Louisa tidak tahu ke mana lelaki yang terdengar menghubungi kakaknya akan kembali sekitar sore hari itu, membawanya pergi. Pasalnya, Alex tidak mengucap sepatah kata pun selama perjalanan, dan memilih fokus pada perjalanan dengan sesekali terhubung sambungan telepon dengan orang-orang berbeda nama. Mobil mereka berhenti di salah satu hotel bintang lima, Louisa mematung mengetahui luas parkiran dijadikan pemberhentian lelaki yang mengambil beberapa map setelah melepaskan sabuk pengaman terlebih dahulu. Alex menyambungkan panggilan, kemudian turun dan menutup pintu. Lelaki itu tampak disambut oleh seorang wanita cantik bersetelan kerja warna hijau tua. Louisa bergegas turun, menyadarkan Alex bahwa ia tak seorang diri.“Aku ada pertemuan, tunggulah di mana pun kau mau.” Lelaki sempat melupakan keberadaan Louisa itu menghampiri, dan berbicara tanpa ekspresi.Tidak membiarkan perempuan berkaus oblong putih itu menjawab, Alex bergegas pergi seraya berbincang dengan perempuan berbalut rok k
Alex menyingkir dari sisi ranjang, dia membutuhkan kamar mandi sekarang. Damian bersiaga di dekat ibunya, begitu pula dengan Vivian yang sudah menarik paksa sang suami untuk menemani Veli bersama Max. Tidak ada David dalam ruang kamar Ines, pria itu sudah pergi setelah tinggal dua jam lamanya pagi tadi, ada urusan yang harus diselesaikan bersama orang kepercayaannya.“Anakku baru saja tidur, dia lebih suka bangun saat malam.” Damian berusaha membuka pembicaraan, menghancurkan hening yang membuatnya tak nyaman. “Dia mirip kami berdua,” sambungnya mengurai senyum.“Mommy mengalah, Damian.” Amanda bersuara mengejutkan tiga orang di sekitar ranjang.“Y—ya?!” kaget lelaki baru saja menyandang status ayah itu.“Selama ini, mommy selalu melakukan apa yang mommy anggap benar dan demi kebahagiaan kalian, terbaik untuk kalian, tanpa pernah mommy mempertanyakan apa yang sebenarnya kalian inginkan dan membuat bahagia. Mommy tidak pernah ingin diprotes oleh siapa pun, dan mengatakan kalau apa yang
Max menyeringai penuh kemenangan, dia bertolak pinggang dan memainkan kedua alis ke arah Alex—lelaki yang merinding sempurna sampai memalingkan tubuh agar tak melihat wajah menjijikkan Max.“Bisakah kita membicarakan bisnis ini berdua?” tanya Max dengan alis bermain serta senyum terpampang.“Tidak akan pernah! Katakan saja, atau aku akan menarik semua yang sudah kukatakan tadi!” seru Alex segera, ditertawakan oleh lainnya.“Ah, dia menyebalkan.” Max mengeluh dalam senyum. “Haruskah aku mengumbar di sini? Kau akan malu nanti.”“Apa yang ingin kau katakan pada adikku?” tanya Ines.“Bisnis adalah sesuatu yang rahasia, jadi minta adikmu untuk bicara denganku atau ini tidak akan pernah selesai,” sahut Max.“Ah, baiklah! Tapi, aku ingin Leon dan Alex ikut! Aku tidak akan pernah duduk berdua denganmu!” sembur Alex, tanpa bersedia kakaknya ditarik juga. “Kalau kau tidak mau, kita batalkan saja!”“Oke, mereka akan menjadi saksi.” Max menoleh pada dua kawannya.“A—aku?!” Damian dan Leon menunju
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil
Damian menyerahkan telepon genggam masih terhubung dengan Vivian, lelaki di hadapannya tidak langsung menerima. Damian tidak memiliki kesabaran, ia menekan pengeras suara dan menggeletakkan ponsel di atas meja.“Bicaralah, kayu kering pasti mendengarnya!” ujar Damian pada sang kakak.“Alex, tolong aku kali ini saja. Louisa sedang mabuk, dan dia tidak ingin diantar siapa pun. Max dan Leon tidak berani menjemput, mereka takut dihabisi olehmu. Mustahil kalau aku yang pergi, mommy tidak akan mengizinkannya!” cerocos Vivian di ujung panggilan.“Kau memiliki pengawal, minta saja mereka yang menjemput. Aku sedang sibuk,” jawab Alex tanpa menghentikan pena di tangan kanan mencoret-coret dokumen.“Pengawal juga seorang laki-laki, bagaimana kalau mereka kemasukan setan dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Louisa? Ayolah aku mohon, jemput dia sebelum hal buruk terjadi!” Vivian menggebu cemas. “Kalau kamu yang melakukan hal macam-macam tidak masalah, karena kalian saling mencintai! Tapi, berbe
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.