Tergesa-gesa Ines mengayunkan kaki memasuki rumah, diikuti oleh Alex—sekretaris pribadinya. Bukan tanpa alasan wanita berusia empat puluh tahun itu turut memasang wajah berang, pasalnya setengah jam lalu Ines mendapatkan kabar tentang ulah suami mudanya.
“Di mana Damian?!” tanya Ines pada pelayan tengah menyambut hadirnya.
“Tuan ada di—“ Suara pelayan terpenggal, akibat suara lain menyergap cepat.
“Aku di sini!” Irama bariton khas, menyambar dari ruang tamu.
Ines menghela napas lebih dulu, sebelum heels delapan sentimeter diajak bergerak menyisir lantai. Tangan diletakkan pada kedua pinggang, tatkala wanita berbalut blouse putih itu, mendapati sang Damian berbaring menggantung kaki di sofa panjang.
“Tidak bisakah kamu berhenti membuat ulah?!” tegur Ines segera. “Apa kamu sudah lupa tujuanmu menikah denganku, Damian?!’
“Aku tidak pernah melupakan hal itu.” Lelaki berjaket hitam tersebut, bangkit dan mulai duduk melebarkan kaki.
“Kalau kamu tidak lupa, lalu kenapa kamu terus saja membuat masalah? Bagaimana kalau semua ini tersebar ke media, Damian? Mungkinkah, kamu akan bisa membangun kembali perusahaan Xander?”
Damian menggeser biji mata, menatap wanita berkulit putih di hadapannya. “Bukan aku yang memulai lebih dulu,” ucapnya acuh. “Lagi pula, aku memiliki alasan untuk menghajar Max.”
“Tidak peduli apa alasanmu melakukan hal itu, Damian. Satu yang jelas, kamu tidak akan pernah bisa membalas penghinaan yang pernah diberikan oleh Max, jika kamu terus membuat dirimu terlihat lebih hina seperti ini!”
Wanita pemilik tinggi 173 sentimeter tersebut, meluapkan nada emosi. Keseriusan pun terlukis jelas dari suara tegasnya, dan direspons helaan napas panjang oleh lawan bicaranya.
Damian berdiri, mendekati sang istri. “Aku benar-benar memiliki alasan, untuk menghajarnya. Tidak bisakah kamu mencari tahu lebih dulu, sebelum memarahiku seperti anak kecil? Aku suamimu, bukan anakmu.”
Ines mengunci sesaat perhatian pada wajah malas Damian. Tangan kiri terulur ke arah sekretaris telah menemaninya dirinya selama hampir enam tahun lamanya. Dua buah map hitam lekas berpindah ke tangan, segera dilemparkan tepat pada dada bidang Damian.
“Apa ini?” tanya lelaki bertubuh gagah tersebut, menahan map berlogo emas perusahaan agar tidak sampai mendarat ke lantai.
“Surat penyerahan perusahaan, dan cek kosong. Kamu bisa mengisi berapa pun yang kamu inginkan, dan pergilah dari hidupku selamanya.” Ines menekankan kalimatnya, Damian seketika membeliak.
Map dibuka oleh Damian, sekedar memastikan ucapan dari wanita yang sudah dinikahinya sekitar dua bulan lalu. Pupil mata kata Damian membengkak, tatkala taburan tinta hitam berdesakan menusuk pengamatan.
“Aku tidak membutuhkan semua ini!” berang Damian, membuang begitu saja map dari tangan kiri.
“Jaga nada bicaramu, Damian! Jangan pernah berteriak di rumahku, atau—“
“Atau, kamu akan mengusirku? Menghancurkan hidupku dan orang tuaku?” sergah Damian. “Lakukan saja! Aku tidak lagi peduli dengan semua itu!”
“Damian!”
“Tidak bisakah kamu menghargai orang lain? Tidak semua hal bisa kamu selesaikan dengan uang, Ines! Termasuk perasaanku!”
“Jangan bicara macam-macam, dan pergilah dari rumah ini, sekarang juga!”
“Aku tidak akan pernah pergi ke mana pun!” semakin kencang Damian berteriak. “Aku tidak akan pernah mau mengakhiri pernikahan ini!”
“Kenapa? Apa semua yang aku berikan masih kurang? Itu bahkan melebihi perjanjian awal kita, Damian.” Ines menjawab dengan sangat tenang, memancarkan keangkuhan seperti biasa.
“Ya! Dan aku pastikan, kalau kamu tidak akan pernah memberikan apa yang aku inginkan, karena memang kamu tidak bersedia memberikannya!” erang lelaki bermata bak elang tersebut.
“Katakan saja, apa pun yang kamu inginkan, pasti aku berikan. Asal, kamu menghilang dari kehidupanku.”
