“Kamu yakin ingin memiliki anak?” tanya Ines, setelah tawa dihentikan.“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku sudah terlalu siap untuk memiliki anak, bahkan lebih dari satu!” Damian berhenti merengek, menjawab sungguh-sungguh.Ines merekahkan senyum, kemudian berdiri dengan refleks bantuan sang suami yang masih menanti jawaban. “Anak kecil tidak ada yang memiliki anak. Aku akan mandi sebentar, tubuhku berkeringat.”Ines berjalan pergi, Damian terdiam mencerna jawaban diberikan. Biji mata lelaki tengah berpikir itu bergeser ke sisi kiri, memiringkan pula kepala untuk memperkerjakan pikiran lebih cepat.“Aku bukan anak kecil!” serunya, baru tercerna apa maksud dari istrinya tadi. “Aku sudah dewasa, apa dia tidak melihatnya? Mana ada anak kecil bisa menghamili?” imbuhnya bergumam, kemudian berbalik tubuh menatap halaman. “Ah, di mana manusia kaku ini? Apa dia bunuh diri?” sambungnya, merogoh saku celana dan mengambil ponsel.Damian menghubungi nomor Alex, dia tahu bahwa jalanan sama seka
“Hehehe, aku tidak mengerti. Bisakah kamu menjawab lebih sederhana lagi?” cengengesan Damian, lawan bicaranya pun dibuat gemas sampai tertawa.“Gelas itu adalah pernikahan kita, kamu menghancurkannya dan aku marah, lalu kamu marah juga marah, semua tidak akan ada habisnya. Tapi, saat kamu menghancurkan dan aku memaafkan, kamu akan merasa bersalah. Tapi, aku marah atau memaafkan, tetap saja kamu akan mendapatkan hukuman dari Tuhan dan semesta. Mengerti?” Ines perlahan menjelaskan.“Ah … tapi, aku tidak ingin menghancurkannya. Karena sulit mendapatkan berlian, aku hampir mati untuk bisa memilikinya.” Damian menatap lekat wajah istrinya. “Kamu cantik, tapi hatimu jauh lebih cantik. Bodoh kalau sampai aku menyia-nyiakan dirimu. Pengganti yang jauh lebih cantik dan indah banyak, tapi mereka tidak akan memiliki kecantikan hati dan keindahan pikiran sepertimu.“Hahaha, Damian. Berhentilah menggunakan kalimat seperti itu, aku geli mendengarnya.” Ines tertawa memukul pundak suaminya.“Aku seri
Dalam kekalutan hebat, Alex berteriak kencang memanggil pelayan, memerintahkan agar lekas pergi ke depan dan meminta sopir menyiapkan kendaraan.Damian menggendong tubuh istrinya yang terus mengeluhkan rasa sakit, ia berjalan cepat menyusuri rumah yang entah mengapa dirasakan begitu luas kali ini.“Damian?” tegur Alex, menghentikan langkah dan melihat apa yang menetes di lantai.Damian berhenti dan menoleh, menemukan Alex terbelalak menatap ke lantai. “Ti—tidak!” seru Damian ketakutan, lalu menatap istrinya yang semakin melukiskan kesakitan.Damian yang semula berhati-hatilah menjaga langkah cepatnya, kini berlari lebih cepat. Alex menyalip mendahului, sampai tiba di halaman langsung membukakan pintu mobil.Ketakutan berkali-kali lipat dirasakan oleh Damian, ketika ia memasukkan tubuh istrinya ke dalam mobil. Ia merasakan basah pada lengan kanan, hatinya pun berdetak tak karuan.“Cepat, Alex! Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan istriku!” seru Damian, begitu sudah mendampingi sang i
