“Damian!” Alex mendekati kawannya, coba mengendalikan emosi dan mengingatkan siapa yang sedang dihadapi sekarang. Akan tetapi, Damian sudah terlanjur dikuasai amarah dan susah baginya meredakan, sekujur tubuh pun bergetar hebat akan emosi terus saja meluap-luap.“Jaga bicaramu, Ines! Kamu sudah keterlaluan dengan semua ucapan dan pemikiranmu!” Damian menunjuk tegas wanita di hadapannya. “Jangan pernah berani membawa Vivian dan Veli dalam masalah ini!”“Kamu bahkan berani membelanya di hadapanku?! Apa kamu lupa siapa aku, Damian?!” erang Ines, Alex coba menghentikan dengan menyentuh tangan kakaknya.“Aku mohon kendalikan amarahmu,” lirih Alex.“Aku sudah tidak tahan lagi, Alex! Selama ini dia terus saja mengabaikanku dan mementingkan kehidupan pribadinya! Dia selalu mengutamakan Vivian dari pada aku, istrinya! Tapi, dia tidak pernah mau pergi dari hidupku, dan itu menyesakkan!” tutur Ines meluapkan segala isi hati terdalam.“Kalian berdua memang sangat menyedihkan.” Suara Adrian mengis
Ines tertegun tanpa mampu percaya, akan apa dikatakan oleh Damian. Namun, Alex justru bernapa lega di sela telinga menguping bersama Leon juga Max, mengabaikan jasad Adrian yang kini membuat seluruh anak buahnya ingin melenyapkan diri sendiri, tanpa mau diberikan penyiksaan lebih dulu untuk menemui ajal masing-masing. Sementara Damian, lelaki itu berdiri dan menelan saliva, seperti menyesali apa baru saja diucapkan atas dorongan hati terdalam, tanpa terhubung dengan logika lebih dulu.“Vivian adalah kakak kandungku, dan Veli adalah anaknya bersama Leon. Mereka sudah menikah bertahun-tahun, dan Max adalah sahabat baik kami, juga rekan bisnis dan keluarga kami.” Damian menjelaskan apa yang sudah terlanjur disampaikan. “Aku tidak berniat menutupi semua ini, tapi—” ucap Damian terpotong.“Tapi, karena kamu memang merencanakan sesuatu untukku!” erang Ines menyela. “Kalian … kalian semua memiliki tujuan dalam hidupku, dan untuk itulah kalian membangun semua sandiwara ini!”“Kami memang memi
Atas kejadian itu, Damian lebih memilih sendiri dalam kamar, tanpa mengizinkan siapa pun hadir mengusik ketenangan yang coba diciptakan seorang diri. Sementara Ines, wanita itu berusaha menjalani hidup dan menekan lebih banyak rasa sakit. Alex diminta untuk tinggal bersamanya, untuk kali pertama pun Ines memohon terhadap sang adik. Alex menyetujui, karena dia juga tidak memiliki pilihan lain, menemani Ines seperti janji pernah dibuat pada mendiang ibunda Ines, kala ia datang berkunjung pertama kali.Alex sebaik mungkin menjaga Ines, menjadi sahabat dan juga adik, bahkan ia tak segan menjadi layaknya orang tua yang memberikan nasihat pada kakaknya. Tentu hal itu disukai oleh Ines, merasa bahwa dirinya tak lagi sendiri menyongsong kehidupan yang penuh teka-teki ini. Ines pun, kini perlahan membangun keyakinan baru dalam dirinya, tentang alasan hidup dan bahagia. Apa lagi jika bukan tentang lelaki yang sekarang bersamanya di bangku taman, menikmati sejuknya udara malam sembari meneguk ha
