"Jangan matikan telfonnya, aku butuh mengetahui keadaan istriku!" tekan Damian. "Ada yang mengikuti di belakang, aku akan berusaha menghalangi sebisa mungkin, sampai anak buahku berhasil menyalip!" sambungnya, melirik arah spion.Leon melirik pula pada spion luar, selepas telinga mendengar suara klakson panjang berulang. Ada lampu-lampu kendaraan berkedip, menyempurnakan kekesalan dari pengemudi di balik mobil Damian—lelaki yang sengaja mengambil jalan zig-zag memenuhi aspal dengan kecepatan rendah.Ines merasa ada yang tak beres, ia menemukan mobil sport suaminya tepat di belakang. Mata indahnya pun menangkap kendaraan lain saling berdekatan, bahkan nampak pula ada seseorang di balik kendaraan suaminya mengeluarkan kepala dan memaki. Ines berpaling ke arah Alex, perasaan curiga pun menguat dari wanita pemilik insting tajam tersebut."Ada yang tidak beres dengan mobil ini, dan orang-orang di belakang. Apa mereka mengikuti kita?" ucap Ines seperti apa ada dalam kepalanya.Alex menoleh,
Ines memang terkejut melihat pria berbalut jaket tebal mengekspresikan api dendam juga amarah terhadapnya. Namun, wanita yang menatap ujung lancip benda tajam terarah ke perutnya itu, berubah tenang Daan menarik tinggi ujung bibir kanan."Aku tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuhku dengan sangat mudah," ucap Ines tenang. Akan tetapi, itu mampu menyulut api kemarahan berlebih pada lawan di depannya."Ketenanganmu sangat menjijikkan, Ines Walter! Bawalah semua itu ke neraka!" berang pria bertubuh sedikit berisi tersebut, menggerakkan tangan berisi pisau untuk menghujam Ines.Tidak, Ines tidak membiarkan tubuhnya tersentuh oleh ujung runcing benda tajam mengarah ke perut kirinya. Wanita itu mencegah cepat, memegang pergelangan tangan pria ingin melenyapkan dirinya dengan tangan kiri, lalu memelintir tangan ke sisi kiri dan berhasil menjatuhkan pisau ke jalanan. Pria itu memekik kesakitan, ada pula suara retakan tulang. Namun, Ines justru menghadiahkan bogem mentah bertenaga tepat p
Damian mendengar, namun bersikap acuh dan terus menapaki anak tangga. Ines mengembuskan napas kasar, meletakkan kedua tangan pada pinggang, kemudian pergi menuju elevator dalam rumahnya untuk sampai ke kamar. Alex mendengarkan teriakan, dari dalam kamar ia tersenyum seorang diri.Ines sudah tiba di kamar, memasuki kamar mandi untuk membasuh wajah dan menanggalkan pakaian kotornya. Sesaat ia menatap cermin besar melengkapi wastafel, membongkar ikat rambut dan menggulung tinggi. Ines keluar membawa handuk kecil untuk mengeringkan wajah, berniat ke ruang ganti untuk mengambil pakaian, namun justru dibuat terkejut oleh suara seseorang.“Oh, Tuhan!” seru Damian kaget, begitu pula dengan wanita tengah menepuk-nepuk lembut wajahnya. Damian menoleh ke pintu, juga segala sisi kamar. “Bu—bukankah kamu di bawah?!” Damian membuka lebar-lebar mata, menunjuk sang istri berjarak tak jauh darinya.“Kamu tidak tahu fungsi lift di rumah?” sahut Ines, lawan bicaranya kembali menelusuri pintu dengan mata