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya semua orang bisa bertemu dengan Ines di dalam kamar rawat telah diubah senyaman mungkin, layaknya kamar pribadi. Damian menyambut semua orang dengan senyum merekah juga wajah ceria. Pelukan didapatkan dari sang daddy lebih dulu, sembari menepuk punggung dan berucap selamat.“Kau sudah tua sekarang, jadilah lebih dewasa.” David berpesan pada putranya.“Hehehe, aku hanya memiliki anak, Dad. Itu bukan berarti tua,” cengengesan Damian.“Bahagia sekarang?” tegur Max, menghadiahi kepalan tangan lirih pada dada kiri kawannya.“Bersiaplah sakit kepala karena kurang tidur,” tutur Leon sembari melalui tubuh kawannya.“Damian!” seru Vivian kencang, memeluk adiknya dan melingkarkan kaki pada pinggang.“Kau pikir ini lautan?!” protes Damian, refleks menahan tubuh sang kakak. “Aaaaa, kenapa kau menggigit pundakku?!” seru Damian, memiringkan tubuh dan memaksa kakaknya turun.“Itu adalah ucapan selamat dariku! Kamu akan menjadi orang tua yang jelek dan menyebalka
Damian melirik curiga kakaknya, entah apa lagi yang dilakukan oleh perempuan yang membawa Ines kembali ke sofa itu. Vivian meminta Ines agar duduk, ia menyusun makanan yang sengaja dibawakan dari rumah beserta minuman penunjang kesehatan yang dilengkapi oleh pelayan rumah Damian, atas perintah David pagi-pagi tadi.“Makanlah yang banyak, kamu membutuhkan banyak tenaga untuk bisa memberi baby ASI. Jangan berpikir tentang berat tubuh, itu akan menyusut sendiri kalau kami rajin memberikan ASI. Percaya padaku, karena aku sudah mengalaminya,” cerocos Vivian mengurai senyum, meletakkan makanan di pangkuan Ines.“Coba saja percaya ucapannya, meski aku tahu kalau logikamu tidak pernah mau melakukan itu.” Damian menyela, tanpa meninggalkan buah hatinya.“Otakku tidak sepertimu!” serang Vivian. “Setidaknya, pengalaman jauh lebih berguna untuk menasehati orang lain yang membutuhkan!”“Ya, anggaplah aku tidak pernah menemani saat kelahiran Veli.” Damian mengangguk berulang, Vivian mengeratkan gig
Louisa tidak tahu ke mana lelaki yang terdengar menghubungi kakaknya akan kembali sekitar sore hari itu, membawanya pergi. Pasalnya, Alex tidak mengucap sepatah kata pun selama perjalanan, dan memilih fokus pada perjalanan dengan sesekali terhubung sambungan telepon dengan orang-orang berbeda nama. Mobil mereka berhenti di salah satu hotel bintang lima, Louisa mematung mengetahui luas parkiran dijadikan pemberhentian lelaki yang mengambil beberapa map setelah melepaskan sabuk pengaman terlebih dahulu. Alex menyambungkan panggilan, kemudian turun dan menutup pintu. Lelaki itu tampak disambut oleh seorang wanita cantik bersetelan kerja warna hijau tua. Louisa bergegas turun, menyadarkan Alex bahwa ia tak seorang diri.“Aku ada pertemuan, tunggulah di mana pun kau mau.” Lelaki sempat melupakan keberadaan Louisa itu menghampiri, dan berbicara tanpa ekspresi.Tidak membiarkan perempuan berkaus oblong putih itu menjawab, Alex bergegas pergi seraya berbincang dengan perempuan berbalut rok k
Alex menyingkir dari sisi ranjang, dia membutuhkan kamar mandi sekarang. Damian bersiaga di dekat ibunya, begitu pula dengan Vivian yang sudah menarik paksa sang suami untuk menemani Veli bersama Max. Tidak ada David dalam ruang kamar Ines, pria itu sudah pergi setelah tinggal dua jam lamanya pagi tadi, ada urusan yang harus diselesaikan bersama orang kepercayaannya.“Anakku baru saja tidur, dia lebih suka bangun saat malam.” Damian berusaha membuka pembicaraan, menghancurkan hening yang membuatnya tak nyaman. “Dia mirip kami berdua,” sambungnya mengurai senyum.“Mommy mengalah, Damian.” Amanda bersuara mengejutkan tiga orang di sekitar ranjang.“Y—ya?!” kaget lelaki baru saja menyandang status ayah itu.“Selama ini, mommy selalu melakukan apa yang mommy anggap benar dan demi kebahagiaan kalian, terbaik untuk kalian, tanpa pernah mommy mempertanyakan apa yang sebenarnya kalian inginkan dan membuat bahagia. Mommy tidak pernah ingin diprotes oleh siapa pun, dan mengatakan kalau apa yang