David, Max dan Vivian tiba di rumah Ines. Akan tetapi, penjaga menghadang mereka untuk masuk, Max pun membuka kaca jendela dan mengeluarkan kepalanya.“Kami ingin bertemu atasan kalian,” ucap Max.“Maafkan kami sebelumnya, Tuan. Nyonya sudah memperingatkan agar kami tidak mengizinkan siapa pun dari keluarga tuan Damian masuk.” Penjaga membungkuk di samping mobil, Max menoleh pada David dan berganti pada perempuan di belakang.“Tidak bisakah kau menghubungi atasanmu dan mengatakan kedatangan kami lebih dulu? Ada hal penting yang harus kami bicarakan!” ujar David.“Kami mohon maaf, Tuan.” Penjaga tetap pada apa disampaikan sebelumnya.Max berang, mengingat tujuan mereka hadir adalah untuk Damian. Max melepaskan kasar sabuk pengaman, jemari pun mulai bergerak membuka pintu. Namun, Vivian mencegah dengan memegang kuat lengan Max dari belakang.“Biarkan aku yang bicara,” ujar Vivian.“Kau tidak bisa berbicara dengan mereka, biarkan aku yang mengatasi hal ini! Mereka hanya akan paham dengan
David yang mendengar pembicaraan Ines dan Vivian, lekas menghubungi Leon dan memaksa agar menantunya itu mendobrak pintu kamar Damian. Ya, David memang terhubung panggilan suara dengan ponsel Vivian, seperti apa dibisikkan oleh perempuan cantik itu sebelum masuk tadi. David dan Max sanggup mendengarkan jelas, dan bergegas naik ke mobil ketika peringatan Ines mampu membuat kedua mata mereka terbelalak kaget.“Daddy!” seru Vivian begitu keluar dari pagar rumah Ines.“Masuklah, cepat!” teriak Max, mengeluarkan kepala dari kaca jendela terbuka.Perempuan tengah ngos-ngosan itu langsung saja naik ke mobil, dan Max bergegas memacu kecepatan. Vivian terus menyuarakan kegelisahan hatinya, namun dua orang di depan tidak benar-benar mendengarkan. David menghubungi beberapa anak buah Damian di rumah, memerintahkan agar para bodyguard memeriksa sekeliling rumah, memastikan jika Ines tidak menitihkan anak buahnya menghabisi nyawa Damian. Sementara Max, lelaki itu memilih fokus ke jalanan, menamb
“Bisnis yang kalian jalani memang untuk membantu orang-orang tidak mampu, tapi kalian tidak pernah berpikir kalau bisnis kalian juga membunuh banyak nyawa tidak berdosa!” seru David, semakin orang-orang disekitarnya saling pandang. David mengambil ponsel dari saku celana kanannya, menunjukkan bukti-bukti yang telah disimpan selama berbulan-bulan. “Lihatlah! Bukankah ini adalah senjata yang kalian produksi? Kalian tahu ke mana arah senjata-senjata itu? Kalian pernah mencari tahunya?”Damian mengambil ponsel sang daddy, menatap gambar senjata dan memperbesar. Ya, itu memang miliknya dan Leon pun mengakui dalam hati, bersama Max yang turut menatap apa tertera dalam benda pipih pribadi David.“Kau tidak pernah mendengar kalau salah satu anak yayasan Ines telah menjadi korban satu tahun lalu? Kau tidak berpikir bagaimana kalau sampai Ines mengetahui hal itu? Sadarlah, Damian. Kalau kau terus bersama dengan Ines, maka hidup kalian bertiga akan benar-benar hancur. Daddy tidak menjamin kalau
Damian melaju dengan motor hitam sport miliknya, memacu kencang setelah membuat para penjaga di depan bergerak cepat membukakan pagar. Max mengejar dengan motor pengawal, ada yang membuatnya cemas ketika melihat Damian begitu tergesa.Max takut jika akan terjadi keributan, sampai kawannya membantai tanpa perasaan. Max tak lagi memedulikan penutup kepala atau kemeja berantakan menempel pada tubuh. Lelaki itu berupaya keras menemukan jejak Damian, sampai sendirinya dibuat kebingungan ketika sang kawan memasuki sebuah rumah sakit.“Apa yang dilakukannya di sini?” gumam Max lebih dulu, sebelum akhirnya turun dan berlari mengejar langkah Damian yang telah mendahului usai parkir asal.Damian berlari menyisir lorong rumah sakit sembari terhubung panggilan dengan Alex, memberitahukan tentang ruang di mana Ines berada. Itu ada di lantai dasar, dan Damian menggedor pintu terkunci dari dalam.“Buka, atau kuhancurkan pintu ini!” erang Damian, menggunakan telapak tangan untuk memukul kencang pintu
