Leon bergeming di halaman, usai perkataan Alex yang membuatnya teringat sesuatu. “Ah, bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting ini?!” serunya, berlari memasuki rumah.Saking kencangnya Leon berlari, ia sampai kesulitan berhenti ketika berpapasan dengan Damian di ujung anak tangga. Tabrakan pun tidak bisa dihindarkan, hingga pinggang Damian membentur kencang anak tangga sudah dilalui. Leon menimpa tubuh kawannya, seketika bangkit begitu menyadari.“Aduh!” pekik Damian, turut terbentur pula tengkuk serta kepala belakang. “Kau sudah gila?! Otakku bisa bergeser ke mata!” makinya keras, memegangi kepala belakang.“Salahmu sendiri berjalan tanpa melihat jalan!” balas Leon.“Kau yang tidak melihat jalan, dan sekarang menyalahkanku?!” sembur Damian. “Bantu aku bangun!” sambungnya mengulurkan tangan kanan.Leon memegang pergelangan Damian, menarik sekuat tenaga tubuh berotot yang berhasil membuat Leon kepayahan dan memegangi pegangan anak tangga. Damian melirik sinis seraya mengomel, berjala
Dua hari berlalu setelah penandatanganan surat perceraian, Damian dan Ines tidak pernah lagi saling terkoneksi satu sama lain. Ines memilih untuk fokus kembali pada kehidupan yang memang harus ditata ulang, dan Damian lebih banyak menghabiskan waktu bersama Veli. Sekadar menemani bocah kerap bertingkah manja padanya itu bermain, atau mengisi perut.Damian bahkan rela meninggalkan banyak hal demi memberikan kebahagiaan serta masa kecil indah terhadap Veli, membawa pergi bermain dan menuruti segala keinginan dari gadis yang selalu ingin tidur bersamanya, juga menyukai pangkuan serta dekapan hangat diberikan.Tidak berbeda dengan sore ini, Damian sengaja kembali lebih awal dari kantor dan menyudahi aktivitas dari pukul dua tadi. Damian kembali ke rumah untuk membersihkan tubuh, sebelum akhirnya ia pergi ke mall bersama Vivian juga Veli, berbelanja segala kebutuhan dari gadis yang ingin dibiarkan tinggal bersama tanpa pernah lagi terpisah. Bodyguard tentu saja mengikuti mereka, di mana s
Ines bergegas pergi setelah perbincangan dianggapnya tidak berguna dengan Vivian. Wanita itu menghubungi anak buahnya untuk pergi lebih dulu ke yayasan, dan meminta agar semua lekas menyusul. Damian mendengarkan ketika salah satu bodyguard istrinya berbicara lewat sambungan telepon, dan akhirnya meminta pegawai toko serta pelayan Ines yang ikut, membungkus rapi kado dengan lebih cepat.Ada gejolak hebat dalam batin Damian untuk pergi, namun upaya perlawanan pun turut dilakukan menggunakan logika. Damian. Peringatan serta saran diberikan oleh Alex pun dipaksa ikut serta untuk menekan jiwanya saat ini. Akan tetapi, nyatanya Damian tidak mampu melakukan dengan baik, hingga ia bergegas pergi bersama Veli dan menyambar tangan Vivian, berjalan cepat ke elevator agar kaki lekas sampai di lokasi parkir.“Pergilah sendiri, aku akan membawa Veli pulang. Dia pasti lelah,” ucap Vivian seolah mengerti apa tengah dalam pemikiran Damian. “Aku sudah meminta Leon menjemput kami, sebentar lagi dia akan
