Ines memilih bungkam, tanpa memberikan jaminan apa-apa seperti diminta oleh Damian terhadapnya. Bahkan, sampai berjam-jam mengudara, wanita itu tetap diam menyaksikan keluar jendela, seakan-akan tengah menarik sesuatu untuk hadir dalam angan diselami seorang diri.Damian tidak berani mengusik, hanya mampu memandang dari samping selama perjalanan ditempuh keduanya. Sampai pesawat mendarat dan berganti mobil dipersiapkan oleh Alex, tetap saja lelaki yang mengambil alih kemudi menyisir jalan bebatuan itu hening.Sekedar memberi anggukan, ketika sang istri mengarahkan harus lurus atau belok kanan dan kiri, menelusuri medan terjal ditelusuri sangat hati-hati.Jalan itu hanya mampu menampung satu mobil, ketika berpapasan dengan sepeda pun harus benar-benar menyingkir, sampai roda menginjak gundukan tanah tepi sawah.Tidak ada kepadatan rumah pada daerah dipenuhi hamparan luas sawah juga hijaunya pepohonan rindang. Damian berulang kali harus menegakkan tubuh demi bisa memprediksi muatnya kee
Damian menggandeng tangan istrinya begitu berhasil mengejar, dan menyejajarkan langkah. “Kita pergi berkencan?” tanyanya, memiringkan kepala dan sengaja mendekatkan pada pipi sang istri.Ines mengerutkan hidung, menggelengkan kepala. “Aku sudah berjanji untuk mampir ke rumah nenek yang tadi, jadi kita berkencan besok saja.”“Benarkah?!” semringah Damian, dijawab anggukan wanita di sampingnya. “Oke! Kita pergi ke rumah nenek tadi, setelah itu kita akan menghabiskan waktu bersama,” sambungnya lalu melangkah lebar, mengayun-ayunkan tangan saling menggandeng.Ines melihat dan tersenyum, membiarkan saja suaminya bertingkah seperti anak kecil yang tengah kegirangan karena pinta disetujui. Apa pernah dijanjikan, tak akan mungkin diingkari oleh wanita yang selalu memegang teguh ucapan terlontar.Pernikahan, kebersamaan, dan segala hal yang menyangkut dengan hubungan. Semua itu telah disetujui dengan syarat mengunjungi seseorang lebih dulu, yakni sang ibu.Keduanya menapaki jalanan dengan meny
Baru saja Damian ingin merebahkan tubuh lelahnya, dering ponsel sudah memaki untuk segera diangkat. Damian menghela napas panjang, tatkala melihat nama Leon menghiasi layar, dan malas-malasan menggulir lambang hijau bergoyang-goyang."Apa?" lesu Damian setelah panggilan tersambung."Keluarlah, aku sudah di depan." Si penelepon langsung mengejutkan lelaki yang sekali lagi mengurungkan niat duduk."Ka—kau gila?! Tidak ada yang memintamu datang!" kesal Damian, menekan suara sembari menatap gusar pintu kamar tertutup. "Aduh, dasar sial! Aku sedang berbicara, kenapa dia mematikannya begitu saja?!" umpatnya, ketika tidak mendengar jawaban dan menatap layar sudah tak ada lagi detik panggilan berjalan.Damian melangkah kebingungan, ke kamar atau ke pintu utama. Sampai sesuatu muncul dalam pikiran, lalu menyeringai. "Sayang, aku keluar sebentar. Aku sudah berpamitan, jadi jangan marah nanti," ucap lelaki dengan suara sangat lirih tersebut seraya menatap ke pintu kamar, kemudian menaikkan kedua
"Lakukan saja, jangan banyak bertanya. Tapi, buat sumber air lebih dulu!" jawab Damian.“Aku sudah melakukannya. Kau tidak melihat anak buahmu berkeliaran mencari sumber air di sini?” jawab Leon.“Benarkah? Kenapa kau tidak memberitahuku?” Damian menoleh tegas.“Haruskah?” santai Leon, lalu menyeringai lebar.Damian tertawa kecil, memasuki mobil bersamaan dengan kawannya. Leon memang telah menjatuhkan perintah pada anak buah Damian untuk mencari sumber air, karena mustahil bagi warga menggunakan sungai setelah pencemaran yang pasti akan merusak kesehatan mereka.Cukup banyak jumlah anak buah yang dikerahkan oleh Leon, dan masing-masing telah melaksanakan bagiannya dengan sangat baik. Leon berencana memantau langsung, setelah mengantarkan Damian ke rumah. Rencananya juga, tangan kanan Damian itu akan tinggal sementara dan memastikan keberhasilan titah dilayangkan.“Istriku!” seru Damian, melihat seorang wanita berdiri melipat tangan di depan rumah kayu ditinggalkan tadi. “Ah, sial! Bag