“Kamu ... cinta dan hatimu, itu yang aku inginkan. Bisakah, kamu memberikannya?” yakin Damian, membingkai paras tampannya dengan keseriusan juga ketulusan.
“Aku menginginkanmu mencintaiku, dan menjalani pernikahan sesungguhnya denganku aku menginginkanmu untuk menjadi bagian dari hidupku selamanya, menjadi ibu untuk anak-anakku. Bisakah?”
Pengharapan besar disemburkan Damian lewat binar matanya. Ines senyap mendengarkan, tanpa ada sanggahan seperti biasa. Wanita berambut curly panjang itu, mulai menelan saliva. Sebelum akhirnya berbalik, untuk secepatnya menghilang dari ruang yang berubah menyesakkan jiwanya.
“Tunggu! Aku belum selesai berbicara!” teriak Damian.
“Urus semuanya, Alex!” balas Ines tanpa menoleh.
“Baik, Nyonya.” Lelaki berjas hitam membungkuk, Damian melewati tubuhnya dengan kaki lebar.
“Jang meninggalkanku, saat aku masih berbicara!” sarkas Damian, begitu mampu menjangkau pergelangan Ines.
“Lepaskan aku!” tegas Ines, mengempaskan tangan sekuat tenaga.
“Tidak akan pernah!” Lelaki bertubuh tinggi 188 sentimeter tersebut, justru semakin menguatkan cengkeraman.
“Aku mencintaimu, Ines. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mau melepaskanmu atau mengakhiri pernikahan kita!”
“Hentikan omong kosongmu, Damian! Pergilah. Aku mengakhiri perjanjian yang pernah kita sepakati sebelumnya, dan anggap saja tidak pernah ada pernikahan di antara kita. Anggap juga, kalau kita tidak pernah saling mengenal.”
“Kamu, gila?” Damian menatap tanpa rasa percaya. “Bagaimana mungkin kamu mengatakan semua itu dengan mudah?! Tidakkah kamu melihat seperti apa perasaanku?”
“Aku tidak peduli, Damian. Aku tidak pernah menggunakan perasaan, saat berbisnis. Ingatlah, hubungan kita hanya sebatas kerja sama, dan itu sudah berakhir sekarang.”
Ines mengempaskan tangan Damian, setelah mata hazel diubahnya bak belati mencabik tanpa perasaan. Wanita bercelana kerja panjang itu pun melanjutkan langkah, menapaki anak tangga untuk tiba di kamar pribadinya.
“Berhentilah memandang semuanya dari kacamata bisnis! Kamu manusia biasa, kamu membutuhkan cinta dan pasangan!”
“Sampai kapan kamu akan menutup hati, Ines? Cinta dan pernikahan tidak seburuk yang kamu pikirkan selama ini. Tidak semua laki-laki, akan menjadi seperti ayahmu!”
“Hentikan, Damian!” berang Ines menoleh dan menunjuk. “Jangan berbicara apa pun yang tidak kamu ketahui!”
“Aku mengetahui semuanya. Tentang ibumu yang bunuh diri karena perselingkuhan ayahmu, aku mengetahuinya. Tentang dirimu yang sengaja menutup diri karena trauma, aku juga sangat mengetahuinya.”
“Bahkan, tentang dirimu yang kesepian, aku juga mengetahui hal itu.”
“Aku mencintaimu, beri aku kesempatan untuk membuktikannya padamu, Ines.”
“Satu bulan ... hanya satu bulan, setelah itu aku akan pergi dari hidupmu, kalau memang kamu tidak bisa membalas cintaku.”
Ines tidak menjawab apa pun. Bahkan, mungkin suara Damian tak pernah sampai pada telinganya, akibat suara-suara lain yang kembali mengisi dan menyeramkan. Apa lagi jika bukan tentang tragedi pernah menyapa kehidupannya, perihal keluarga yang memang telah hancur berantakan dan menyisakan luka mendalam.
Sekujur tubuh Ines gemetar, bulir-bulir keringat dingin mulai memenuhi wajah. Alex berniat mendekat, tatkala menyadari tubuh atasannya goyah. Namun, Damian lebih cepat berlari dalam kecemasan, menyisir anak tangga dan langsung merengkuh Ines dalam dekapannya.
“Maaf ... maafkan aku.”
“Jangan menyentuhku” tolak Ines kencang, mendorong Damian. “Aku tidak pernah memberimu izin untuk menyentuhku! Pergi dari hidupku, Damian! Aku membencimu!”