Damian pulang ke rumah untuk membicarakan kepada keluarganya. Damian juga tidak ingin ada salah paham seperti sebelumnya bersama tuduhan mengerikan dilayangkan sang ibunda terhadap Ines.Jalanan diterobos dengan kecepatan, Max pun mengikuti setelah lima menit Damian mendahului tancap gas. Damian lekas masuk ke rumah, di mana keluarganya sedang duduk di ruang tamu menemani Veli bermain.Bocah sudah membuat ruang tamu bak kapal pecah itu, berlari merentangkan tangan ketika melihat Damian kembali. Segera meminta untuk digendong, namun Veli merosot lagi.“Dy, au!” ucap Veli menyumbat lubang hidung dan berlari ke tengah mainannya.“Daddy tidak bau!” jengkel Damian, menarik kausnya dan mencium sendiri aroma tubuh. “Hidungmu yang bermasalah!” omelnya, berjalan ke arah sofa.“Dari mana?” tegur Amanda.Damian sejenak meregangkan otot pinggang, yang memang sudah dirasakan lelah dari sebelum dirinya berkeliaran di jalan tadi.“Mom, Dad. Ines hamil,” ucap Damian mengejutkan tiap orang di ruang ta
Cukup singkat untuk Damian berulah seperti anak kecil hari ini, karena sang istri memaksanya untuk cepat bersiap dan menghadiri pernikahan Alex. Ya, meski sebenarnya Damian ingin sekali dibujuk, tapi sendirinya juga tidak memiliki pilihan lain setelah mengingat nama besar Ines turut dipertaruhkan hari ini.Wajah cemberut tidak bisa dipalsukan dengan senyuman, Damian menggendong putrinya seraya berjalan menemui keluarga besar yang telah bersiap menjadi saksi terucapnya janji suci Alex pada wanita pilihan hatinya sendiri. Orang-orang yang diminta mempersiapkan dokumen pernikahan pun telah menanti di kediaman Ines, bersama pria paruh baya yang akan menikahkan dua insan saling mencinta yang kini tengah dirundung gugup luar biasa.Ines mendekati adiknya bersama Damian, sekadar memeriksa pakaian dari lelaki yang tampak lesi kali ini. Dasi melingkar pada leher Alex dirapikan oleh Ines, berganti kemeja serta jas. Hal itu tentu saja mengundang perhatian semua orang, di samping tanya tentang wa
Ines tersenyum membelai sisi wajah kanan adiknya, kemudian memberikan kecupan paling hangat pada kening sang adik. “Aku merestui setiap kebaikan yang akan kamu lakukan.”Alex membalas senyum semringah, mengangkat sedikit tubuh dan memeluk kakaknya. “Terima kasih banyak, karena sudah bersedia menjadi orang paling berarti dalam hidupku. Terima kasih untuk semua yang sudah kakak berikan padaku, itu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.”“Aku jauh lebih berterima kasih padamu, karena sudah bersedia menerimaku apa adanya dan melindungiku selama ini. Aku sangat menyayangimu, Alex.” Ines menyapu punggung lebar adiknya. “bisakah aku meminta sesuatu darimu?Alex melepaskan pelukan, menatap tanya pada wanita cantik yang turut mengarahkan biji mata terhadap dirinya. “Katakan saja, kalau memang aku bisa untuk memenuhinya, aku akan sangat bahagia.”“Bisakah kamu tinggal di rumah ini meski sudah menikah?” tanya Ines lirih. “Bukan karena aku ingin menguasai, atau memantau kalian. Tapi,
