek, menjawab sungguh-sungguh.Ines merekahkan senyum, kemudian berdiri dengan refleks bantuan sang suami yang masih menanti jawaban. “Anak kecil tidak ada yang memiliki anak. Aku akan mandi sebentar, tubuhku berkeringat.”Ines berjalan pergi, Damian terdiam mencerna jawaban diberikan. Biji mata lelaki tengah berpikir itu bergeser ke sisi kiri, memiringkan pula kepala untuk memperkerjakan pikiran lebih cepat.“Aku bukan anak kecil!” serunya, baru tercerna apa maksud dari istrinya tadi. “Aku sudah dewasa, apa dia tidak melihatnya? Mana ada anak kecil bisa menghamili?” imbuhnya bergumam, kemudian berbalik tubuh menatap halaman. “Ah, di mana manusia kaku ini? Apa dia bunuh diri?” sambungnya, merogoh saku celana dan mengambil ponsel.Damian menghubungi nomor Alex, dia tahu bahwa jalanan sama seka
“Hehehe, aku tidak mengerti. Bisakah kamu menjawab lebih sederhana lagi?” cengengesan Damian, lawan bicaranya pun dibuat gemas sampai tertawa.“Gelas itu adalah pernikahan kita, kamu menghancurkannya dan aku marah, lalu kamu marah juga marah, semua tidak akan ada habisnya. Tapi, saat kamu menghancurkan dan aku memaafkan, kamu akan merasa bersalah. Tapi, aku marah atau memaafkan, tetap saja kamu akan mendapatkan hukuman dari Tuhan dan semesta. Mengerti?” Ines perlahan menjelaskan.“Ah … tapi, aku tidak ingin menghancurkannya. Karena sulit mendapatkan berlian, aku hampir mati untuk bisa memilikinya.” Damian menatap lekat wajah istrinya. “Kamu cantik, tapi hatimu jauh lebih cantik. Bodoh kalau sampai aku menyia-nyiakan dirimu. Pengganti yang jauh lebih cantik dan indah banyak, tapi mereka tidak akan memiliki kecantikan hati dan keindahan pikiran sepertimu.“Hahaha, Damian. Berhentilah menggunakan kalimat seperti itu, aku geli mendengarnya.” Ines tertawa memukul pundak suaminya.“Aku seri