Hari demi hari bergulir Minggu serta bulan, Damian semakin menunjukkan sikap posesif terhadap istrinya. Bahkan, lelaki yang sudah memusatkan lebih banyak energi pada pencapaian bisnis itu, kerap mencerca tanya pada sang istri sesaat dirinya kembali bekerja. Tentang siapa saja yang berhubungan dengan istrinya melalui sambungan telepon dan apa saja yang dilakukan sang istri ketika di rumah, itu tak pernah absen diulang.Jika ketika perut masih belum terbentuk sempurna Ines sesekali keluar mendatangi pertemuan penting, tidak untuk kali ini di mana kandungan sudah berusia tujuh bulan kurang lima hari. Ines bekerja dari rumah, mempercayakan segalanya pada Alex, walau tidak sepenuhnya karena memang perjanjian harus melewati persetujuan dirinya lebih dulu.Ya, meski perut membesarnya membuat sedikit kesulitan bergerak, tidak tahan duduk lebih lama dan kerap merasakan sakit pada area punggung serta pinggang, tetap Ines tidak mengabaikan tanggung jawab atas apa yang sudah dibangunnya dengan ke
“Aku pergi dulu, masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.” Alex berdiri, tergesa pergi tanpa menunggu jawaban dari tiga orang yang belum bisa menyadarkan diri.“Tunggu aku!” teriak Louisa, seketika menarik kesadaran dari tiga orang yang langsung mengecap mulut kosong dan menelan saliva.Ketiganya memata-matai langkah cepat Louisa, sampai keluar dari restoran dan menyambar lengan Alex untuk digandeng. Leon tak mampu percaya, ia menatap kedua kawannya bergantian. Jauh lebih tidak percaya, adalah ketika Alex membebaskan tangan Louisa dari lengannya, kemudian melepas jas dan menutup paksa tubuh atas perempuan berprofesi sebagai model tersebut.“Kalian yakin mereka tidak memiliki hubungan?” tanya Leon, menjaga ekspresi terkejut.“Haruskah itu yang kau pikirkan? Kita bertiga bisa mati kalau benar-benar Alex memiliki hubungan dengannya!” sembur Max.“Kau yang membayangkan hal gila tadi!” balas Leon.“Tunggu!” seru Damian, menyita perhatian kawannya. “Leon memiliki pena yang memiliki pere
“Kamu yakin ingin memiliki anak?” tanya Ines, setelah tawa dihentikan.“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku sudah terlalu siap untuk memiliki anak, bahkan lebih dari satu!” Damian berhenti merengek, menjawab sungguh-sungguh.Ines merekahkan senyum, kemudian berdiri dengan refleks bantuan sang suami yang masih menanti jawaban. “Anak kecil tidak ada yang memiliki anak. Aku akan mandi sebentar, tubuhku berkeringat.”Ines berjalan pergi, Damian terdiam mencerna jawaban diberikan. Biji mata lelaki tengah berpikir itu bergeser ke sisi kiri, memiringkan pula kepala untuk memperkerjakan pikiran lebih cepat.“Aku bukan anak kecil!” serunya, baru tercerna apa maksud dari istrinya tadi. “Aku sudah dewasa, apa dia tidak melihatnya? Mana ada anak kecil bisa menghamili?” imbuhnya bergumam, kemudian berbalik tubuh menatap halaman. “Ah, di mana manusia kaku ini? Apa dia bunuh diri?” sambungnya, merogoh saku celana dan mengambil ponsel.Damian menghubungi nomor Alex, dia tahu bahwa jalanan sama seka
“Hehehe, aku tidak mengerti. Bisakah kamu menjawab lebih sederhana lagi?” cengengesan Damian, lawan bicaranya pun dibuat gemas sampai tertawa.“Gelas itu adalah pernikahan kita, kamu menghancurkannya dan aku marah, lalu kamu marah juga marah, semua tidak akan ada habisnya. Tapi, saat kamu menghancurkan dan aku memaafkan, kamu akan merasa bersalah. Tapi, aku marah atau memaafkan, tetap saja kamu akan mendapatkan hukuman dari Tuhan dan semesta. Mengerti?” Ines perlahan menjelaskan.“Ah … tapi, aku tidak ingin menghancurkannya. Karena sulit mendapatkan berlian, aku hampir mati untuk bisa memilikinya.” Damian menatap lekat wajah istrinya. “Kamu cantik, tapi hatimu jauh lebih cantik. Bodoh kalau sampai aku menyia-nyiakan dirimu. Pengganti yang jauh lebih cantik dan indah banyak, tapi mereka tidak akan memiliki kecantikan hati dan keindahan pikiran sepertimu.“Hahaha, Damian. Berhentilah menggunakan kalimat seperti itu, aku geli mendengarnya.” Ines tertawa memukul pundak suaminya.“Aku seri