Satu setengah jam berlalu, Damian tiba di kediaman istrinya bersama Leon juga Max. Ketiganya terburu-buru masuk, melihat Alex sudah bergabung dengan lainnya dan terpancing kesal merapatkan gigi kompak.Damian menghampiri istrinya, memeluk dan mencium di hadapan semua orang, lalu mengambil alih tubuh putrinya yang tengah sibuk berusaha memasukkan jari ke mulut.Leon menyapa kedua orang tuanya, di mana Vivian dan Veli sudah bergabung bersama David juga Amanda serta kedua orang tua Max. Arthur pun menjadi bagian dari perbincangan keluarga yang berkumpul tanpa kabar, hingga membingungkan tiga sahabat yang kini saling beradu mata menunjuk siapa yang akan bertanya.“Kami di sini karena mendengar kabar kurang mengenakan!” seru ayah kandung Max, melirik pada Damian.“Aku?” Damian merasa sendiri. “Memangnya ada apa denganku?” bisiknya pada sang istri.“Kamu sudah tidak menganggap kami keluarga, sampai menikah tanpa memberitahu! Haruskah kami mengetahui dari keributan kalian tadi malam?!” tekan
“Kau memang orang paling menyusahkan yang pernah kutemui seumur hidup!” tekan Alex menyiratkan murka dari wajah serta binar mata, lalu pergi meninggalkan ruang di mana kakaknya memperhatikan tanpa berusaha mencegah. Louisa berdiri, hendak menyusul Alex. Akan tetapi, Ines melarang perempuan itu.“Biarkan dia sendiri, dia butuh waktu untuk berpikir. Beberapa hari ini dia sudah banyak tertekan dalam kebingungan, aku minta padamu untuk tidak mengusiknya sekarang.” Ines mengatakan tanpa ekspresi pada Louisa.“Maaf,” pilu Louisa.“Tidak ada yang membutuhkan kata maafmu, jadi simpanlah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf, Louisa. Ucapan yang tidak tepat, hanya akan memunculkan banyak masalah yang tidak perlu. Pelajari hal itu, sebelum kau hanya tahu berkata tanpa berpikir.” Ines menekan meski nadanya cukup tenang. “Duduklah, itu akan jauh lebih baik sekarang.” Ines menghela napas berat, Arthur menyapu punggung keponakannya.“Temani Ellyn, aku akan membantu suamimu dari sini.
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i
Damian menyerahkan telepon genggam masih terhubung dengan Vivian, lelaki di hadapannya tidak langsung menerima. Damian tidak memiliki kesabaran, ia menekan pengeras suara dan menggeletakkan ponsel di atas meja.“Bicaralah, kayu kering pasti mendengarnya!” ujar Damian pada sang kakak.“Alex, tolong aku kali ini saja. Louisa sedang mabuk, dan dia tidak ingin diantar siapa pun. Max dan Leon tidak berani menjemput, mereka takut dihabisi olehmu. Mustahil kalau aku yang pergi, mommy tidak akan mengizinkannya!” cerocos Vivian di ujung panggilan.“Kau memiliki pengawal, minta saja mereka yang menjemput. Aku sedang sibuk,” jawab Alex tanpa menghentikan pena di tangan kanan mencoret-coret dokumen.“Pengawal juga seorang laki-laki, bagaimana kalau mereka kemasukan setan dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Louisa? Ayolah aku mohon, jemput dia sebelum hal buruk terjadi!” Vivian menggebu cemas. “Kalau kamu yang melakukan hal macam-macam tidak masalah, karena kalian saling mencintai! Tapi, berbe
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A