Pemikiran-pemikiran itu, tanpa sengaja menikam jiwa Damian dengan sangat dalam. Sesak pun dirasakan dalam penantian di depan yayasan. Sampai satu setengah jam dilalui dengan menumbuhkan segala fakta diciptakan sendiri, Damian memutuskan pergi. Ia tak sanggup jika harus melihat wanita dicintainya keluar bersama lelaki lain, dan mengacuhkannya seolah diri tak pernah mengenal.Kaki diseret oleh Damian menuju mobilnya, wajah tertunduk lesu, seakan-akan tenaga sudah tidak lagi dimiliki olehnya. Damian mengaspal dengan luka hati tersimpan, bulir air mata turun tanpa sengaja membasahi wajah sendunya. Kepala disandarkan Damian pada telapak tangan kanan, menatap ke depan tanpa memiliki fokus terhadap jalanan dihiasi lampu-lampu menyakiti mata dari kendaraan lain.Sampai dada sesak tak mampu ditahan lagi, Damian memutuskan menepi dan menundukkan kepala di atas kemudi. Rasa sakit dirasakan begitu hebat olehnya, air mata pun berurai tanpa diperintahkan. Haruskah ia melepaskan wanita yang sangat d
Adrian menyandarkan punggung, menyilangkan kaki dan bertumpu siku kanan pada sandaran tangan kursi. Pria itu mengusap-usap bagian bawah bibirnya, memperhatikan Ines dengan senyum penuh maksud tersembunyi.Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, setelah kedua telinga Adrian mendengar derap langkah cepat serta suara keributan dari arah pintu utama dijaga oleh pengawal Adrian serta pelayan restoran.“Sial! Apa yang mereka lakukan di sini?!” umpat Adrian, ketika melihat adanya Alex juga Damian berlari mendekat, diikuti oleh dua pengawal.Adrian gusar menyisir ke setiap sudut ruangan, kemudian berdiri dan berlari pergi layaknya pecundang, membiarkan kursi terpental ke lantai. Pengawal pribadi Ines langsung mengejar tanpa perintah, sementara Damian dan Alex mendekati wanita sudah tampak acak-acakan dengan rambut serta pakaian.“Apa yang terjadi denganmu?” cemas Damian membuka lebar kedua mata, memegangi lengan istrinya.Tidak ada jawaban diberikan oleh Ines, ia malah langsung menyerang bib
Alex bungkam, Damian menatap ke arah dokter yang sempat menoleh padanya dengan tatap keraguan. Intuisi Damian mengatakan, bahwa benar ada sebuah rahasia besar yang tengah disembunyikan darinya. Namun, ada sesuatu yang juga menahan dirinya untuk mencari tahu, karena keyakinan lain mengirimkan sinyal bahwa sebentar lagi Damian akan mengetahui sendiri dengan sangat jelas.Damian tenang melipat tangan menelisik dokter yang menjamah tubuh istrinya untuk diperiksa. Sampai semua pemeriksaan berakhir dan dokter berpamitan tanpa meninggalkan kata atau bahkan obat, Damian masih berusaha menerima dalam ketenangan. Alex ikut bersama dokter, untuk mengetahui jenis obat yang telah masuk dalam aliran nadi Ines, juga ingin berbicara empat mata secara leluasa mengenai keadaan dari sang kakak.Damian menarik dalam-dalam udara, membuang perlahan dan melakukan sebanyak tiga kali, demi memancing kedamaian jiwa yang terus dibakar oleh amarah terhadap Adrian—pria yang sudah dicari oleh Leon serta seluruh pe
“Damian!” Alex mendekati kawannya, coba mengendalikan emosi dan mengingatkan siapa yang sedang dihadapi sekarang. Akan tetapi, Damian sudah terlanjur dikuasai amarah dan susah baginya meredakan, sekujur tubuh pun bergetar hebat akan emosi terus saja meluap-luap.“Jaga bicaramu, Ines! Kamu sudah keterlaluan dengan semua ucapan dan pemikiranmu!” Damian menunjuk tegas wanita di hadapannya. “Jangan pernah berani membawa Vivian dan Veli dalam masalah ini!”“Kamu bahkan berani membelanya di hadapanku?! Apa kamu lupa siapa aku, Damian?!” erang Ines, Alex coba menghentikan dengan menyentuh tangan kakaknya.“Aku mohon kendalikan amarahmu,” lirih Alex.“Aku sudah tidak tahan lagi, Alex! Selama ini dia terus saja mengabaikanku dan mementingkan kehidupan pribadinya! Dia selalu mengutamakan Vivian dari pada aku, istrinya! Tapi, dia tidak pernah mau pergi dari hidupku, dan itu menyesakkan!” tutur Ines meluapkan segala isi hati terdalam.“Kalian berdua memang sangat menyedihkan.” Suara Adrian mengis