Atas apa dikatakan perihal orang tua Ines, Damian merasa sangat bersalah. Dia berusaha keras untuk terus meminta maaf, atas luka terpendam yang kembali terangkat ke permukaan.Sampai hari-hari berganti pun, maaf tak pernah absen diutarakan oleh Damian, pada wanita yang juga ditebarkan pesona luar biasa olehnya. Menyelam sambil meminum air, itulah yang coba dilakukan oleh lelaki yang terus berharap cinta, dari pencuri hatinya.Itu tak berbeda dari apa dilakukan oleh Damian pagi ini. Lelaki dengan balutan celana pendek serta hoodie hitam tersebut, langsung menuju dapur tempat istrinya berada.Pahatan senyum diciptakan tampan oleh Damian, ketika mata menangkap pujaan hatinya menyibukkan diri dengan alat masak. Ayunan kaki sengaja dihentikan, demi mengagumi dari kejauhan.Sampai akhirnya Damian menemukan sesuatu dalam saku celana, senyum pun dibuat semakin lebar. “Bukankah, kamu harus mengikat rambut saat memasak?” ujarnya, sembari mengikat tinggi rambut panjang sang istri.Ines menghela
Detik waktu menggeser menit, bekerja sama mendorong jam berputar. Damian sudah tiba di perusahaan utama Ines, tempat meeting akan dilangsungkan.Paduan jas hitam, dasi serta kemeja telah melengkapi penampilan Damian. Bersama Leon ia memasuki ruang meeting, dan ternyata beberapa orang sudah lebih dulu menempati ruangan dingin tersebut.“Wah, lihatlah siapa yang datang. Bukankah, ini pewaris tunggal Xander?” Salah seorang langsung berceloteh, begitu Damian juga tangan kanannya masuk.“Hahaha, maksudmu ... pewaris hutang Xander?” timpal lainnya.Damian acuh, pantofel hitam mengilat diajak mendekati kursi telah disediakan untuknya. Wajah-wajah tak suka mengiringi langkah, bisik-bisik pun mulai terdengar bersama lirikan bengis tak jauh berbeda.“Apa kau datang untuk mengemis sekarang? Atau, kau ingin menawarkan tubuhmu pada nyonya Ines?”“Hahaha, kau gila? Nyonya Ines sudah memiliki suami, mana mungkin beliau mau berselingkuh dengan gembel sepertinya.”“Setidaknya, nyonya Ines juga memilik
Meski memperingatkan, Damian tetap menggunakan irama tenang serta senyuman, pada lelaki yang meringis kesakitan di bawahnya. Max bahkan memegangi pergelangan kaki Damian, kala putaran diciptakan menambah kesakitan dari injakan terus diperdalam.“Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Damian! Kau akan menyesal telah melakukan semua ini padaku!”“Kita lihat saja, siapa yang akan menyesal dan tertawa.” Damian tersenyum, mengangkat kakinya. “Kau, atau aku.” Kening Max ditendang, kepala belakang membentur kencang lantai.Damian pergi bersama Leon, begitu tenang seraya merapikan lengan kemeja. Mobil sedan hitam telah terbuka untuknya, siap dipergunakan untuk mengaspal.Sedangkan Max, lelaki itu mengeluhkan rasa sakit teramat. Sekretarisnya mendekat hendak menolong, tapi ditepis kasar. “Kau memang tidak pernah berguna!” maki Max.Max bangkit seorang diri, tanpa membebaskan tangan dari kepala bagian belakang. Mobil sport dinaiki olehnya, meninggalkan pasang-pasang mata menyaksikan tanpa tindakan
Ines mengurungkan niat bekerja, dia menyambar tas tangan dan pergi. Panggilan dibuat pada salah satu anak buahnya, menjatuhkan titah yang harus dikerjakan secepatnya.Elevator dimasuki oleh wanita dengan langkah tergesa tersebut, diketahui oleh Alex yang belum memasuki ruang kerjanya. Alex mengamati dalam mata menyipit, lalu merogoh saku untuk mendapatkan alat komunikasi miliknya.“Ikuti nyonya Ines!” titah dilayangkan tanpa basa-basi.‘Apa dia akan mencari tahu tentang Damian?’ pikir Alex. ‘Tidak. Aku harus melakukan sesuatu!’ tambahnya, menggeser kaki ke ruang kerja tak jauh dari tempatnya berdiri.Ines lebih cepat sampai lokasi parkir khusus, elevator memiliki kecepatan lebih baik dari milik karyawan. Mobil putih dijadikan tujuan, oleh wanita yang tak memperlambat sedikit pun irama langkah.“Tidak ada yang mengikutiku, atau kalian akan tahu akibatnya!”“Kami tidak bisa membiarkan Anda pergi seorang diri, Nyonya.”“Turuti perintahku!” tekan Ines membeliak. “Atau bersiaplah menerima