Max menyeringai penuh kemenangan, dia bertolak pinggang dan memainkan kedua alis ke arah Alex—lelaki yang merinding sempurna sampai memalingkan tubuh agar tak melihat wajah menjijikkan Max.“Bisakah kita membicarakan bisnis ini berdua?” tanya Max dengan alis bermain serta senyum terpampang.“Tidak akan pernah! Katakan saja, atau aku akan menarik semua yang sudah kukatakan tadi!” seru Alex segera, ditertawakan oleh lainnya.“Ah, dia menyebalkan.” Max mengeluh dalam senyum. “Haruskah aku mengumbar di sini? Kau akan malu nanti.”“Apa yang ingin kau katakan pada adikku?” tanya Ines.“Bisnis adalah sesuatu yang rahasia, jadi minta adikmu untuk bicara denganku atau ini tidak akan pernah selesai,” sahut Max.“Ah, baiklah! Tapi, aku ingin Leon dan Alex ikut! Aku tidak akan pernah duduk berdua denganmu!” sembur Alex, tanpa bersedia kakaknya ditarik juga. “Kalau kau tidak mau, kita batalkan saja!”“Oke, mereka akan menjadi saksi.” Max menoleh pada dua kawannya.“A—aku?!” Damian dan Leon menunju
Cukup singkat untuk Damian berulah seperti anak kecil hari ini, karena sang istri memaksanya untuk cepat bersiap dan menghadiri pernikahan Alex. Ya, meski sebenarnya Damian ingin sekali dibujuk, tapi sendirinya juga tidak memiliki pilihan lain setelah mengingat nama besar Ines turut dipertaruhkan hari ini.Wajah cemberut tidak bisa dipalsukan dengan senyuman, Damian menggendong putrinya seraya berjalan menemui keluarga besar yang telah bersiap menjadi saksi terucapnya janji suci Alex pada wanita pilihan hatinya sendiri. Orang-orang yang diminta mempersiapkan dokumen pernikahan pun telah menanti di kediaman Ines, bersama pria paruh baya yang akan menikahkan dua insan saling mencinta yang kini tengah dirundung gugup luar biasa.Ines mendekati adiknya bersama Damian, sekadar memeriksa pakaian dari lelaki yang tampak lesi kali ini. Dasi melingkar pada leher Alex dirapikan oleh Ines, berganti kemeja serta jas. Hal itu tentu saja mengundang perhatian semua orang, di samping tanya tentang wa
Ines tersenyum membelai sisi wajah kanan adiknya, kemudian memberikan kecupan paling hangat pada kening sang adik. “Aku merestui setiap kebaikan yang akan kamu lakukan.”Alex membalas senyum semringah, mengangkat sedikit tubuh dan memeluk kakaknya. “Terima kasih banyak, karena sudah bersedia menjadi orang paling berarti dalam hidupku. Terima kasih untuk semua yang sudah kakak berikan padaku, itu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.”“Aku jauh lebih berterima kasih padamu, karena sudah bersedia menerimaku apa adanya dan melindungiku selama ini. Aku sangat menyayangimu, Alex.” Ines menyapu punggung lebar adiknya. “bisakah aku meminta sesuatu darimu?Alex melepaskan pelukan, menatap tanya pada wanita cantik yang turut mengarahkan biji mata terhadap dirinya. “Katakan saja, kalau memang aku bisa untuk memenuhinya, aku akan sangat bahagia.”“Bisakah kamu tinggal di rumah ini meski sudah menikah?” tanya Ines lirih. “Bukan karena aku ingin menguasai, atau memantau kalian. Tapi,