Damian cukup lama menyegarkan diri, membaluri tubuh dengan sabun berulang dan menggunakan shampo berkali-kali, sekadar ingin menuntaskan aroma darah tertinggal, dari pada harus tidur di luar malam ini.Sengaja lelaki itu membiarkan rambutnya sedikit basah, meski biasanya juga selalu menggunakan alat pengering rambut lebih dulu sebelum keluar kamar mandi.Kali ini, Damian sengaja menggosok-gosok rambutnya dengan handuk kecil abu tua, seraya berjalan ke ruang ganti dan mengambil kaus untuk langsung ditempelkan pada tubuh indahnya.Damian berganti langkah menuju ruang tidur, dan kakinya pun terhenti ketika menyaksikan istrinya lelap dalam posisi duduk. Ines bahkan masih mengenakan bathrobe sama, memangku iPad dengan tangan kanan memegangi lemas.“Dia memintaku mandi, tapi sendirinya malah tidur tanpa mandi?” tutur Damian lirih, kemudian menggeleng.Tapi, pada akhirnya lelaki berwajah segar itu tersenyum, melemparkan handuk asal dan mendekati istrinya. Lembut ibu jari kanan Damian mengusa
Ines terdiam mengingat-ingat apa tadi diperhatikan sebelum tertidur. Terpejam kedua mata indah dimiliki, meyakini bahwa Damian telah mengobrak-abrik isi dalam benda pipih kerap disembunyikan selama ini. Itu kecerobohan terbesar, tapi Ines juga menganggap sebagai jalan Tuhan, di mana seluruh rahasia yang mewarnai hubungannya dengan Damian sudah seharusnya terbuka perlahan. Meski, Ines sendiri tidak tahu apa semua akan mampu diterima satu sama lain, atau malah menjadi awal dari kehancuran.Damian menyisir jalanan dengan kecepatan sangat tinggi, menuju ke apartemen Vivian. Langkah cepat pun dipergunakan olehnya begitu tiba, dan menemukan adanya Leon menyisir lorong sama.Keduanya memasuki apartemen Vivian, sandi telah diketahui. Siapa yang menduga, bahwa di dalam sudah ada Max menenggak minuman seorang diri, sembari menatap layar laptop di atas meja ruang tamu.Max meletakkan telunjuk kiri menempel bibir, mengisyaratkan agar kedua orang baru saja dikejutkan akan keberadaan dirinya i
Ines memilih berdiam diri di dalam mobilnya, meredakan kecemburuan juga amarah. iPad selalu dibiarkan tertinggal di dalam kendaraan, seolah merayu Ines untuk mengambil dan melihat isinya. Tangan bergerak untuk meraih di dalam kantung jok depan, namun urung dilakukan. Terus saja ia berlaku hal sama, hingga akhirnya kemantapan dibentuk dalam jiwa serta pikiran.Sejujurnya, Ines tidak pernah membuka apa pun perihal Damian yang terus dikirimkan oleh orang kepercayaannya, kecuali tentang foto dan panggilan yang dilakukan oleh bodyguard telah ditugaskan khusus mengekori sang suami. Kali ini, Ines sungguh dibuat penasaran akan rahasia suaminya, atas kemarahan ditunjukkan berapi-api, hingga berani menunjukkan wajah ketika bersama Vivian, bahkan menggandeng tangan tanpa bersedia melepaskan."Ya, aku harus mencari sendiri jawabannya. Apa pun itu, aku tidak bisa untuk menjadi buta lagi." Ines meneguhkan hati, membuka folder informasi suaminya.Perlahan-lahan jemari lentik menggulir layar, mengam
Ines terdiam membuka sedikit mulut ketika mendengar pernyataan sang suami yang dianggapnya sebagai pengakuan. Wanita sempat terkejut tak menyangka itu, pada akhirnya mengulas senyum, tertunduk kilat membasahi bibir.“Luar biasa, Damian. Ternyata selama ini aku sudah memelihara ular.” Ines berucap, mengangkat pandangan pada lelaki di depannya. “Ini mengejutkan, tapi juga membuatku bahagia. Paling tidak, semua yang kamu katakan sudah melindungiku dari bisa mematikan.”Ines menunjukkan ketenangan, mengulas senyum tipis dan berhasil membingungkan lelaki tengah mengerutkan keda alis tebalnya. Ines memindahkan kedua tangan ke depan tubuh, cincin pernikahan dilepaskan olehnya. Damian membuntang, menatap sejenak dengan ulasan senyum terpahat lebih lebar dari sebelumnya.“A—apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu melepaskannya?” gagu Damian ketakutan.Ines menatap tenang, tapi juga terpancar ketajaman dari kedua mata indahnya. Lagi-lagi, wanita itu mengulas senyum sembari mengangkat tinggi cincin p