Dalam kekalutan hebat, Alex berteriak kencang memanggil pelayan, memerintahkan agar lekas pergi ke depan dan meminta sopir menyiapkan kendaraan.Damian menggendong tubuh istrinya yang terus mengeluhkan rasa sakit, ia berjalan cepat menyusuri rumah yang entah mengapa dirasakan begitu luas kali ini.“Damian?” tegur Alex, menghentikan langkah dan melihat apa yang menetes di lantai.Damian berhenti dan menoleh, menemukan Alex terbelalak menatap ke lantai. “Ti—tidak!” seru Damian ketakutan, lalu menatap istrinya yang semakin melukiskan kesakitan.Damian yang semula berhati-hatilah menjaga langkah cepatnya, kini berlari lebih cepat. Alex menyalip mendahului, sampai tiba di halaman langsung membukakan pintu mobil.Ketakutan berkali-kali lipat dirasakan oleh Damian, ketika ia memasukkan tubuh istrinya ke dalam mobil. Ia merasakan basah pada lengan kanan, hatinya pun berdetak tak karuan.“Cepat, Alex! Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan istriku!” seru Damian, begitu sudah mendampingi sang i
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya semua orang bisa bertemu dengan Ines di dalam kamar rawat telah diubah senyaman mungkin, layaknya kamar pribadi. Damian menyambut semua orang dengan senyum merekah juga wajah ceria. Pelukan didapatkan dari sang daddy lebih dulu, sembari menepuk punggung dan berucap selamat.“Kau sudah tua sekarang, jadilah lebih dewasa.” David berpesan pada putranya.“Hehehe, aku hanya memiliki anak, Dad. Itu bukan berarti tua,” cengengesan Damian.“Bahagia sekarang?” tegur Max, menghadiahi kepalan tangan lirih pada dada kiri kawannya.“Bersiaplah sakit kepala karena kurang tidur,” tutur Leon sembari melalui tubuh kawannya.“Damian!” seru Vivian kencang, memeluk adiknya dan melingkarkan kaki pada pinggang.“Kau pikir ini lautan?!” protes Damian, refleks menahan tubuh sang kakak. “Aaaaa, kenapa kau menggigit pundakku?!” seru Damian, memiringkan tubuh dan memaksa kakaknya turun.“Itu adalah ucapan selamat dariku! Kamu akan menjadi orang tua yang jelek dan menyebalka
Damian melirik curiga kakaknya, entah apa lagi yang dilakukan oleh perempuan yang membawa Ines kembali ke sofa itu. Vivian meminta Ines agar duduk, ia menyusun makanan yang sengaja dibawakan dari rumah beserta minuman penunjang kesehatan yang dilengkapi oleh pelayan rumah Damian, atas perintah David pagi-pagi tadi.“Makanlah yang banyak, kamu membutuhkan banyak tenaga untuk bisa memberi baby ASI. Jangan berpikir tentang berat tubuh, itu akan menyusut sendiri kalau kami rajin memberikan ASI. Percaya padaku, karena aku sudah mengalaminya,” cerocos Vivian mengurai senyum, meletakkan makanan di pangkuan Ines.“Coba saja percaya ucapannya, meski aku tahu kalau logikamu tidak pernah mau melakukan itu.” Damian menyela, tanpa meninggalkan buah hatinya.“Otakku tidak sepertimu!” serang Vivian. “Setidaknya, pengalaman jauh lebih berguna untuk menasehati orang lain yang membutuhkan!”“Ya, anggaplah aku tidak pernah menemani saat kelahiran Veli.” Damian mengangguk berulang, Vivian mengeratkan gig
Louisa tidak tahu ke mana lelaki yang terdengar menghubungi kakaknya akan kembali sekitar sore hari itu, membawanya pergi. Pasalnya, Alex tidak mengucap sepatah kata pun selama perjalanan, dan memilih fokus pada perjalanan dengan sesekali terhubung sambungan telepon dengan orang-orang berbeda nama. Mobil mereka berhenti di salah satu hotel bintang lima, Louisa mematung mengetahui luas parkiran dijadikan pemberhentian lelaki yang mengambil beberapa map setelah melepaskan sabuk pengaman terlebih dahulu. Alex menyambungkan panggilan, kemudian turun dan menutup pintu. Lelaki itu tampak disambut oleh seorang wanita cantik bersetelan kerja warna hijau tua. Louisa bergegas turun, menyadarkan Alex bahwa ia tak seorang diri.“Aku ada pertemuan, tunggulah di mana pun kau mau.” Lelaki sempat melupakan keberadaan Louisa itu menghampiri, dan berbicara tanpa ekspresi.Tidak membiarkan perempuan berkaus oblong putih itu menjawab, Alex bergegas pergi seraya berbincang dengan perempuan berbalut rok k