Ines memilih berdiam diri di dalam mobilnya, meredakan kecemburuan juga amarah. iPad selalu dibiarkan tertinggal di dalam kendaraan, seolah merayu Ines untuk mengambil dan melihat isinya. Tangan bergerak untuk meraih di dalam kantung jok depan, namun urung dilakukan. Terus saja ia berlaku hal sama, hingga akhirnya kemantapan dibentuk dalam jiwa serta pikiran.Sejujurnya, Ines tidak pernah membuka apa pun perihal Damian yang terus dikirimkan oleh orang kepercayaannya, kecuali tentang foto dan panggilan yang dilakukan oleh bodyguard telah ditugaskan khusus mengekori sang suami. Kali ini, Ines sungguh dibuat penasaran akan rahasia suaminya, atas kemarahan ditunjukkan berapi-api, hingga berani menunjukkan wajah ketika bersama Vivian, bahkan menggandeng tangan tanpa bersedia melepaskan."Ya, aku harus mencari sendiri jawabannya. Apa pun itu, aku tidak bisa untuk menjadi buta lagi." Ines meneguhkan hati, membuka folder informasi suaminya.Perlahan-lahan jemari lentik menggulir layar, mengam
Ines terdiam membuka sedikit mulut ketika mendengar pernyataan sang suami yang dianggapnya sebagai pengakuan. Wanita sempat terkejut tak menyangka itu, pada akhirnya mengulas senyum, tertunduk kilat membasahi bibir.“Luar biasa, Damian. Ternyata selama ini aku sudah memelihara ular.” Ines berucap, mengangkat pandangan pada lelaki di depannya. “Ini mengejutkan, tapi juga membuatku bahagia. Paling tidak, semua yang kamu katakan sudah melindungiku dari bisa mematikan.”Ines menunjukkan ketenangan, mengulas senyum tipis dan berhasil membingungkan lelaki tengah mengerutkan keda alis tebalnya. Ines memindahkan kedua tangan ke depan tubuh, cincin pernikahan dilepaskan olehnya. Damian membuntang, menatap sejenak dengan ulasan senyum terpahat lebih lebar dari sebelumnya.“A—apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu melepaskannya?” gagu Damian ketakutan.Ines menatap tenang, tapi juga terpancar ketajaman dari kedua mata indahnya. Lagi-lagi, wanita itu mengulas senyum sembari mengangkat tinggi cincin p
Ines menatap kedua mata Alex, tanpa ada kata terucap. Namun, lelaki itu sanggup mengartikan dari gurat wajah ditunjukkan oleh wanita tampak terguncang di depannya.Alex tidak berpikir panjang untuk langsung menggendong Ines, meski penolakan pun diberikan atas rasa tak nyaman. “Sekali saja, saya mohon jangan keras kepala,” lirih Alex dibalas senyap oleh wanita sudah bertumpu tangan kanan pada tengkuknya.“Kirimkan semua hasilnya padaku hari ini! Jangan bicarakan apa pun mengenai kondisi nyonya, atau kalian akan menerima akibatnya!” tegas Alex, memberi tatapan penuh peringatan pada tim pemotretan hari ini.“Ba—baik, Tuan.” Juru kamera gagap, sementara lainnya menciut tanpa jawaban.Alex membawa Ines ke elevator, bodyguard telah sigap membukakan dan memberi jalan untuk keduanya masuk. “Hubungi dokter pribadi nyonya dan minta secepatnya ke rumah!” titah Alex.“Baik, Tuan.” Pengawal membungkuk, tanpa ikut bergabung dalam ruang sempit sama.Pengawal lekas menjalankan titah, bergerak cepat m
Malam hari, Damian tampak sangat gusar, mondar-mandir di teras rumah pribadinya, mengurungkan niat berulang kali untuk pergi dan mencari tahu sendiri akan kebenaran ucapan Adrian. Ya, nyatanya apa disampaikan oleh pengagum berat Ines itu sudah berhasil membuat Damian tak karuan seharian ini. Fokus pun tidak dimiliki, lebih banyak melamun ketika harus menemani Vivian dan Amanda berbelanja.Sampai-sampai, Damian tidak diperbolehkan mengemudi oleh Leon, rela menggantikan dan menyerahkan mobilnya pada Vivian untuk kembali pulang bersama Amanda, sementara Max harus melesat ke kantor atas sebuah urusan penting dan mendesak harus diselesaikan tangannya.Leon tidak sekalipun meninggalkan Damian, bahkan sampai detik ini lelaki itu tetap berada di dekat kawan baiknya. Ya, meski harus menahan pusing akibat tubuh Damian yang tiba-tiba menjelma seperti setrikaan, Leon tetap setia duduk pada kursi di teras rumah sembari memainkan telepon genggam.“Beri aku solusi!” bentak Damian, mengejutkan Leon.