“Katakan padaku, siapa dirimu dan apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa aku merasa, kalau semua ini sudah direncanakan?” cerca Ines. “Aku tidak berharap kebohongan, Damian. Karena aku tidak akan pernah bisa memaafkannya!” Damian menelan saliva dalam-dalam, berlabuh biji mata ke lantai. Ines menangkap wajah kebingungan, dari lelaki yang perlahan mengendurkan tangan dari perutnya. “Jangan sampai aku yang menemukannya sendiri, karena aku bisa memastikan kalau kamu tidak akan pernah selamat!” ancam Ines sungguh-sungguh. Wanita yang memang tidak pernah lagi ingin mempercayai siapa-siapa itu, bertambah curiga. Terlebih, ketika Damian justru melepaskan dirinya dan menjauh. Semua semakin menjadi, sesaat mata Damian berupaya keras menghindari tatapan diberikan. Hingga denting lift berbunyi, lelaki yang sudah membebaskan tubuh berotot dari jas hitam tersebut, masih saja menjadikan bungkam sebagai pilihan, tanpa pernah menaikkan biji mata dari lantai ruang sempit dinaiki bersama. Ines menghela napa
Bab 7Damian mengutak-atik ponsel, mencari nomor sang daddy dan langsung menghubungi. Sekedar meminta izin bertemu, tanpa membocorkan niat serta tujuan atas pinta disuarakan.Pintu lift sudah kembali terbuka, Damian menurunkan posisi topi sebelum keluar. Alunan kaki diciptakan, terhenti begitu ada sesuatu menampar pikiran. Lelaki tengah menjadi pusat perhatian itu, mengulas senyum di balik masker.Kaki diputar menuju sesuatu yang dianggapnya mampu menjalankan rencana, Damian semakin membuat penasaran setiap mata menyaksikan saksama.“Aku benci mencintai!” ucapnya pelan, menyisir lantai menuju ruang kerja sang istri.Pintu hitam tertutup, Damian mengetuk lebih dulu. Pengawal selalu membayangi ruangan Ines dari jarak tak berarti, lekas bergerak untuk menghentikan. Namun, Alex yang lebih dulu melihat suami atasannya, memberi isyarat lewat tangan kanan terangkat.“Apa lagi yang ingin dilakukan olehnya?” gumam Alex, menyaksikan gelagat Damian sampai memicingkan mata.Sekretaris pribadi Ine
“Berhentilah mengatakan apa yang tidak pernah kamu ketahui, Damian! Aku sudah muak mendengar semua ocehanmu!” jerit Ines, menggeser langkah menjauh dan memunggungi.“Aku memang tidak mengetahui pasti apa yang kamu alami dan rasakan. Tapi, aku hanya tahu bahwa semua usahamu untuk mencintai diri sendiri, adalah kesalahan besar!” beber Damian. “Menghindari apa pun yang pernah membuatmu terluka, justru akan memperparah luka yang sudah ada!”“Diam, Damian!” Ines menunjuk wajah lelaki sudah mengisi ruang kerjanya dengan suara tinggi.“Tidak akan pernah!” Damian memperbesar pupil mata. “Air mata, kemarahan, kebencian, luka dan semua emosi yang pernah kamu rasakan, adalah bagian dari hidupmu yang harus kamu cintai, bukan terus menghindari!”“Lawan semua rasa takut yang ada dalam dirimu, jalani saja hidup ini seperti apa seharusnya. Pernikahan, perasaan, kepercayaan … belajarlah untuk tidak menghindarinya lagi,” tambah Damian. “Apa pun yang sudah terjadi, tidak mungkin bisa kita kembalikan lag
Damian baru kembali ke rumah sekitar pukul 23.15, usai menenggelamkan diri dalam pekerjaan bersama Leon di apartemen Vivian. Wajah terpasang lelah mengiringi ayunan kaki Damian menyisir teras, memijat-mijat tengkuk terasa kaku dengan jemari kanan.Baru juga beberapa langkah lemas diciptakan, Damian terpaksa berhenti seketika melihat adanya sepasang pantofel mengilat di ambang pintu utama. Kepala sedari tadi menunduk untuk mempermudah mengurut tengkuk, terangkat demi mengetahui siapa pemilik sepatu hitam menghalangi langkah.“Kau tidak tahu sudah pukul berapa, sekarang? Apa kau bekerja seperti ruang gawat darurat?” tegur Damian, begitu menangkap wajah Alex.Suara terdengar tidak mengenakkan, enggan dijawab oleh Alex. Dia lebih memilih untuk melewati tubuh suami atasannya, selepas senyum tipis ditunjukkan kilat.“Aku sedang berbicara denganmu, apa kau tuli?!” protes kencang Damian, menoleh pada lelaki yang sudah siap memasuki mobil telah dibukakan pintunya. “Alex Carter ... apa kau bena