Ines tertegun tanpa mampu percaya, akan apa dikatakan oleh Damian. Namun, Alex justru bernapa lega di sela telinga menguping bersama Leon juga Max, mengabaikan jasad Adrian yang kini membuat seluruh anak buahnya ingin melenyapkan diri sendiri, tanpa mau diberikan penyiksaan lebih dulu untuk menemui ajal masing-masing. Sementara Damian, lelaki itu berdiri dan menelan saliva, seperti menyesali apa baru saja diucapkan atas dorongan hati terdalam, tanpa terhubung dengan logika lebih dulu.“Vivian adalah kakak kandungku, dan Veli adalah anaknya bersama Leon. Mereka sudah menikah bertahun-tahun, dan Max adalah sahabat baik kami, juga rekan bisnis dan keluarga kami.” Damian menjelaskan apa yang sudah terlanjur disampaikan. “Aku tidak berniat menutupi semua ini, tapi—” ucap Damian terpotong.“Tapi, karena kamu memang merencanakan sesuatu untukku!” erang Ines menyela. “Kalian … kalian semua memiliki tujuan dalam hidupku, dan untuk itulah kalian membangun semua sandiwara ini!”“Kami memang memi
Cukup singkat untuk Damian berulah seperti anak kecil hari ini, karena sang istri memaksanya untuk cepat bersiap dan menghadiri pernikahan Alex. Ya, meski sebenarnya Damian ingin sekali dibujuk, tapi sendirinya juga tidak memiliki pilihan lain setelah mengingat nama besar Ines turut dipertaruhkan hari ini.Wajah cemberut tidak bisa dipalsukan dengan senyuman, Damian menggendong putrinya seraya berjalan menemui keluarga besar yang telah bersiap menjadi saksi terucapnya janji suci Alex pada wanita pilihan hatinya sendiri. Orang-orang yang diminta mempersiapkan dokumen pernikahan pun telah menanti di kediaman Ines, bersama pria paruh baya yang akan menikahkan dua insan saling mencinta yang kini tengah dirundung gugup luar biasa.Ines mendekati adiknya bersama Damian, sekadar memeriksa pakaian dari lelaki yang tampak lesi kali ini. Dasi melingkar pada leher Alex dirapikan oleh Ines, berganti kemeja serta jas. Hal itu tentu saja mengundang perhatian semua orang, di samping tanya tentang wa
Ines tersenyum membelai sisi wajah kanan adiknya, kemudian memberikan kecupan paling hangat pada kening sang adik. “Aku merestui setiap kebaikan yang akan kamu lakukan.”Alex membalas senyum semringah, mengangkat sedikit tubuh dan memeluk kakaknya. “Terima kasih banyak, karena sudah bersedia menjadi orang paling berarti dalam hidupku. Terima kasih untuk semua yang sudah kakak berikan padaku, itu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.”“Aku jauh lebih berterima kasih padamu, karena sudah bersedia menerimaku apa adanya dan melindungiku selama ini. Aku sangat menyayangimu, Alex.” Ines menyapu punggung lebar adiknya. “bisakah aku meminta sesuatu darimu?Alex melepaskan pelukan, menatap tanya pada wanita cantik yang turut mengarahkan biji mata terhadap dirinya. “Katakan saja, kalau memang aku bisa untuk memenuhinya, aku akan sangat bahagia.”“Bisakah kamu tinggal di rumah ini meski sudah menikah?” tanya Ines lirih. “Bukan karena aku ingin menguasai, atau memantau kalian. Tapi,