Arthur, pria yang berhasil mengejutkan Damian dan Leon sampai keduanya berdiri. Paman Ines itu mendengar kabar tentang keponakannya, dan memutuskan datang setelah kembali dari rumah sakit untuk melihat kondisi putrinya lebih dulu. “Kenapa kalian tidak masuk?” tanya Arthur bingung.“Bisakah aku meminta tolong padamu?” tutur Damian, berkerut kedua alis Arthur menatap dirinya. “Mintalah Ines untuk berhati-hati dengan Adrian, aku memiliki firasat buruk tentangnya. Aku merasa, dia sengaja datang untuk mendapatkan sesuatu, dan itu bukan hanya diri Ines saja. Ada dendam yang ingin dilancarkan pada Ines. Jadi, bisakah kau meminta untuk Ines menjauhinya?”Arthur mengembuskan napas panjang, memajukan langkah mendekati Damian. “Kau benar, aku juga bisa melihat hal itu. Tapi, Ines dan Adrian memiliki kerja sama, itu tidak akan mudah untuk diakhiri sekarang.” “Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kerja sama ini berhenti,” ucap Damian tanpa berpikir.“Tidak, Damian. Bukan kerja sama mereka ya
Detik waktu menggiring menit dan jam bergulir selepas apa diucapkan oleh Ines dalam bibir bergetar. Nyatanya, wanita itu tidak bermain dengan apa sudah diputuskan, dan Alex hanya bisa menuruti tanpa perlawanan. Meski, pada dasarnya Alex ingin sekali menolak dan memberi sedikit nasihat pada Ines untuk mempertimbangkan. Akan tetapi, semua urung dilakukan dan lebih memilih untuk menjalankan titah bersama pengacara terpilih.Ines sendiri menyerahkan seluruh masalah perceraian pada Alex dan pengacara, tanpa bersedia berhadapan dengan Damian. Bahkan, wanita itu memutuskan pergi dari kota juga ditinggali oleh suaminya, sekadar mencari ketenangan dan kedamaian jiwa. Keputusan singkat tersebut, juga didasari oleh laporan rumah sakit yang membuatnya kembali mengurai air mata.Ines pergi tanpa membiarkan Alex mengekori seperti hari-hari biasa. Ines pun meminta agar orang kepercayaannya itu tidak mengabarkan pada siapa-siapa akan kepergiannya, begitu pula dengan Arthur.Sekitar malam hari, Alex b
Leon bergeming di halaman, usai perkataan Alex yang membuatnya teringat sesuatu. “Ah, bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting ini?!” serunya, berlari memasuki rumah.Saking kencangnya Leon berlari, ia sampai kesulitan berhenti ketika berpapasan dengan Damian di ujung anak tangga. Tabrakan pun tidak bisa dihindarkan, hingga pinggang Damian membentur kencang anak tangga sudah dilalui. Leon menimpa tubuh kawannya, seketika bangkit begitu menyadari.“Aduh!” pekik Damian, turut terbentur pula tengkuk serta kepala belakang. “Kau sudah gila?! Otakku bisa bergeser ke mata!” makinya keras, memegangi kepala belakang.“Salahmu sendiri berjalan tanpa melihat jalan!” balas Leon.“Kau yang tidak melihat jalan, dan sekarang menyalahkanku?!” sembur Damian. “Bantu aku bangun!” sambungnya mengulurkan tangan kanan.Leon memegang pergelangan Damian, menarik sekuat tenaga tubuh berotot yang berhasil membuat Leon kepayahan dan memegangi pegangan anak tangga. Damian melirik sinis seraya mengomel, berjala
Dua hari berlalu setelah penandatanganan surat perceraian, Damian dan Ines tidak pernah lagi saling terkoneksi satu sama lain. Ines memilih untuk fokus kembali pada kehidupan yang memang harus ditata ulang, dan Damian lebih banyak menghabiskan waktu bersama Veli. Sekadar menemani bocah kerap bertingkah manja padanya itu bermain, atau mengisi perut.Damian bahkan rela meninggalkan banyak hal demi memberikan kebahagiaan serta masa kecil indah terhadap Veli, membawa pergi bermain dan menuruti segala keinginan dari gadis yang selalu ingin tidur bersamanya, juga menyukai pangkuan serta dekapan hangat diberikan.Tidak berbeda dengan sore ini, Damian sengaja kembali lebih awal dari kantor dan menyudahi aktivitas dari pukul dua tadi. Damian kembali ke rumah untuk membersihkan tubuh, sebelum akhirnya ia pergi ke mall bersama Vivian juga Veli, berbelanja segala kebutuhan dari gadis yang ingin dibiarkan tinggal bersama tanpa pernah lagi terpisah. Bodyguard tentu saja mengikuti mereka, di mana s