Damian tak lantas percaya. Flashdisk pada tangan kiri diamati, berganti curiga pada lelaki berekspresi malas di hadapannya. “Kau memiliki tujuan lain?”Max Colton—lelaki yang sengaja membuntuti Damian dan menabrak dari belakang itu, menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi padaku.”“Kalau kau ingin membuatku berhutang budi, ganti mobilku yang sudah kau hancurkan!” balas Damian.“Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi, bukan berhutang uang!” sembur Max. “Kalau kau tidak ingin. Kembalikan saja. Aku pastikan, kalau kau tidak akan pernah mendapatkan informasi apa-apa tentang orang yang membantu orang tuamu!”Max mengulurkan tangan, hendak merampas flashdisk dari tangan Damian. Namun, lebih cepat suami Ines itu memindahkan flashdisk ke dalam saku celana, sembari menatap ke langit-langit tanpa menarik lagi tangan dari kantung celana kiri.“Kalian bertengkar lagi?! Butuh aku nikahkan kalian berdua supaya lebih akur?” Terdengar suara kencang, Max dan Damian men
“Hidup ini hanya tentang waktu. Sepintar apa pun kebohongan dan rahasia tersimpan, suatu saat pasti akan terbuka.” Arthur menekan kedua paha dan berdiri, tanpa melepas pandangan dari Damian. “Manusia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menutupi kebohongan dengan kemanisan, tapi Tuhan hanya membutuhkan hitungan detik untuk membukanya.”Senyum diulas oleh Arthur, mendekati Ines dan memeluk. Damian dibuat terbelalak, lebih-lebih saat pria berkulit sehat nan segar itu mengecup kening Ines, tepat di depan kedua matanya.“Aku akan menghubungimu, cepatlah sehat.” Arthur menyapu lembut rambut Ines, sebelum melangkahkan kaki. “Tidak perlu mengantar, istirahatlah. Hubungi kalau ada apa-apa, tidak perlu sungkan.”“Hm, hati-hati di jalan.” Ines mengangguk.Arthur melewati Damian, sejenak berhenti dan menoleh. Ujung bibir kiri ditarik olehnya, menelisik wajah terkejut beku Damian. “Berhati-hatilah dengan apa yang kau lakukan mulai hari ini, karena aku tidak akan pernah mengampunimu sekali lagi!
Langit sudah menggelap di luar, Ines tetap saja berada di ruang kerja, menenggelamkan diri dengan pekerjaan. Sampai ketukan pintu terdengar dari luar, wanita yang sempat menyegarkan diri dalam ruang sama itu, mempersilakan untuk siapa pun yang mengetuk agar masuk ke dalam.“Maafkan saya sebelumnya, Nyonya. Tapi, di depan ada nyonya Amanda memaksa untuk bertemu. Pengawal masih menahan beliau di depan.” Pelayan menumpuk tangan di depan tubuh, menyampaikan santun tanpa mengangkat pandang.Ines tersenyum tipis, mendengar nama disebutkan oleh asisten rumah tangga. “Biarkan dia masuk!”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Wanita berseragam hitam putih itu berjalan mundur dengan tubuh tetap membungkuk.Ines melihat ke arah jam analog di atas meja kerja, angka sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pahatan senyum diciptakan sekali lagi, lalu mematikan laptop dan merapikan dokumen, memasukkan dalam laci meja kerja, kemudian menguncinya.Seperti perkiraan, Amanda tidak akan pernah bisa mengendalikan d
Leon mengajak Amanda pulang, meski harus berusaha keras bersama Damian. Wanita tengah diselimuti tanya itu enggan meninggalkan putranya, dan menuntut penjelasan. Sekali lagi, Damian berjanji akan mengungkapkan seluruh alasannya tanpa ada ditutupi lagi, memohon pada sang ibunda agar diberi kesempatan menyelesaikan lebih dulu bersama Ines.Amanda terlalu menyayangi putranya, ia menyetujui walau dengan berat hati. Amanda tidak ingin membuat putranya stres, terlebih saat nanti ia sendiri tak bisa menahan murka terhadap Ines, meluapkan segala emosi dan menyeret persoalan di masa lalu.“Baiklah, mommy menunggumu.” Amanda menyentuh lembut sisi wajah putranya.“Thanks, Mom. Love you,” sahut Damian memeluk sang ibu.Damian mengantarkan Amanda dan Leon ke depan, membantu wanita yang sempat meninggalkan lirikan sinis pada Ines itu, masuk dalam mobil. Sejenak ia menantikan di halaman, memastikan lebih dulu jika sport hitam Leon lenyap dari pemantauan.Amanda terus berusaha menangkap wajah putrany