Ines hanya ingin menggoda, namun justru Damian berubah menggila, hingga membuatnya kewalahan. Ines mendorong suaminya dalam napas terengah, membingungkan lelaki yang sudah berada di puncak gairah. Wanita sudah hampir kehabisan napas itu, hanya mampu menatap sang suami sembari terengah-engah juga menelan saliva, membasahi tenggorokan kekeringan."Jangan memintaku untuk menghentikannya," ucap Damian menatap lekat paras cantik menggoda istrinya. "Aku tidak akan berhenti malam ini." Kedua tangan dipergunakan untuk menahan tubuh Ines, menggendongnya di depan dan berjalan menuju kamar. "Damian …." Wanita yang belum mampu menukar oksigen dan karbondioksida teratur tersebut, hendak menyuarakan pinta agar diturunkan, karena sungguh tak nyaman melingkarkan kaki pada pinggang layaknya anak kecil. Akan tetapi, Damian tidak memedulikan dan terus saja memasuki kamar, membaringkan perlahan tubuh sudah teramat ingin dinikmati malam ini. Kaus dibebaskan dari tubuh kekarnya, dan sekali lagi mampu men
Keesokan hari, mentari menyapu pori-pori wajah Damian, menarik lelaki dari balik selimut itu untuk terbangun. Kedua tangan mengusap wajah, lalu meraih ponsel demi mengetahui waktu. Analog dalam benda pipih menunjukkan pukul setengah sembilan, Damian mengitari sekeliling ruangan dengan perhatian perlahan, namun tak ditemukan sang istri yang sudah membuatnya hampir gila semalam.Damian menarik tubuh dari selimut, duduk di tepi ranjang menurunkan kedua kaki. Otot-otot pada tubuh diregangkan olehnya, lalu berjalan mendekati pintu terbuka sedikit. Damian mengusap rambut ke arah belakang, terdengar suara berisik dan lekas ia menghampiri. Senyum diulas tampan, memeluk wanita yang tengah mempersiapkan makanan di dapur.“Aku mencarimu,” parau Damian manja, mencium sisi leher istrinya.“Tidurmu sangat nyenyak, aku tidak tega membangunkan. Segarkan dirimu lebih dulu, setelah itu kita makan.” Ines mengusap sisi wajah suaminya lembut, kemudian berbalik mengurai senyum. “Di depan ada paman, aku aka
Ines dan Arthur mengisi perut bersama, dengan pujian diberikan oleh sang paman yang menganggap bahwa olahan tangan Ines sangat mirip dengan cita rasa dari ibunya dulu. Keakraban terjalin dari keduanya, hingga melupakan adanya seseorang yang duduk dalam gelisah di antara mereka.Siapa lagi jika bukan Damian, lelaki yang tak sanggup menelan apa pun dan sibuk memutar keras otak, demi menggagalkan niat sang istri, mengingat adanya Leon di lokasi sama. Akan tetapi, sedikit saja alasan tak menyapa dalam kepala, Damian gelisah tak karuan.Semua makin menjadi, kala sepasang paman dan keponakan itu telah mengakhiri santap pagi, dan melegakan sejenak perut. Ines membereskan semua alat makan, mengusung ke dalam rumah. Damian mengamati seraya terus menggali kata dalam kepala, diiringi senyum maksud Arthur di dekatnya."Membangun hubungan berdasarkan kebohongan, tidak akan pernah menempatkanmu pada kebahagiaan sesungguhnya. Semua pasti menimbulkan ketakutan, akan kehancuran yang jelas tergambar di
Atas kenekatan gila dilakukan hari itu, Damian mampu menghalau Ines untuk mengintip rahasia yang masih belum dibiarkan terbuka. Bahkan, sampai hari berganti Minggu serta bulan, lelaki itu tetap berupaya mengunci rapat apa yang memang masih ragu untuk diutarakan, seperti saran dari Arthur.Terus saja Damian berpikir dan menimbang, sampai saat di mana ia mendengar sang istri menghubungi Leon dan menjatuhkan titah, agar tangan kanannya itu mencari tahu perihal orang-orang yang dianggapnya sudah banyak membantu tanah kelahirannya.Tentu saja, Damian kelimpungan tak karuan. Keputusan kilat pun dibuat, mendatangi rumah Alex seorang diri dan menawarkan kesepakatan. Alex menyetujui, karena bagaimanapun juga Damian menyimpan fakta kehidupannya. Mereka menyepakati untuk saling menutup rapat, dari wanita yang sesungguhnya telah menaruh kecurigaan hebat.Ya, Ines memang curiga karena Alex selalu berkelit akan tugas diberikan. Terlebih, sang suami jauh lebih sering pulang larut, menyegarkan diri d
Cukup singkat untuk Damian berulah seperti anak kecil hari ini, karena sang istri memaksanya untuk cepat bersiap dan menghadiri pernikahan Alex. Ya, meski sebenarnya Damian ingin sekali dibujuk, tapi sendirinya juga tidak memiliki pilihan lain setelah mengingat nama besar Ines turut dipertaruhkan hari ini.Wajah cemberut tidak bisa dipalsukan dengan senyuman, Damian menggendong putrinya seraya berjalan menemui keluarga besar yang telah bersiap menjadi saksi terucapnya janji suci Alex pada wanita pilihan hatinya sendiri. Orang-orang yang diminta mempersiapkan dokumen pernikahan pun telah menanti di kediaman Ines, bersama pria paruh baya yang akan menikahkan dua insan saling mencinta yang kini tengah dirundung gugup luar biasa.Ines mendekati adiknya bersama Damian, sekadar memeriksa pakaian dari lelaki yang tampak lesi kali ini. Dasi melingkar pada leher Alex dirapikan oleh Ines, berganti kemeja serta jas. Hal itu tentu saja mengundang perhatian semua orang, di samping tanya tentang wa
