27Ines tidak terlalu menggubris lelaki di dekatnya, malah menaikkan tangan kanan menghadang taksi yang dilihatnya dari kejauhan. Tanpa kata atau ekspresi bermakna ditinggalkan, wanita itu memasuki kendaraan berwarna kuning yang berhenti tepat di hadapannya.Adrian tentu saja berusaha mencegah, karena masih sangat ingin berbicara. Akan tetapi, taksi sudah lebih dulu pergi sebelum Adrian berhasil meminta waktu lebih lama. Pria bersepatu pantofel hitam mengilat itu bertolak pinggang, memperhatikan kendaraan yang secepat kilat lenyap dari penglihatan.“Kamu benar-benar wanita yang menarik, dan aku tidak akan menyerah untuk kali ini Ines. Acuhkan saja, aku akan semakin mendekat padamu.” Adrian berkata yakin seorang diri.Adrian kembali ke mobilnya, duduk menyandarkan punggung dan tengkuk. Senyum terukir darinya, mengingat kembali masa di mana ia mengenal Ines untuk kali pertama dan langsung tertarik akan kepribadian dimiliki.Ya, meski tak pernah mendapatkan respons baik dari wanita yang
"Sayang?" memelas Damian. "Kamu bukan singa, tapi kamu kombinasi singa, serigala, harimau, dan semua yang buas.""Ya?!" Ines tersentak."Lihatlah, kamu bahkan membuatku terkejut seperti ini. Bagaimana bisa aku meminta padamu, sementara aku sendiri tidak tahu apakah kamu mencintaiku atau tidak. Kamu tidak pernah mengatakannya padaku selama ini," tutur Damian."Damian?" Ines tak mampu berkata-kata."Kita memang melakukan seperti suami istri, tapi aku tidak tahu apakah kamu menggunakan perasaan atau murni untuk menyembuhkan diri. Itu yang membuatku takut untuk memulai," terang lelaki di balik pintu tersebut. "Tidak bisakah kamu jujur atas perasaanmu padaku? Apa kamu tidak pernah bisa mencintaiku sampai sekarang?"Ines menghela napas panjang dan terpejam. "Sudahlah, kita kembali saja.""Sampai kapan kamu akan menggantungku seperti ini? Aku juga membutuhkan kepastian, bukan hanya berharap tanpa kejelasan. Tidak masalah kalau kamu memang tidak bisa mencintaiku, setidaknya aku mengetahui dan
"Jangan matikan telfonnya, aku butuh mengetahui keadaan istriku!" tekan Damian. "Ada yang mengikuti di belakang, aku akan berusaha menghalangi sebisa mungkin, sampai anak buahku berhasil menyalip!" sambungnya, melirik arah spion.Leon melirik pula pada spion luar, selepas telinga mendengar suara klakson panjang berulang. Ada lampu-lampu kendaraan berkedip, menyempurnakan kekesalan dari pengemudi di balik mobil Damian—lelaki yang sengaja mengambil jalan zig-zag memenuhi aspal dengan kecepatan rendah.Ines merasa ada yang tak beres, ia menemukan mobil sport suaminya tepat di belakang. Mata indahnya pun menangkap kendaraan lain saling berdekatan, bahkan nampak pula ada seseorang di balik kendaraan suaminya mengeluarkan kepala dan memaki. Ines berpaling ke arah Alex, perasaan curiga pun menguat dari wanita pemilik insting tajam tersebut."Ada yang tidak beres dengan mobil ini, dan orang-orang di belakang. Apa mereka mengikuti kita?" ucap Ines seperti apa ada dalam kepalanya.Alex menoleh,
Ines memang terkejut melihat pria berbalut jaket tebal mengekspresikan api dendam juga amarah terhadapnya. Namun, wanita yang menatap ujung lancip benda tajam terarah ke perutnya itu, berubah tenang Daan menarik tinggi ujung bibir kanan."Aku tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuhku dengan sangat mudah," ucap Ines tenang. Akan tetapi, itu mampu menyulut api kemarahan berlebih pada lawan di depannya."Ketenanganmu sangat menjijikkan, Ines Walter! Bawalah semua itu ke neraka!" berang pria bertubuh sedikit berisi tersebut, menggerakkan tangan berisi pisau untuk menghujam Ines.Tidak, Ines tidak membiarkan tubuhnya tersentuh oleh ujung runcing benda tajam mengarah ke perut kirinya. Wanita itu mencegah cepat, memegang pergelangan tangan pria ingin melenyapkan dirinya dengan tangan kiri, lalu memelintir tangan ke sisi kiri dan berhasil menjatuhkan pisau ke jalanan. Pria itu memekik kesakitan, ada pula suara retakan tulang. Namun, Ines justru menghadiahkan bogem mentah bertenaga tepat p
