Meski memperingatkan, Damian tetap menggunakan irama tenang serta senyuman, pada lelaki yang meringis kesakitan di bawahnya. Max bahkan memegangi pergelangan kaki Damian, kala putaran diciptakan menambah kesakitan dari injakan terus diperdalam.
“Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Damian! Kau akan menyesal telah melakukan semua ini padaku!”
“Kita lihat saja, siapa yang akan menyesal dan tertawa.” Damian tersenyum, mengangkat kakinya. “Kau, atau aku.” Kening Max ditendang, kepala belakang membentur kencang lantai.
Damian pergi bersama Leon, begitu tenang seraya merapikan lengan kemeja. Mobil sedan hitam telah terbuka untuknya, siap dipergunakan untuk mengaspal.
Sedangkan Max, lelaki itu mengeluhkan rasa sakit teramat. Sekretarisnya mendekat hendak menolong, tapi ditepis kasar. “Kau memang tidak pernah berguna!” maki Max.
Max bangkit seorang diri, tanpa membebaskan tangan dari kepala bagian belakang. Mobil sport dinaiki olehnya, meninggalkan pasang-pasang mata menyaksikan tanpa tindakan.
Ya, keributan yang terjadi di depan perusahaan Ines, memang disaksikan oleh pegawai, serta pemegang saham yang hendak kembali ke kantor masing-masing.
Namun, satu pun tidak ada yang berani mendekat. Bukan tanpa alasan, mereka terngiang jelas peringatan Ines tadi, dan tidak berniat untuk membuat masalah dengan Walter.
Sementara semua orang coba melupakan apa telah ditangkap mata, Damian sudah mengaspal bersama Leon mengendalikan kereta besi ke perusahaan Xander.
“Berhentilah membuat masalah sekarang, atau istrimu akan menerkammu hidu-hidup.”
“Hahaha, aku sangat bermimpi untuk diterkam olehnya.” Damian tertawa. “Kau berbicara santai denganku? Kau ingin, aku melaporkan pada istriku sekarang?”
“Kau sedang berlindung di bawah ketiaknya?”
“Hahaha, menyebalkan.” Damian mendorong lengan Leon. “Ah, aku benar-benar ingin berada di ketiaknya, dan terlelap.”
“Ines tahu, kalau kau mesum seperti ini?!” tegas Leon menoleh.
“Beraninya kau memanggil nama. Kau sudah bosan hidup?” sambar Damian. “Kau akan dicincang tanpa perasaan, kalau sampai dia mendengarnya.”
Leon memahat senyum, kepala menggeleng samar dan mengembalikan perhatian ke jalanan. “Sampai kapan kau akan menyembunyikannya? Ines akan segera mengetahui semuanya.”
“Aku tahu, dan itu yang sedang aku pikirkan. Aku harus membuatnya jatuh cinta lebih dulu, sebelum semuanya terbongkar. Aku takut, dia akan meninggalkanku.”
“Bukan dia yang akan meninggalkanmu, tapi kau akan dilempar pergi kalau sampai dia tahu sebenarnya.”
“Ah, diamlah dan mengemudi saja! Entah kenapa setiap perkataanmu, selalu menyakiti hatiku.”
“Aku mengatakan sejujurnya. Belum lagi, kalau sampai kedua orang tuamu tahu hal ini. Kau akan dihabisi oleh mereka.”
“Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya lebih dulu. Paling tidak, mereka berada di tempat aman sekarang.” Damian membuang muka keluar jendela. “Kau harus membuat mereka buta informasi.”
“Pastikan juga, kalau kau memerintahkan orang untuk mengawasi istriku. Aku tidak yakin dengan kelinci-kelinci yang dia pelihara, apa lagi setelah meeting pagi ini.”
“Siapa yang akan berani menyentuh istrimu? Kata-katanya saja sudah berhasil membuat orang ingin bunuh diri. Heran, bagaimana bisa ada wanita seperti itu di dunia ini.”
“Hahaha, itulah yang membuatnya menarik.”
“Tidak waras!” umpat Leon.
Damian mengarahkan senyuman pada Leon meski sejenak dan berakhir pada jalanan samping jendela. Bibir dibungkam olehnya, menghadirkan bayang akan wajah orang tua, selalu coba dilindungi melebihi nyawa sendiri.
Tentang apa dilakukan dan pasti mengundang murka, Damian sangat memahami. Tentang pernikahan bersama Ines, Damian pun tahu seperti apa reaksi akan ditunjukkan oleh kedua orang yang telah membesarkan dirinya.
Namun, sesuatu yang tak mampu dirangkai oleh bibir sebagai penjelasan awal, telah memaksa Damian untuk mengambil tindakan sekarang.