Ines tersenyum membelai sisi wajah kanan adiknya, kemudian memberikan kecupan paling hangat pada kening sang adik. “Aku merestui setiap kebaikan yang akan kamu lakukan.”Alex membalas senyum semringah, mengangkat sedikit tubuh dan memeluk kakaknya. “Terima kasih banyak, karena sudah bersedia menjadi orang paling berarti dalam hidupku. Terima kasih untuk semua yang sudah kakak berikan padaku, itu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.”“Aku jauh lebih berterima kasih padamu, karena sudah bersedia menerimaku apa adanya dan melindungiku selama ini. Aku sangat menyayangimu, Alex.” Ines menyapu punggung lebar adiknya. “bisakah aku meminta sesuatu darimu?Alex melepaskan pelukan, menatap tanya pada wanita cantik yang turut mengarahkan biji mata terhadap dirinya. “Katakan saja, kalau memang aku bisa untuk memenuhinya, aku akan sangat bahagia.”“Bisakah kamu tinggal di rumah ini meski sudah menikah?” tanya Ines lirih. “Bukan karena aku ingin menguasai, atau memantau kalian. Tapi,
Satu setengah jam berlalu, Damian tiba di kediaman istrinya bersama Leon juga Max. Ketiganya terburu-buru masuk, melihat Alex sudah bergabung dengan lainnya dan terpancing kesal merapatkan gigi kompak.Damian menghampiri istrinya, memeluk dan mencium di hadapan semua orang, lalu mengambil alih tubuh putrinya yang tengah sibuk berusaha memasukkan jari ke mulut.Leon menyapa kedua orang tuanya, di mana Vivian dan Veli sudah bergabung bersama David juga Amanda serta kedua orang tua Max. Arthur pun menjadi bagian dari perbincangan keluarga yang berkumpul tanpa kabar, hingga membingungkan tiga sahabat yang kini saling beradu mata menunjuk siapa yang akan bertanya.“Kami di sini karena mendengar kabar kurang mengenakan!” seru ayah kandung Max, melirik pada Damian.“Aku?” Damian merasa sendiri. “Memangnya ada apa denganku?” bisiknya pada sang istri.“Kamu sudah tidak menganggap kami keluarga, sampai menikah tanpa memberitahu! Haruskah kami mengetahui dari keributan kalian tadi malam?!” tekan
“Kau memang orang paling menyusahkan yang pernah kutemui seumur hidup!” tekan Alex menyiratkan murka dari wajah serta binar mata, lalu pergi meninggalkan ruang di mana kakaknya memperhatikan tanpa berusaha mencegah. Louisa berdiri, hendak menyusul Alex. Akan tetapi, Ines melarang perempuan itu.“Biarkan dia sendiri, dia butuh waktu untuk berpikir. Beberapa hari ini dia sudah banyak tertekan dalam kebingungan, aku minta padamu untuk tidak mengusiknya sekarang.” Ines mengatakan tanpa ekspresi pada Louisa.“Maaf,” pilu Louisa.“Tidak ada yang membutuhkan kata maafmu, jadi simpanlah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf, Louisa. Ucapan yang tidak tepat, hanya akan memunculkan banyak masalah yang tidak perlu. Pelajari hal itu, sebelum kau hanya tahu berkata tanpa berpikir.” Ines menekan meski nadanya cukup tenang. “Duduklah, itu akan jauh lebih baik sekarang.” Ines menghela napas berat, Arthur menyapu punggung keponakannya.“Temani Ellyn, aku akan membantu suamimu dari sini.
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i
Damian menyerahkan telepon genggam masih terhubung dengan Vivian, lelaki di hadapannya tidak langsung menerima. Damian tidak memiliki kesabaran, ia menekan pengeras suara dan menggeletakkan ponsel di atas meja.“Bicaralah, kayu kering pasti mendengarnya!” ujar Damian pada sang kakak.“Alex, tolong aku kali ini saja. Louisa sedang mabuk, dan dia tidak ingin diantar siapa pun. Max dan Leon tidak berani menjemput, mereka takut dihabisi olehmu. Mustahil kalau aku yang pergi, mommy tidak akan mengizinkannya!” cerocos Vivian di ujung panggilan.“Kau memiliki pengawal, minta saja mereka yang menjemput. Aku sedang sibuk,” jawab Alex tanpa menghentikan pena di tangan kanan mencoret-coret dokumen.“Pengawal juga seorang laki-laki, bagaimana kalau mereka kemasukan setan dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Louisa? Ayolah aku mohon, jemput dia sebelum hal buruk terjadi!” Vivian menggebu cemas. “Kalau kamu yang melakukan hal macam-macam tidak masalah, karena kalian saling mencintai! Tapi, berbe
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A