“Itu artinya … kamu membenarkan ucapanku? Kamu sengaja mengirim orang untuk terus mengikutiku, karena kamu cemburu dan takut aku bersama perempuan lain. Benar, begitu?” ucap Damian tanpa memudarkan senyuman.Ines memalingkan wajah malas, mengembuskan napas panjang. “Sudahlah, aku lapar!” seru wanita dengan kedua tangan mendorong tubuh lelaki tengah lengah di atas tubuhnya.Ines berhasil lolos dan segera berdiri, Damian malah membetulkan posisi di ranjang, memiringkan tubuh dan bersandar pada telapak kanan telah dijadikan siku sebagai tumpuan lebih dulu.“Memakanku akan jauh lebih nikmat. Kamu tidak ingin merasakannya?” goda Damian. “Aku memiliki tubuh yang bagus, kamu pasti suka melihatnya.”Ines sudah berjalan ke arah pintu, tak menghiraukan teriakan dari lelaki yang seolah tidak pernah lelah menggoda dirinya. Damian mengulas senyum, menggigit bibir bawah menatap pintu dibiarkan terbuka oleh sang istri.“Ah, aku benar-benar ingin memakannya.” Damian mengubah posisi terlentang, menggu
Beberapa jam berlalu setelah keduanya bersiap dalam ruang berbeda, kini mereka sudah menyisir jalanan. Damian mengemudi untuk istrinya, tanpa ada pengawal mengikuti seperti hari biasa.Berulang kali lelaki berpakaian santai celana pendek di atas lutut itu melirik sang istri, berniat mencegah untuk wanita di sampingnya ikut, namun suara terus saja tertahan tanpa bisa dikeluarkan.Sampai mereka tiba di sebuah rumah yang langsung dibukakan pagarnya, Damian tetap saja terbelenggu dalam rasa cemas. Mobil diparkirkan, lelaki berkaus hitam itu sengaja diam tanpa mematikan mesin lebih dulu.“Rumah siapa ini?” tanya Ines menoleh, setelah mata menelisik bangunan megah di hadapannya. “Bukankah rumah kalian sudah disita? Kalian memiliki rumah lain dan sengaja menyembunyikannya?”“Ini tidak seperti pikiranmu,” jawab Damian lesu. “Ini rumah pribadiku, aku membelinya dengan uangku sendiri.”“Kamu memiliki uang sebanyak itu, lalu kenapa membiarkan keluargamu bangkrut?” tanya kembali wanita berambut c
Vivian tersenyum manja, mengerutkan hidung ke arah David dan memeluk. Ines menarik banyak udara, lalu membuang kasar, diiringi oleh Damian menelan saliva hingga menimbulkan suara dari tenggorokan menyempit. Ines menoleh pada dua orang masih berdiri lekat, kemudian tersenyum tipis dan duduk mendahului.'Aku menyukai senyumannya, tapi kenapa sekarang aku membencinya? Seperti aku ingin dihabisi saja.' Damian berbicara dalam hati, lalu menyusul duduk di samping sang istri.Langkah kaki terdengar mendekat, semua di ruang tamu menatap arah sama. Itu adalah Amanda, wanita berbalut celana kulot pendek sampai lutut berpadu kaus hijau tua, yang langsung duduk melipat kaki dan memiringkan posisi. Seolah-olah, ia enggan melihat wanita berseberangan dengan dirinya, hingga memusatkan perhatian pada dua orang masih setia memaku kaki di lantai sama."Cepatlah, jangan membuang waktuku! Katakan apa yang ingin kau katakan, lalu pergi dari sini!" ucap Amanda sinis. "Aku tidak tahu kenapa pagi yang indah
Sekitar empat jam berlalu selepas kehadiran Ines di rumah pribadi Damian, wanita itu kini berada di ruang ganti salah satu butik kepercayaannya. Ines mengganti pakaian tadi dikenakan, meminta Damian untuk menunggu di depan, menikmati teh hitam disajikan sembari bermain ponsel.Ines keluar setelah selesai dengan pakaiannya, memberikan dress miliknya pada pegawai butik yang sudah membawakan beberapa pakaian lain telah diminta Ines melalui sambungan telepon. "Kirimkan tagihan ke Alex seperti biasa, dia akan mengurusnya.""Baik, Nyonya." Pegawai wanita dengan tumpukan pakaian di tangan, membungkuk santun.Damian tengah menyesap teh dari cangkir putih tangan kiri, menoleh pada sumber suara dan seketika menyemburkan apa yang sudah digiring masuk dalam rongga mulut. Matanya membeliak sempurna, menatap penampilan dari sang istri yang langsung menautkan kedua alis padanya."Kamu tidak bisa menjaga kebersihan sedikit saja?" protes Ines, seraya mendekati suaminya.Damian tak menjawab, mulut dan