Setidaknya, lelaki berparas rupawan itu mampu meyakinkan, jika semua tidaklah membawa keburukan bagi siapa pun, dan telah dipertimbangkan matang.
Dalam waktu bersamaan, namun tempat berbeda, Ines baru keluar dari kamar mandi ruang kerjanya. Wajah segar mengiringi langkah menuju meja kerjanya, Ines mengurungkan niat duduk saat melihat adanya kelopak bunga di atas meja.
“Apa dia sedang mencicil untuk memberiku bunga?” lirih Ines, meraih kelopak mawar merah yang selalu didapatkan. Bukan hanya di ruang kerja, tapi juga di rumah kala ia terbangun dari tidur lelap.
“Anda tersenyum?” tanya Alex—lelaki yang sengaja menunggu, setelah memberikan pakaian ganti untuk atasannya.
Ines memudarkan ulasan senyum tercipta tanpa kesadaran, kemudian duduk dan membuka map hitam berlogo perusahaan Xander. “Damian sudah sampai kantor? Kamu sudah meminta orang mengikutinya?”
“Saya sudah melakukan semuanya.” Alex mendekat. “Kenapa Anda mengganti pakaian? Sepertinya, kita tidak memiliki janji di luar pagi ini.”
“Aku hanya tidak suka saat ada yang menyentuh pakaianku.”
“Tapi, sepertinya Anda menyukai saat Damian yang melakukannya. Apa Anda sudah jatuh cinta sekarang?”
Ines mengubah dingin nan sinis tatapan, menghela napas panjang. “Aku tidak membahas masalah pribadi, Alex.”
“Ya, siapa yang berharap untuk itu?” Lelaki bersetelan jas hitam tersebut, menyudahi keingintahuan. “Ini yang Anda minta.”
Sebuah flashdisk diserahkan oleh Alex. “Semua ada di dalam. Foto, video, juga artikel dari beberapa media.”
“Bungkam mereka semua, sebisa mungkin. Aku tidak ingin, kalau wajah Damian terpampang dengan berita yang bahkan tidak bisa mereka pertanggungjawabkan kebenarannya.”
“Ya, sepertinya kita harus membungkam media terus menerus.”
“Apa, maksudmu?”
Alex menunjukkan ponsel berisikan foto Damian. Mata Ines terbelalak, mengetahui perbuatan dari suaminya. “Berapa kali, aku harus mengingatkannya?”
“Tidakkah Anda merasa, kalau Damian terlalu berani untuk membuat masalah? Dia tidak terlihat takut dengan apa pun. Mungkinkah, dia memiliki orang di belakangnya? Maksudku, orang yang mampu membuatnya kebal dari masalah.”
“Maksudnya?”
“Entahlah. Saya hanya mencurigai hal itu, karena melihat sikapnya selama ini.”
“Keributan di malam penghargaan Vivian, dan cara Max menghajar tuan Damian, juga pagi ini. Bukankah, semua pantas untuk dicurigai? Ada banyak kejanggalan, saat kita benar-benar memperhatikannya.”
“Malam itu, tuan Damian terlihat sangat tidak berdaya dan ketakutan. Tapi, pagi ini tuan Damian terlihat sangat berani, seolah dirinya tidak akan pernah bisa tersentuh siapa pun.”
“Bukankah, itu terlihat aneh?”
“Belum lagi, Vivian. Mungkinkah, jika perempuan yang sudah meninggalkan dan menghina dengan sangat kejam, mau kembali begitu saja?”
“Kita sama-sama tahu, bahwa tuan Damian belum berhasil membangun perusahaan Xander. Alasan Vivian mencampakkan tuan Damian pun, kita sangat mengetahuinya.”
“Semua karena harta, kebangkrutan perusahaan Xander dan membuat Vivian merasa dirugikan jika terus menjalin hubungan.”
“Paling mustahil, adalah tuan Damian yang pernah diselingkuhi oleh Vivian dan Max. Mungkinkah, jika tuan Damian akan mau menjalin hubungan baik-baik saja dengan Vivian? Bahkan, mereka terlihat sangat romantis.”
“Apa maksudmu, Alex? Katakan saja, apa yang ingin kamu katakan jangan bertele-tele, aku tidak menyukainya.”
“Tidak ada. Saya hanya mencurigai tanpa bukti.” Alex memalsukan senyuman. “Saya permisi.”
Alex berbalik pergi, meninggalkan Ines yang mulai merangkai tiap peristiwa dengan segala perkataan menyeruak dalam telinga.
“Ada yang tidak beres. Aku harus mencari tahu, apa hubungan Damian, Max dan Vivian. Kenapa mereka ada di bar bersama malam itu? Ini bukan sebuah kebetulan.”
Ines mengurungkan niat bekerja, dia menyambar tas tangan dan pergi. Panggilan dibuat pada salah satu anak buahnya, menjatuhkan titah yang harus dikerjakan secepatnya.Elevator dimasuki oleh wanita dengan langkah tergesa tersebut, diketahui oleh Alex yang belum memasuki ruang kerjanya. Alex mengamati dalam mata menyipit, lalu merogoh saku untuk mendapatkan alat komunikasi miliknya.“Ikuti nyonya Ines!” titah dilayangkan tanpa basa-basi.‘Apa dia akan mencari tahu tentang Damian?’ pikir Alex. ‘Tidak. Aku harus melakukan sesuatu!’ tambahnya, menggeser kaki ke ruang kerja tak jauh dari tempatnya berdiri.Ines lebih cepat sampai lokasi parkir khusus, elevator memiliki kecepatan lebih baik dari milik karyawan. Mobil putih dijadikan tujuan, oleh wanita yang tak memperlambat sedikit pun irama langkah.“Tidak ada yang mengikutiku, atau kalian akan tahu akibatnya!”“Kami tidak bisa membiarkan Anda pergi seorang diri, Nyonya.”“Turuti perintahku!” tekan Ines membeliak. “Atau bersiaplah menerima
“Katakan padaku, siapa dirimu dan apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa aku merasa, kalau semua ini sudah direncanakan?” cerca Ines. “Aku tidak berharap kebohongan, Damian. Karena aku tidak akan pernah bisa memaafkannya!” Damian menelan saliva dalam-dalam, berlabuh biji mata ke lantai. Ines menangkap wajah kebingungan, dari lelaki yang perlahan mengendurkan tangan dari perutnya. “Jangan sampai aku yang menemukannya sendiri, karena aku bisa memastikan kalau kamu tidak akan pernah selamat!” ancam Ines sungguh-sungguh. Wanita yang memang tidak pernah lagi ingin mempercayai siapa-siapa itu, bertambah curiga. Terlebih, ketika Damian justru melepaskan dirinya dan menjauh. Semua semakin menjadi, sesaat mata Damian berupaya keras menghindari tatapan diberikan. Hingga denting lift berbunyi, lelaki yang sudah membebaskan tubuh berotot dari jas hitam tersebut, masih saja menjadikan bungkam sebagai pilihan, tanpa pernah menaikkan biji mata dari lantai ruang sempit dinaiki bersama. Ines menghela napa
Bab 7Damian mengutak-atik ponsel, mencari nomor sang daddy dan langsung menghubungi. Sekedar meminta izin bertemu, tanpa membocorkan niat serta tujuan atas pinta disuarakan.Pintu lift sudah kembali terbuka, Damian menurunkan posisi topi sebelum keluar. Alunan kaki diciptakan, terhenti begitu ada sesuatu menampar pikiran. Lelaki tengah menjadi pusat perhatian itu, mengulas senyum di balik masker.Kaki diputar menuju sesuatu yang dianggapnya mampu menjalankan rencana, Damian semakin membuat penasaran setiap mata menyaksikan saksama.“Aku benci mencintai!” ucapnya pelan, menyisir lantai menuju ruang kerja sang istri.Pintu hitam tertutup, Damian mengetuk lebih dulu. Pengawal selalu membayangi ruangan Ines dari jarak tak berarti, lekas bergerak untuk menghentikan. Namun, Alex yang lebih dulu melihat suami atasannya, memberi isyarat lewat tangan kanan terangkat.“Apa lagi yang ingin dilakukan olehnya?” gumam Alex, menyaksikan gelagat Damian sampai memicingkan mata.Sekretaris pribadi Ine
“Berhentilah mengatakan apa yang tidak pernah kamu ketahui, Damian! Aku sudah muak mendengar semua ocehanmu!” jerit Ines, menggeser langkah menjauh dan memunggungi.“Aku memang tidak mengetahui pasti apa yang kamu alami dan rasakan. Tapi, aku hanya tahu bahwa semua usahamu untuk mencintai diri sendiri, adalah kesalahan besar!” beber Damian. “Menghindari apa pun yang pernah membuatmu terluka, justru akan memperparah luka yang sudah ada!”“Diam, Damian!” Ines menunjuk wajah lelaki sudah mengisi ruang kerjanya dengan suara tinggi.“Tidak akan pernah!” Damian memperbesar pupil mata. “Air mata, kemarahan, kebencian, luka dan semua emosi yang pernah kamu rasakan, adalah bagian dari hidupmu yang harus kamu cintai, bukan terus menghindari!”“Lawan semua rasa takut yang ada dalam dirimu, jalani saja hidup ini seperti apa seharusnya. Pernikahan, perasaan, kepercayaan … belajarlah untuk tidak menghindarinya lagi,” tambah Damian. “Apa pun yang sudah terjadi, tidak mungkin bisa kita kembalikan lag
Damian baru kembali ke rumah sekitar pukul 23.15, usai menenggelamkan diri dalam pekerjaan bersama Leon di apartemen Vivian. Wajah terpasang lelah mengiringi ayunan kaki Damian menyisir teras, memijat-mijat tengkuk terasa kaku dengan jemari kanan.Baru juga beberapa langkah lemas diciptakan, Damian terpaksa berhenti seketika melihat adanya sepasang pantofel mengilat di ambang pintu utama. Kepala sedari tadi menunduk untuk mempermudah mengurut tengkuk, terangkat demi mengetahui siapa pemilik sepatu hitam menghalangi langkah.“Kau tidak tahu sudah pukul berapa, sekarang? Apa kau bekerja seperti ruang gawat darurat?” tegur Damian, begitu menangkap wajah Alex.Suara terdengar tidak mengenakkan, enggan dijawab oleh Alex. Dia lebih memilih untuk melewati tubuh suami atasannya, selepas senyum tipis ditunjukkan kilat.“Aku sedang berbicara denganmu, apa kau tuli?!” protes kencang Damian, menoleh pada lelaki yang sudah siap memasuki mobil telah dibukakan pintunya. “Alex Carter ... apa kau bena
Esok harinya, keinginan Damian untuk libur terpatahkan oleh penolakan tegas sang istri, yang juga menjadi pemimpin atas proyek dikerjakan. Justru, lelaki yang begitu ingin mencurahkan kasih sayang kala pujaan hatinya tengah sakit tersebut, diminta untuk turun langsung ke lokasi proyek.Semua tentu bukan tanpa tujuan, Ines ingin agar tiap pengusaha terlibat mampu melihat keseriusan Damian. Paling tidak, mereka tidak akan meremehkan lagi putra Xander itu, dan membuang keraguan saat ingin menjalin kerja sama.Jalan dibuka lebar oleh Ines, dengan bantuan dari belakang bersama Alex. Janji untuk membangkitkan perusahaan Xander jauh lebih hebat dari sebelumnya, tidak ingin diulur lagi oleh kedua orang yang kini bersama di ruang tengah. “Anda sudah mengatakannya pada Damian?” tanya lelaki yang sengaja datang membawa dokter untuk memeriksa kondisi atasannya tersebut.Ines tidak langsung menjawab, tangan baru diperiksa tekanan darahnya oleh dokter, ditarik perlahan olehnya dan mengusap-usap le
Kalau kau menyayangi mommy, hubungi iblis itu sekarang dan katakan kalau kau ingin berpisah!” ujar David serius.“Tidak!” tegas Damian tanpa berpikir. “Aku tidak akan pernah mengakhiri pernikahanku dengannya, sampai kapan pun! Silakan daddy menganggapku tidak menyayangi mommy, atau mungkin daddy tidak lagi menganggapku anak, terserah! Tapi, jelas aku katakan kalau aku tidak akan pernah meninggalkan istriku, karena aku sangat mencintainya!”“Damian!” seru Leon, menyentuh lengan kawannya demi mengingatkan, siapa tengah dihadapi.Damian cepat mengempaskan tangan Leon. “Aku tidak peduli siapa pun yang kuhadapi, Leon. Entah itu keluargaku atau seluruh dunia ini, tidak ada satu pun yang bisa memaksaku meninggalkannya, kecuali kematian!” yakinnya berucap, tanpa mengalihkan mata tajam dari sang daddy.“Kalau begitu, matilah!” ujar David, menyentak keduanya dalam ruang sama. “Akhiri hidupmu, atau aku yang akan mengakhiri hidupmu. Itu akan jauh lebih baik, dari pada aku harus menerima iblis sep
Damian tak lantas percaya. Flashdisk pada tangan kiri diamati, berganti curiga pada lelaki berekspresi malas di hadapannya. “Kau memiliki tujuan lain?”Max Colton—lelaki yang sengaja membuntuti Damian dan menabrak dari belakang itu, menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi padaku.”“Kalau kau ingin membuatku berhutang budi, ganti mobilku yang sudah kau hancurkan!” balas Damian.“Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi, bukan berhutang uang!” sembur Max. “Kalau kau tidak ingin. Kembalikan saja. Aku pastikan, kalau kau tidak akan pernah mendapatkan informasi apa-apa tentang orang yang membantu orang tuamu!”Max mengulurkan tangan, hendak merampas flashdisk dari tangan Damian. Namun, lebih cepat suami Ines itu memindahkan flashdisk ke dalam saku celana, sembari menatap ke langit-langit tanpa menarik lagi tangan dari kantung celana kiri.“Kalian bertengkar lagi?! Butuh aku nikahkan kalian berdua supaya lebih akur?” Terdengar suara kencang, Max dan Damian men