Satu setengah jam berlalu, Damian tiba di kediaman istrinya bersama Leon juga Max. Ketiganya terburu-buru masuk, melihat Alex sudah bergabung dengan lainnya dan terpancing kesal merapatkan gigi kompak.Damian menghampiri istrinya, memeluk dan mencium di hadapan semua orang, lalu mengambil alih tubuh putrinya yang tengah sibuk berusaha memasukkan jari ke mulut.Leon menyapa kedua orang tuanya, di mana Vivian dan Veli sudah bergabung bersama David juga Amanda serta kedua orang tua Max. Arthur pun menjadi bagian dari perbincangan keluarga yang berkumpul tanpa kabar, hingga membingungkan tiga sahabat yang kini saling beradu mata menunjuk siapa yang akan bertanya.“Kami di sini karena mendengar kabar kurang mengenakan!” seru ayah kandung Max, melirik pada Damian.“Aku?” Damian merasa sendiri. “Memangnya ada apa denganku?” bisiknya pada sang istri.“Kamu sudah tidak menganggap kami keluarga, sampai menikah tanpa memberitahu! Haruskah kami mengetahui dari keributan kalian tadi malam?!” tekan
“Kau memang orang paling menyusahkan yang pernah kutemui seumur hidup!” tekan Alex menyiratkan murka dari wajah serta binar mata, lalu pergi meninggalkan ruang di mana kakaknya memperhatikan tanpa berusaha mencegah. Louisa berdiri, hendak menyusul Alex. Akan tetapi, Ines melarang perempuan itu.“Biarkan dia sendiri, dia butuh waktu untuk berpikir. Beberapa hari ini dia sudah banyak tertekan dalam kebingungan, aku minta padamu untuk tidak mengusiknya sekarang.” Ines mengatakan tanpa ekspresi pada Louisa.“Maaf,” pilu Louisa.“Tidak ada yang membutuhkan kata maafmu, jadi simpanlah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf, Louisa. Ucapan yang tidak tepat, hanya akan memunculkan banyak masalah yang tidak perlu. Pelajari hal itu, sebelum kau hanya tahu berkata tanpa berpikir.” Ines menekan meski nadanya cukup tenang. “Duduklah, itu akan jauh lebih baik sekarang.” Ines menghela napas berat, Arthur menyapu punggung keponakannya.“Temani Ellyn, aku akan membantu suamimu dari sini.
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i
Damian menyerahkan telepon genggam masih terhubung dengan Vivian, lelaki di hadapannya tidak langsung menerima. Damian tidak memiliki kesabaran, ia menekan pengeras suara dan menggeletakkan ponsel di atas meja.“Bicaralah, kayu kering pasti mendengarnya!” ujar Damian pada sang kakak.“Alex, tolong aku kali ini saja. Louisa sedang mabuk, dan dia tidak ingin diantar siapa pun. Max dan Leon tidak berani menjemput, mereka takut dihabisi olehmu. Mustahil kalau aku yang pergi, mommy tidak akan mengizinkannya!” cerocos Vivian di ujung panggilan.“Kau memiliki pengawal, minta saja mereka yang menjemput. Aku sedang sibuk,” jawab Alex tanpa menghentikan pena di tangan kanan mencoret-coret dokumen.“Pengawal juga seorang laki-laki, bagaimana kalau mereka kemasukan setan dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Louisa? Ayolah aku mohon, jemput dia sebelum hal buruk terjadi!” Vivian menggebu cemas. “Kalau kamu yang melakukan hal macam-macam tidak masalah, karena kalian saling mencintai! Tapi, berbe
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A