Damian mendengar, namun bersikap acuh dan terus menapaki anak tangga. Ines mengembuskan napas kasar, meletakkan kedua tangan pada pinggang, kemudian pergi menuju elevator dalam rumahnya untuk sampai ke kamar. Alex mendengarkan teriakan, dari dalam kamar ia tersenyum seorang diri.Ines sudah tiba di kamar, memasuki kamar mandi untuk membasuh wajah dan menanggalkan pakaian kotornya. Sesaat ia menatap cermin besar melengkapi wastafel, membongkar ikat rambut dan menggulung tinggi. Ines keluar membawa handuk kecil untuk mengeringkan wajah, berniat ke ruang ganti untuk mengambil pakaian, namun justru dibuat terkejut oleh suara seseorang.“Oh, Tuhan!” seru Damian kaget, begitu pula dengan wanita tengah menepuk-nepuk lembut wajahnya. Damian menoleh ke pintu, juga segala sisi kamar. “Bu—bukankah kamu di bawah?!” Damian membuka lebar-lebar mata, menunjuk sang istri berjarak tak jauh darinya.“Kamu tidak tahu fungsi lift di rumah?” sahut Ines, lawan bicaranya kembali menelusuri pintu dengan mata
Damian cukup lama menyegarkan diri, membaluri tubuh dengan sabun berulang dan menggunakan shampo berkali-kali, sekadar ingin menuntaskan aroma darah tertinggal, dari pada harus tidur di luar malam ini.Sengaja lelaki itu membiarkan rambutnya sedikit basah, meski biasanya juga selalu menggunakan alat pengering rambut lebih dulu sebelum keluar kamar mandi.Kali ini, Damian sengaja menggosok-gosok rambutnya dengan handuk kecil abu tua, seraya berjalan ke ruang ganti dan mengambil kaus untuk langsung ditempelkan pada tubuh indahnya.Damian berganti langkah menuju ruang tidur, dan kakinya pun terhenti ketika menyaksikan istrinya lelap dalam posisi duduk. Ines bahkan masih mengenakan bathrobe sama, memangku iPad dengan tangan kanan memegangi lemas.“Dia memintaku mandi, tapi sendirinya malah tidur tanpa mandi?” tutur Damian lirih, kemudian menggeleng.Tapi, pada akhirnya lelaki berwajah segar itu tersenyum, melemparkan handuk asal dan mendekati istrinya. Lembut ibu jari kanan Damian mengusa
Ines terdiam mengingat-ingat apa tadi diperhatikan sebelum tertidur. Terpejam kedua mata indah dimiliki, meyakini bahwa Damian telah mengobrak-abrik isi dalam benda pipih kerap disembunyikan selama ini. Itu kecerobohan terbesar, tapi Ines juga menganggap sebagai jalan Tuhan, di mana seluruh rahasia yang mewarnai hubungannya dengan Damian sudah seharusnya terbuka perlahan. Meski, Ines sendiri tidak tahu apa semua akan mampu diterima satu sama lain, atau malah menjadi awal dari kehancuran.Damian menyisir jalanan dengan kecepatan sangat tinggi, menuju ke apartemen Vivian. Langkah cepat pun dipergunakan olehnya begitu tiba, dan menemukan adanya Leon menyisir lorong sama.Keduanya memasuki apartemen Vivian, sandi telah diketahui. Siapa yang menduga, bahwa di dalam sudah ada Max menenggak minuman seorang diri, sembari menatap layar laptop di atas meja ruang tamu.Max meletakkan telunjuk kiri menempel bibir, mengisyaratkan agar kedua orang baru saja dikejutkan akan keberadaan dirinya i
Ines memilih berdiam diri di dalam mobilnya, meredakan kecemburuan juga amarah. iPad selalu dibiarkan tertinggal di dalam kendaraan, seolah merayu Ines untuk mengambil dan melihat isinya. Tangan bergerak untuk meraih di dalam kantung jok depan, namun urung dilakukan. Terus saja ia berlaku hal sama, hingga akhirnya kemantapan dibentuk dalam jiwa serta pikiran.Sejujurnya, Ines tidak pernah membuka apa pun perihal Damian yang terus dikirimkan oleh orang kepercayaannya, kecuali tentang foto dan panggilan yang dilakukan oleh bodyguard telah ditugaskan khusus mengekori sang suami. Kali ini, Ines sungguh dibuat penasaran akan rahasia suaminya, atas kemarahan ditunjukkan berapi-api, hingga berani menunjukkan wajah ketika bersama Vivian, bahkan menggandeng tangan tanpa bersedia melepaskan."Ya, aku harus mencari sendiri jawabannya. Apa pun itu, aku tidak bisa untuk menjadi buta lagi." Ines meneguhkan hati, membuka folder informasi suaminya.Perlahan-lahan jemari lentik menggulir layar, mengam