Satu setengah jam berlalu, Damian tiba di kediaman istrinya bersama Leon juga Max. Ketiganya terburu-buru masuk, melihat Alex sudah bergabung dengan lainnya dan terpancing kesal merapatkan gigi kompak.Damian menghampiri istrinya, memeluk dan mencium di hadapan semua orang, lalu mengambil alih tubuh putrinya yang tengah sibuk berusaha memasukkan jari ke mulut.Leon menyapa kedua orang tuanya, di mana Vivian dan Veli sudah bergabung bersama David juga Amanda serta kedua orang tua Max. Arthur pun menjadi bagian dari perbincangan keluarga yang berkumpul tanpa kabar, hingga membingungkan tiga sahabat yang kini saling beradu mata menunjuk siapa yang akan bertanya.“Kami di sini karena mendengar kabar kurang mengenakan!” seru ayah kandung Max, melirik pada Damian.“Aku?” Damian merasa sendiri. “Memangnya ada apa denganku?” bisiknya pada sang istri.“Kamu sudah tidak menganggap kami keluarga, sampai menikah tanpa memberitahu! Haruskah kami mengetahui dari keributan kalian tadi malam?!” tekan
“Kau memang orang paling menyusahkan yang pernah kutemui seumur hidup!” tekan Alex menyiratkan murka dari wajah serta binar mata, lalu pergi meninggalkan ruang di mana kakaknya memperhatikan tanpa berusaha mencegah. Louisa berdiri, hendak menyusul Alex. Akan tetapi, Ines melarang perempuan itu.“Biarkan dia sendiri, dia butuh waktu untuk berpikir. Beberapa hari ini dia sudah banyak tertekan dalam kebingungan, aku minta padamu untuk tidak mengusiknya sekarang.” Ines mengatakan tanpa ekspresi pada Louisa.“Maaf,” pilu Louisa.“Tidak ada yang membutuhkan kata maafmu, jadi simpanlah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf, Louisa. Ucapan yang tidak tepat, hanya akan memunculkan banyak masalah yang tidak perlu. Pelajari hal itu, sebelum kau hanya tahu berkata tanpa berpikir.” Ines menekan meski nadanya cukup tenang. “Duduklah, itu akan jauh lebih baik sekarang.” Ines menghela napas berat, Arthur menyapu punggung keponakannya.“Temani Ellyn, aku akan membantu suamimu dari sini.
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i
Damian menyerahkan telepon genggam masih terhubung dengan Vivian, lelaki di hadapannya tidak langsung menerima. Damian tidak memiliki kesabaran, ia menekan pengeras suara dan menggeletakkan ponsel di atas meja.“Bicaralah, kayu kering pasti mendengarnya!” ujar Damian pada sang kakak.“Alex, tolong aku kali ini saja. Louisa sedang mabuk, dan dia tidak ingin diantar siapa pun. Max dan Leon tidak berani menjemput, mereka takut dihabisi olehmu. Mustahil kalau aku yang pergi, mommy tidak akan mengizinkannya!” cerocos Vivian di ujung panggilan.“Kau memiliki pengawal, minta saja mereka yang menjemput. Aku sedang sibuk,” jawab Alex tanpa menghentikan pena di tangan kanan mencoret-coret dokumen.“Pengawal juga seorang laki-laki, bagaimana kalau mereka kemasukan setan dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Louisa? Ayolah aku mohon, jemput dia sebelum hal buruk terjadi!” Vivian menggebu cemas. “Kalau kamu yang melakukan hal macam-macam tidak masalah, karena kalian saling mencintai! Tapi, berbe
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A