Dalam kekalutan hebat, Alex berteriak kencang memanggil pelayan, memerintahkan agar lekas pergi ke depan dan meminta sopir menyiapkan kendaraan.Damian menggendong tubuh istrinya yang terus mengeluhkan rasa sakit, ia berjalan cepat menyusuri rumah yang entah mengapa dirasakan begitu luas kali ini.“Damian?” tegur Alex, menghentikan langkah dan melihat apa yang menetes di lantai.Damian berhenti dan menoleh, menemukan Alex terbelalak menatap ke lantai. “Ti—tidak!” seru Damian ketakutan, lalu menatap istrinya yang semakin melukiskan kesakitan.Damian yang semula berhati-hatilah menjaga langkah cepatnya, kini berlari lebih cepat. Alex menyalip mendahului, sampai tiba di halaman langsung membukakan pintu mobil.Ketakutan berkali-kali lipat dirasakan oleh Damian, ketika ia memasukkan tubuh istrinya ke dalam mobil. Ia merasakan basah pada lengan kanan, hatinya pun berdetak tak karuan.“Cepat, Alex! Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan istriku!” seru Damian, begitu sudah mendampingi sang i
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya semua orang bisa bertemu dengan Ines di dalam kamar rawat telah diubah senyaman mungkin, layaknya kamar pribadi. Damian menyambut semua orang dengan senyum merekah juga wajah ceria. Pelukan didapatkan dari sang daddy lebih dulu, sembari menepuk punggung dan berucap selamat.“Kau sudah tua sekarang, jadilah lebih dewasa.” David berpesan pada putranya.“Hehehe, aku hanya memiliki anak, Dad. Itu bukan berarti tua,” cengengesan Damian.“Bahagia sekarang?” tegur Max, menghadiahi kepalan tangan lirih pada dada kiri kawannya.“Bersiaplah sakit kepala karena kurang tidur,” tutur Leon sembari melalui tubuh kawannya.“Damian!” seru Vivian kencang, memeluk adiknya dan melingkarkan kaki pada pinggang.“Kau pikir ini lautan?!” protes Damian, refleks menahan tubuh sang kakak. “Aaaaa, kenapa kau menggigit pundakku?!” seru Damian, memiringkan tubuh dan memaksa kakaknya turun.“Itu adalah ucapan selamat dariku! Kamu akan menjadi orang tua yang jelek dan menyebalka
Damian melirik curiga kakaknya, entah apa lagi yang dilakukan oleh perempuan yang membawa Ines kembali ke sofa itu. Vivian meminta Ines agar duduk, ia menyusun makanan yang sengaja dibawakan dari rumah beserta minuman penunjang kesehatan yang dilengkapi oleh pelayan rumah Damian, atas perintah David pagi-pagi tadi.“Makanlah yang banyak, kamu membutuhkan banyak tenaga untuk bisa memberi baby ASI. Jangan berpikir tentang berat tubuh, itu akan menyusut sendiri kalau kami rajin memberikan ASI. Percaya padaku, karena aku sudah mengalaminya,” cerocos Vivian mengurai senyum, meletakkan makanan di pangkuan Ines.“Coba saja percaya ucapannya, meski aku tahu kalau logikamu tidak pernah mau melakukan itu.” Damian menyela, tanpa meninggalkan buah hatinya.“Otakku tidak sepertimu!” serang Vivian. “Setidaknya, pengalaman jauh lebih berguna untuk menasehati orang lain yang membutuhkan!”“Ya, anggaplah aku tidak pernah menemani saat kelahiran Veli.” Damian mengangguk berulang, Vivian mengeratkan gig
Louisa tidak tahu ke mana lelaki yang terdengar menghubungi kakaknya akan kembali sekitar sore hari itu, membawanya pergi. Pasalnya, Alex tidak mengucap sepatah kata pun selama perjalanan, dan memilih fokus pada perjalanan dengan sesekali terhubung sambungan telepon dengan orang-orang berbeda nama. Mobil mereka berhenti di salah satu hotel bintang lima, Louisa mematung mengetahui luas parkiran dijadikan pemberhentian lelaki yang mengambil beberapa map setelah melepaskan sabuk pengaman terlebih dahulu. Alex menyambungkan panggilan, kemudian turun dan menutup pintu. Lelaki itu tampak disambut oleh seorang wanita cantik bersetelan kerja warna hijau tua. Louisa bergegas turun, menyadarkan Alex bahwa ia tak seorang diri.“Aku ada pertemuan, tunggulah di mana pun kau mau.” Lelaki sempat melupakan keberadaan Louisa itu menghampiri, dan berbicara tanpa ekspresi.Tidak membiarkan perempuan berkaus oblong putih itu menjawab, Alex bergegas pergi seraya berbincang dengan perempuan berbalut rok k
Alex menyingkir dari sisi ranjang, dia membutuhkan kamar mandi sekarang. Damian bersiaga di dekat ibunya, begitu pula dengan Vivian yang sudah menarik paksa sang suami untuk menemani Veli bersama Max. Tidak ada David dalam ruang kamar Ines, pria itu sudah pergi setelah tinggal dua jam lamanya pagi tadi, ada urusan yang harus diselesaikan bersama orang kepercayaannya.“Anakku baru saja tidur, dia lebih suka bangun saat malam.” Damian berusaha membuka pembicaraan, menghancurkan hening yang membuatnya tak nyaman. “Dia mirip kami berdua,” sambungnya mengurai senyum.“Mommy mengalah, Damian.” Amanda bersuara mengejutkan tiga orang di sekitar ranjang.“Y—ya?!” kaget lelaki baru saja menyandang status ayah itu.“Selama ini, mommy selalu melakukan apa yang mommy anggap benar dan demi kebahagiaan kalian, terbaik untuk kalian, tanpa pernah mommy mempertanyakan apa yang sebenarnya kalian inginkan dan membuat bahagia. Mommy tidak pernah ingin diprotes oleh siapa pun, dan mengatakan kalau apa yang
Max menyeringai penuh kemenangan, dia bertolak pinggang dan memainkan kedua alis ke arah Alex—lelaki yang merinding sempurna sampai memalingkan tubuh agar tak melihat wajah menjijikkan Max.“Bisakah kita membicarakan bisnis ini berdua?” tanya Max dengan alis bermain serta senyum terpampang.“Tidak akan pernah! Katakan saja, atau aku akan menarik semua yang sudah kukatakan tadi!” seru Alex segera, ditertawakan oleh lainnya.“Ah, dia menyebalkan.” Max mengeluh dalam senyum. “Haruskah aku mengumbar di sini? Kau akan malu nanti.”“Apa yang ingin kau katakan pada adikku?” tanya Ines.“Bisnis adalah sesuatu yang rahasia, jadi minta adikmu untuk bicara denganku atau ini tidak akan pernah selesai,” sahut Max.“Ah, baiklah! Tapi, aku ingin Leon dan Alex ikut! Aku tidak akan pernah duduk berdua denganmu!” sembur Alex, tanpa bersedia kakaknya ditarik juga. “Kalau kau tidak mau, kita batalkan saja!”“Oke, mereka akan menjadi saksi.” Max menoleh pada dua kawannya.“A—aku?!” Damian dan Leon menunju
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil