Ines mengurungkan niat bekerja, dia menyambar tas tangan dan pergi. Panggilan dibuat pada salah satu anak buahnya, menjatuhkan titah yang harus dikerjakan secepatnya.
Elevator dimasuki oleh wanita dengan langkah tergesa tersebut, diketahui oleh Alex yang belum memasuki ruang kerjanya. Alex mengamati dalam mata menyipit, lalu merogoh saku untuk mendapatkan alat komunikasi miliknya.
“Ikuti nyonya Ines!” titah dilayangkan tanpa basa-basi.
‘Apa dia akan mencari tahu tentang Damian?’ pikir Alex. ‘Tidak. Aku harus melakukan sesuatu!’ tambahnya, menggeser kaki ke ruang kerja tak jauh dari tempatnya berdiri.
Ines lebih cepat sampai lokasi parkir khusus, elevator memiliki kecepatan lebih baik dari milik karyawan. Mobil putih dijadikan tujuan, oleh wanita yang tak memperlambat sedikit pun irama langkah.
“Tidak ada yang mengikutiku, atau kalian akan tahu akibatnya!”
“Kami tidak bisa membiarkan Anda pergi seorang diri, Nyonya.”
“Turuti perintahku!” tekan Ines membeliak. “Atau bersiaplah menerima konsekuensinya!”
Pengawal telah diperintahkan oleh Alex pun saling menatap, memancarkan kebingungan akan seruan siapa yang harus dijalankan. Ines tidak peduli, memasuki kendaraan dan menempati jok balik kemudi.
Bergegas Ines meninggalkan lokasi parkir bawah tanah, menginjak dalam pedal gas menuju jalanan. Setiap kendaraan dilalui tanpa kesulitan, menambah kecepatan tanpa lagi memperhitungkan.
Ines memiliki kemampuan mengemudi sangat baik, bahkan melebihi para pengawalnya. Seolah, nyawa tidak lagi berharga, bagi wanita yang gemar memacu kecepatan tinggi tersebut.
***
Apartemen mewah dijadikan pelabuhan akhir kereta besi Ines. Ia menyisir bangunan berlantai tiga puluh tujuh tersebut seorang diri, menuju tempat di mana ada dua orang tadi dihubungi menanti.
“Dia di dalam?” tanya Ines, begitu sampai pada tujuan.
“Iya, Nyonya.” Salah satu pria bertubuh bak gorila menyahut.
Ines menghadap pintu hitam tertutup, memasang keangkuhan berwibawa. Tas mewah putih ditenteng olehnya, menantikan pintu terbuka, selepas jemari pengawal menekan bel.
Tidak membutuhkan waktu lama untuknya menyaksikan pintu terbuka, hingga muncul wajah tengah dicari. Seorang perempuan bergaun tidur seksi terlihat kaget, membesarkan pupil mata.
“Nyo—Nyonya Ines?”
“Boleh aku masuk?”
“Te—tentu. Silakan.”
Perempuan berprofesi sebagai model tersebut, menyingkir dari tengah pintu, Ines memasuki ruangan, mengedarkan pandangan ke setiap sudutnya dan menggeser kaki ke sofa panjang putih.
“Aku tidak akan berlama-lama di sini. Katakan sejujurnya tentang hubunganmu dengan Damian.” Angkuh Ines, duduk tegap melipat kaki.
“Ma—maksudnya?” gemetar bibir perempuan masih berdiri menyatukan jemari di depan tubuh.
“Kamu mengerti apa maksudku, Vivian. Hari itu, anak buah Max menghajar Damian dan mengusirnya. Aku mendengar kalau Max akan menikahimu, tapi ternyata kau menjalin hubungan dengan Roy.”
“Minggu lalu, aku mendapatkan kabar tentangmu dan Damian. Kalian bertemu, dan menghabiskan waktu bersama. Keributan di bar, kau juga ada di sana bersama Damian.”
“Jelaskan padaku apa yang terjadi sebenarnya, Vivian. Jangan berusaha membohongiku, atau mengarang cerita. Aku memiliki rekamannya, dan itu bukan tentang memperebutkan dirimu.”
“Katakan, apa tujuan kalian melakukan semua ini? Apa rencana kalian sebenarnya? Dan, apa tujuan Damian memasuki kehidupanku?”
Ines menghujani Vivian dengan rentetan alfabet. Mata menjelma bak belati tajam, yang siap mencabik-cabik lawan.
Vivian terlihat kebingungan, mengusap-usap tengkuk untuk sekedar mencari jawaban, dari rentetan tanya diajukan.
“Berbohonglah, maka kau akan tahu apa yang bisa dilakukan oleh anak buahku.” Ines berkata seraya mengembuskan napas panjang.
Ines mengedarkan perhatian pada sekujur tubuh seksi Vivian. Terhenti pengamatan pada bagian dalam pergelangan, ada sebuah gambar menyita perhatian. Ines berdiri menjangkau tangan Vivian, menelisik tato dan berganti pada wajah.
“Ini ....” Ines menggantungkan tanya, kepala menarik ingatan akan gambar serupa. “Katakan padaku, apa hubungan kalian sebenarnya?! Kenapa kalian memiliki tato yang sama, Vivian?!” teriak wanita berwajah V shape tersebut.
“Damian memiliki ini di leher kirinya. Max, Leon ... mereka juga memilikinya. Katakan padaku, apa tujuan kalian memasuki kehidupanku?!”
Vivian menarik kasar tangan, menyembunyikan di balik tubuh seraya memundurkan kaki menjauh. “Bukan kami yang memasuki kehidupan Anda, Nyonya! Tapi, Anda sendiri yang menarik Damian untuk masuk dengan tawaran kerja sama pernikahan!”
“Bukan Damian yang memiliki tujuan, tapi Anda sendiri. Anda sengaja menikah dengan Damian, untuk menekan kabar yang beredar, tentang Anda yang menyukai sesama jenis!”
“Vivian!” sarkas Ines, melayangkan tamparan.
“Ines!” Terdengar suara Damian mencabik udara, keduanya menoleh beriringan.
Tentu pandangan mereka berubah terkejut, begitu kebenaran paras Damian menyusup dalam penglihatan.
“A—apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Damian, berjalan mendekat.
“Kamu mengikutiku? Kenapa? Kamu takut kalau semua rahasiamu terbongkar ?” cerca Ines menyipitkan mata. “Atau, kamu takut kalau aku menghabisi perempuan yang kamu cintai?”
“Tidak ada yang aku cintai, selain dirimu!” ujar Damian. “Berapa kali harus aku katakan, kalau aku hanya mencintaimu!”
“Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan semuanya, Ines? Aku benar-benar mencintaimu, dan hanya dirimu saja!”
“Bohong! Kamu tidak pernah mencintaiku, Damian. Kamu memiliki tujuan tersendiri, saat menerima kesepakatan yang aku berikan hari itu!”
“Kita lihat saja, apa aku bisa menemukannya atau tidak!” Ines meraih tasnya, pergi begitu saja meninggalkan Damian juga Vivian.
Damian hendak mengejar, tapi mengurungkan langkah dan menoleh pada Vivian. “Apa dia sedang cemburu, sekarang?”
“Kamu masih bertanya, saat dia ingin menelanku hidup-hidup?” jengkel perempuan tetap memegangi pipi terasa panas.
Damian tersenyum tanpa membuka mulutnya. “Aku bahagia.”
“Kamu memang gila, Damian! Kejar, dan jelaskan padanya! Jangan membuat hidupku berada dalam masalah!”
“Berhenti menggunakan kata jangan, aku sudah bosan mendengarnya!” maki Damian. “Ta—tapi, wajahmu ….”
“Ah, sudahlah! Aku akan mengurusmu setelah ini!”
Damian berlari keluar, setelah sempat bagi tangannya menjamah sisi wajah Vivian kilat. Lelaki yang mendapatkan kabar dari anak buah tengah mengawasi Ines tersebut, celingukan mencari. Hingga berhasil menemukan sang istri memasuki elevator.
“Jangan masuk, Damian!” Ines menunjuk tegas, tatkala menemukan suaminya menahan lift sudah dimasuki.
“Jangan, lagi? Bisakah menggunakan kalimat lain saat melarangku? Telingaku sudah lelah mendengar kalimat itu!”
“Ya?!”
“Tidak ada!” Damian langsung masuk, mendorong perut rata Ines agar tak sampai kabur.
Tetap saja, wanita itu berupaya meronta pergi, berteriak memanggil pengawal pribadinya. Akan tetapi, bukan dua orang bertubuh besar yang hadir, melainkan banyak pria bersenjata membentuk garda di depan lift.
Ines terkejut, lalu menatap lelaki turut menoleh ke arah luar lift, tanpa pernah membebaskan tubuhnya sama sekali. Semakin menjadi perasaan kaget dan tak mengerti, tatkala wanita cantik itu melihat seperti apa para pria berwajah menyeramkan, tunduk hormat ke arah suaminya.
“Apa semua ini? Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ines, hanya pundak terangkat diberikan oleh Damian, sebelum senyum menawan dipamerkan dalam ketenangan.
“Katakan padaku, siapa dirimu dan apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa aku merasa, kalau semua ini sudah direncanakan?” cerca Ines. “Aku tidak berharap kebohongan, Damian. Karena aku tidak akan pernah bisa memaafkannya!” Damian menelan saliva dalam-dalam, berlabuh biji mata ke lantai. Ines menangkap wajah kebingungan, dari lelaki yang perlahan mengendurkan tangan dari perutnya. “Jangan sampai aku yang menemukannya sendiri, karena aku bisa memastikan kalau kamu tidak akan pernah selamat!” ancam Ines sungguh-sungguh. Wanita yang memang tidak pernah lagi ingin mempercayai siapa-siapa itu, bertambah curiga. Terlebih, ketika Damian justru melepaskan dirinya dan menjauh. Semua semakin menjadi, sesaat mata Damian berupaya keras menghindari tatapan diberikan. Hingga denting lift berbunyi, lelaki yang sudah membebaskan tubuh berotot dari jas hitam tersebut, masih saja menjadikan bungkam sebagai pilihan, tanpa pernah menaikkan biji mata dari lantai ruang sempit dinaiki bersama. Ines menghela napa
Bab 7Damian mengutak-atik ponsel, mencari nomor sang daddy dan langsung menghubungi. Sekedar meminta izin bertemu, tanpa membocorkan niat serta tujuan atas pinta disuarakan.Pintu lift sudah kembali terbuka, Damian menurunkan posisi topi sebelum keluar. Alunan kaki diciptakan, terhenti begitu ada sesuatu menampar pikiran. Lelaki tengah menjadi pusat perhatian itu, mengulas senyum di balik masker.Kaki diputar menuju sesuatu yang dianggapnya mampu menjalankan rencana, Damian semakin membuat penasaran setiap mata menyaksikan saksama.“Aku benci mencintai!” ucapnya pelan, menyisir lantai menuju ruang kerja sang istri.Pintu hitam tertutup, Damian mengetuk lebih dulu. Pengawal selalu membayangi ruangan Ines dari jarak tak berarti, lekas bergerak untuk menghentikan. Namun, Alex yang lebih dulu melihat suami atasannya, memberi isyarat lewat tangan kanan terangkat.“Apa lagi yang ingin dilakukan olehnya?” gumam Alex, menyaksikan gelagat Damian sampai memicingkan mata.Sekretaris pribadi Ine
“Berhentilah mengatakan apa yang tidak pernah kamu ketahui, Damian! Aku sudah muak mendengar semua ocehanmu!” jerit Ines, menggeser langkah menjauh dan memunggungi.“Aku memang tidak mengetahui pasti apa yang kamu alami dan rasakan. Tapi, aku hanya tahu bahwa semua usahamu untuk mencintai diri sendiri, adalah kesalahan besar!” beber Damian. “Menghindari apa pun yang pernah membuatmu terluka, justru akan memperparah luka yang sudah ada!”“Diam, Damian!” Ines menunjuk wajah lelaki sudah mengisi ruang kerjanya dengan suara tinggi.“Tidak akan pernah!” Damian memperbesar pupil mata. “Air mata, kemarahan, kebencian, luka dan semua emosi yang pernah kamu rasakan, adalah bagian dari hidupmu yang harus kamu cintai, bukan terus menghindari!”“Lawan semua rasa takut yang ada dalam dirimu, jalani saja hidup ini seperti apa seharusnya. Pernikahan, perasaan, kepercayaan … belajarlah untuk tidak menghindarinya lagi,” tambah Damian. “Apa pun yang sudah terjadi, tidak mungkin bisa kita kembalikan lag
Damian baru kembali ke rumah sekitar pukul 23.15, usai menenggelamkan diri dalam pekerjaan bersama Leon di apartemen Vivian. Wajah terpasang lelah mengiringi ayunan kaki Damian menyisir teras, memijat-mijat tengkuk terasa kaku dengan jemari kanan.Baru juga beberapa langkah lemas diciptakan, Damian terpaksa berhenti seketika melihat adanya sepasang pantofel mengilat di ambang pintu utama. Kepala sedari tadi menunduk untuk mempermudah mengurut tengkuk, terangkat demi mengetahui siapa pemilik sepatu hitam menghalangi langkah.“Kau tidak tahu sudah pukul berapa, sekarang? Apa kau bekerja seperti ruang gawat darurat?” tegur Damian, begitu menangkap wajah Alex.Suara terdengar tidak mengenakkan, enggan dijawab oleh Alex. Dia lebih memilih untuk melewati tubuh suami atasannya, selepas senyum tipis ditunjukkan kilat.“Aku sedang berbicara denganmu, apa kau tuli?!” protes kencang Damian, menoleh pada lelaki yang sudah siap memasuki mobil telah dibukakan pintunya. “Alex Carter ... apa kau bena
Esok harinya, keinginan Damian untuk libur terpatahkan oleh penolakan tegas sang istri, yang juga menjadi pemimpin atas proyek dikerjakan. Justru, lelaki yang begitu ingin mencurahkan kasih sayang kala pujaan hatinya tengah sakit tersebut, diminta untuk turun langsung ke lokasi proyek.Semua tentu bukan tanpa tujuan, Ines ingin agar tiap pengusaha terlibat mampu melihat keseriusan Damian. Paling tidak, mereka tidak akan meremehkan lagi putra Xander itu, dan membuang keraguan saat ingin menjalin kerja sama.Jalan dibuka lebar oleh Ines, dengan bantuan dari belakang bersama Alex. Janji untuk membangkitkan perusahaan Xander jauh lebih hebat dari sebelumnya, tidak ingin diulur lagi oleh kedua orang yang kini bersama di ruang tengah. “Anda sudah mengatakannya pada Damian?” tanya lelaki yang sengaja datang membawa dokter untuk memeriksa kondisi atasannya tersebut.Ines tidak langsung menjawab, tangan baru diperiksa tekanan darahnya oleh dokter, ditarik perlahan olehnya dan mengusap-usap le
Kalau kau menyayangi mommy, hubungi iblis itu sekarang dan katakan kalau kau ingin berpisah!” ujar David serius.“Tidak!” tegas Damian tanpa berpikir. “Aku tidak akan pernah mengakhiri pernikahanku dengannya, sampai kapan pun! Silakan daddy menganggapku tidak menyayangi mommy, atau mungkin daddy tidak lagi menganggapku anak, terserah! Tapi, jelas aku katakan kalau aku tidak akan pernah meninggalkan istriku, karena aku sangat mencintainya!”“Damian!” seru Leon, menyentuh lengan kawannya demi mengingatkan, siapa tengah dihadapi.Damian cepat mengempaskan tangan Leon. “Aku tidak peduli siapa pun yang kuhadapi, Leon. Entah itu keluargaku atau seluruh dunia ini, tidak ada satu pun yang bisa memaksaku meninggalkannya, kecuali kematian!” yakinnya berucap, tanpa mengalihkan mata tajam dari sang daddy.“Kalau begitu, matilah!” ujar David, menyentak keduanya dalam ruang sama. “Akhiri hidupmu, atau aku yang akan mengakhiri hidupmu. Itu akan jauh lebih baik, dari pada aku harus menerima iblis sep
Damian tak lantas percaya. Flashdisk pada tangan kiri diamati, berganti curiga pada lelaki berekspresi malas di hadapannya. “Kau memiliki tujuan lain?”Max Colton—lelaki yang sengaja membuntuti Damian dan menabrak dari belakang itu, menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi padaku.”“Kalau kau ingin membuatku berhutang budi, ganti mobilku yang sudah kau hancurkan!” balas Damian.“Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi, bukan berhutang uang!” sembur Max. “Kalau kau tidak ingin. Kembalikan saja. Aku pastikan, kalau kau tidak akan pernah mendapatkan informasi apa-apa tentang orang yang membantu orang tuamu!”Max mengulurkan tangan, hendak merampas flashdisk dari tangan Damian. Namun, lebih cepat suami Ines itu memindahkan flashdisk ke dalam saku celana, sembari menatap ke langit-langit tanpa menarik lagi tangan dari kantung celana kiri.“Kalian bertengkar lagi?! Butuh aku nikahkan kalian berdua supaya lebih akur?” Terdengar suara kencang, Max dan Damian men
“Hidup ini hanya tentang waktu. Sepintar apa pun kebohongan dan rahasia tersimpan, suatu saat pasti akan terbuka.” Arthur menekan kedua paha dan berdiri, tanpa melepas pandangan dari Damian. “Manusia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menutupi kebohongan dengan kemanisan, tapi Tuhan hanya membutuhkan hitungan detik untuk membukanya.”Senyum diulas oleh Arthur, mendekati Ines dan memeluk. Damian dibuat terbelalak, lebih-lebih saat pria berkulit sehat nan segar itu mengecup kening Ines, tepat di depan kedua matanya.“Aku akan menghubungimu, cepatlah sehat.” Arthur menyapu lembut rambut Ines, sebelum melangkahkan kaki. “Tidak perlu mengantar, istirahatlah. Hubungi kalau ada apa-apa, tidak perlu sungkan.”“Hm, hati-hati di jalan.” Ines mengangguk.Arthur melewati Damian, sejenak berhenti dan menoleh. Ujung bibir kiri ditarik olehnya, menelisik wajah terkejut beku Damian. “Berhati-hatilah dengan apa yang kau lakukan mulai hari ini, karena aku tidak akan pernah mengampunimu sekali lagi!