Ines menatap kedua mata Alex, tanpa ada kata terucap. Namun, lelaki itu sanggup mengartikan dari gurat wajah ditunjukkan oleh wanita tampak terguncang di depannya.Alex tidak berpikir panjang untuk langsung menggendong Ines, meski penolakan pun diberikan atas rasa tak nyaman. “Sekali saja, saya mohon jangan keras kepala,” lirih Alex dibalas senyap oleh wanita sudah bertumpu tangan kanan pada tengkuknya.“Kirimkan semua hasilnya padaku hari ini! Jangan bicarakan apa pun mengenai kondisi nyonya, atau kalian akan menerima akibatnya!” tegas Alex, memberi tatapan penuh peringatan pada tim pemotretan hari ini.“Ba—baik, Tuan.” Juru kamera gagap, sementara lainnya menciut tanpa jawaban.Alex membawa Ines ke elevator, bodyguard telah sigap membukakan dan memberi jalan untuk keduanya masuk. “Hubungi dokter pribadi nyonya dan minta secepatnya ke rumah!” titah Alex.“Baik, Tuan.” Pengawal membungkuk, tanpa ikut bergabung dalam ruang sempit sama.Pengawal lekas menjalankan titah, bergerak cepat m
Cukup singkat untuk Damian berulah seperti anak kecil hari ini, karena sang istri memaksanya untuk cepat bersiap dan menghadiri pernikahan Alex. Ya, meski sebenarnya Damian ingin sekali dibujuk, tapi sendirinya juga tidak memiliki pilihan lain setelah mengingat nama besar Ines turut dipertaruhkan hari ini.Wajah cemberut tidak bisa dipalsukan dengan senyuman, Damian menggendong putrinya seraya berjalan menemui keluarga besar yang telah bersiap menjadi saksi terucapnya janji suci Alex pada wanita pilihan hatinya sendiri. Orang-orang yang diminta mempersiapkan dokumen pernikahan pun telah menanti di kediaman Ines, bersama pria paruh baya yang akan menikahkan dua insan saling mencinta yang kini tengah dirundung gugup luar biasa.Ines mendekati adiknya bersama Damian, sekadar memeriksa pakaian dari lelaki yang tampak lesi kali ini. Dasi melingkar pada leher Alex dirapikan oleh Ines, berganti kemeja serta jas. Hal itu tentu saja mengundang perhatian semua orang, di samping tanya tentang wa
Ines tersenyum membelai sisi wajah kanan adiknya, kemudian memberikan kecupan paling hangat pada kening sang adik. “Aku merestui setiap kebaikan yang akan kamu lakukan.”Alex membalas senyum semringah, mengangkat sedikit tubuh dan memeluk kakaknya. “Terima kasih banyak, karena sudah bersedia menjadi orang paling berarti dalam hidupku. Terima kasih untuk semua yang sudah kakak berikan padaku, itu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.”“Aku jauh lebih berterima kasih padamu, karena sudah bersedia menerimaku apa adanya dan melindungiku selama ini. Aku sangat menyayangimu, Alex.” Ines menyapu punggung lebar adiknya. “bisakah aku meminta sesuatu darimu?Alex melepaskan pelukan, menatap tanya pada wanita cantik yang turut mengarahkan biji mata terhadap dirinya. “Katakan saja, kalau memang aku bisa untuk memenuhinya, aku akan sangat bahagia.”“Bisakah kamu tinggal di rumah ini meski sudah menikah?” tanya Ines lirih. “Bukan karena aku ingin menguasai, atau memantau kalian. Tapi,
Satu setengah jam berlalu, Damian tiba di kediaman istrinya bersama Leon juga Max. Ketiganya terburu-buru masuk, melihat Alex sudah bergabung dengan lainnya dan terpancing kesal merapatkan gigi kompak.Damian menghampiri istrinya, memeluk dan mencium di hadapan semua orang, lalu mengambil alih tubuh putrinya yang tengah sibuk berusaha memasukkan jari ke mulut.Leon menyapa kedua orang tuanya, di mana Vivian dan Veli sudah bergabung bersama David juga Amanda serta kedua orang tua Max. Arthur pun menjadi bagian dari perbincangan keluarga yang berkumpul tanpa kabar, hingga membingungkan tiga sahabat yang kini saling beradu mata menunjuk siapa yang akan bertanya.“Kami di sini karena mendengar kabar kurang mengenakan!” seru ayah kandung Max, melirik pada Damian.“Aku?” Damian merasa sendiri. “Memangnya ada apa denganku?” bisiknya pada sang istri.“Kamu sudah tidak menganggap kami keluarga, sampai menikah tanpa memberitahu! Haruskah kami mengetahui dari keributan kalian tadi malam?!” tekan
“Kau memang orang paling menyusahkan yang pernah kutemui seumur hidup!” tekan Alex menyiratkan murka dari wajah serta binar mata, lalu pergi meninggalkan ruang di mana kakaknya memperhatikan tanpa berusaha mencegah. Louisa berdiri, hendak menyusul Alex. Akan tetapi, Ines melarang perempuan itu.“Biarkan dia sendiri, dia butuh waktu untuk berpikir. Beberapa hari ini dia sudah banyak tertekan dalam kebingungan, aku minta padamu untuk tidak mengusiknya sekarang.” Ines mengatakan tanpa ekspresi pada Louisa.“Maaf,” pilu Louisa.“Tidak ada yang membutuhkan kata maafmu, jadi simpanlah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf, Louisa. Ucapan yang tidak tepat, hanya akan memunculkan banyak masalah yang tidak perlu. Pelajari hal itu, sebelum kau hanya tahu berkata tanpa berpikir.” Ines menekan meski nadanya cukup tenang. “Duduklah, itu akan jauh lebih baik sekarang.” Ines menghela napas berat, Arthur menyapu punggung keponakannya.“Temani Ellyn, aku akan membantu suamimu dari sini.
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i
Damian menyerahkan telepon genggam masih terhubung dengan Vivian, lelaki di hadapannya tidak langsung menerima. Damian tidak memiliki kesabaran, ia menekan pengeras suara dan menggeletakkan ponsel di atas meja.“Bicaralah, kayu kering pasti mendengarnya!” ujar Damian pada sang kakak.“Alex, tolong aku kali ini saja. Louisa sedang mabuk, dan dia tidak ingin diantar siapa pun. Max dan Leon tidak berani menjemput, mereka takut dihabisi olehmu. Mustahil kalau aku yang pergi, mommy tidak akan mengizinkannya!” cerocos Vivian di ujung panggilan.“Kau memiliki pengawal, minta saja mereka yang menjemput. Aku sedang sibuk,” jawab Alex tanpa menghentikan pena di tangan kanan mencoret-coret dokumen.“Pengawal juga seorang laki-laki, bagaimana kalau mereka kemasukan setan dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Louisa? Ayolah aku mohon, jemput dia sebelum hal buruk terjadi!” Vivian menggebu cemas. “Kalau kamu yang melakukan hal macam-macam tidak masalah, karena kalian saling mencintai! Tapi, berbe
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A