David, Max dan Vivian tiba di rumah Ines. Akan tetapi, penjaga menghadang mereka untuk masuk, Max pun membuka kaca jendela dan mengeluarkan kepalanya.“Kami ingin bertemu atasan kalian,” ucap Max.“Maafkan kami sebelumnya, Tuan. Nyonya sudah memperingatkan agar kami tidak mengizinkan siapa pun dari keluarga tuan Damian masuk.” Penjaga membungkuk di samping mobil, Max menoleh pada David dan berganti pada perempuan di belakang.“Tidak bisakah kau menghubungi atasanmu dan mengatakan kedatangan kami lebih dulu? Ada hal penting yang harus kami bicarakan!” ujar David.“Kami mohon maaf, Tuan.” Penjaga tetap pada apa disampaikan sebelumnya.Max berang, mengingat tujuan mereka hadir adalah untuk Damian. Max melepaskan kasar sabuk pengaman, jemari pun mulai bergerak membuka pintu. Namun, Vivian mencegah dengan memegang kuat lengan Max dari belakang.“Biarkan aku yang bicara,” ujar Vivian.“Kau tidak bisa berbicara dengan mereka, biarkan aku yang mengatasi hal ini! Mereka hanya akan paham dengan
David yang mendengar pembicaraan Ines dan Vivian, lekas menghubungi Leon dan memaksa agar menantunya itu mendobrak pintu kamar Damian. Ya, David memang terhubung panggilan suara dengan ponsel Vivian, seperti apa dibisikkan oleh perempuan cantik itu sebelum masuk tadi. David dan Max sanggup mendengarkan jelas, dan bergegas naik ke mobil ketika peringatan Ines mampu membuat kedua mata mereka terbelalak kaget.“Daddy!” seru Vivian begitu keluar dari pagar rumah Ines.“Masuklah, cepat!” teriak Max, mengeluarkan kepala dari kaca jendela terbuka.Perempuan tengah ngos-ngosan itu langsung saja naik ke mobil, dan Max bergegas memacu kecepatan. Vivian terus menyuarakan kegelisahan hatinya, namun dua orang di depan tidak benar-benar mendengarkan. David menghubungi beberapa anak buah Damian di rumah, memerintahkan agar para bodyguard memeriksa sekeliling rumah, memastikan jika Ines tidak menitihkan anak buahnya menghabisi nyawa Damian. Sementara Max, lelaki itu memilih fokus ke jalanan, menamb
“Bisnis yang kalian jalani memang untuk membantu orang-orang tidak mampu, tapi kalian tidak pernah berpikir kalau bisnis kalian juga membunuh banyak nyawa tidak berdosa!” seru David, semakin orang-orang disekitarnya saling pandang. David mengambil ponsel dari saku celana kanannya, menunjukkan bukti-bukti yang telah disimpan selama berbulan-bulan. “Lihatlah! Bukankah ini adalah senjata yang kalian produksi? Kalian tahu ke mana arah senjata-senjata itu? Kalian pernah mencari tahunya?”Damian mengambil ponsel sang daddy, menatap gambar senjata dan memperbesar. Ya, itu memang miliknya dan Leon pun mengakui dalam hati, bersama Max yang turut menatap apa tertera dalam benda pipih pribadi David.“Kau tidak pernah mendengar kalau salah satu anak yayasan Ines telah menjadi korban satu tahun lalu? Kau tidak berpikir bagaimana kalau sampai Ines mengetahui hal itu? Sadarlah, Damian. Kalau kau terus bersama dengan Ines, maka hidup kalian bertiga akan benar-benar hancur. Daddy tidak menjamin kalau
Damian melaju dengan motor hitam sport miliknya, memacu kencang setelah membuat para penjaga di depan bergerak cepat membukakan pagar. Max mengejar dengan motor pengawal, ada yang membuatnya cemas ketika melihat Damian begitu tergesa.Max takut jika akan terjadi keributan, sampai kawannya membantai tanpa perasaan. Max tak lagi memedulikan penutup kepala atau kemeja berantakan menempel pada tubuh. Lelaki itu berupaya keras menemukan jejak Damian, sampai sendirinya dibuat kebingungan ketika sang kawan memasuki sebuah rumah sakit.“Apa yang dilakukannya di sini?” gumam Max lebih dulu, sebelum akhirnya turun dan berlari mengejar langkah Damian yang telah mendahului usai parkir asal.Damian berlari menyisir lorong rumah sakit sembari terhubung panggilan dengan Alex, memberitahukan tentang ruang di mana Ines berada. Itu ada di lantai dasar, dan Damian menggedor pintu terkunci dari dalam.“Buka, atau kuhancurkan pintu ini!” erang Damian, menggunakan telapak tangan untuk memukul kencang pintu
Damian pulang ke rumah untuk membicarakan kepada keluarganya. Damian juga tidak ingin ada salah paham seperti sebelumnya bersama tuduhan mengerikan dilayangkan sang ibunda terhadap Ines.Jalanan diterobos dengan kecepatan, Max pun mengikuti setelah lima menit Damian mendahului tancap gas. Damian lekas masuk ke rumah, di mana keluarganya sedang duduk di ruang tamu menemani Veli bermain.Bocah sudah membuat ruang tamu bak kapal pecah itu, berlari merentangkan tangan ketika melihat Damian kembali. Segera meminta untuk digendong, namun Veli merosot lagi.“Dy, au!” ucap Veli menyumbat lubang hidung dan berlari ke tengah mainannya.“Daddy tidak bau!” jengkel Damian, menarik kausnya dan mencium sendiri aroma tubuh. “Hidungmu yang bermasalah!” omelnya, berjalan ke arah sofa.“Dari mana?” tegur Amanda.Damian sejenak meregangkan otot pinggang, yang memang sudah dirasakan lelah dari sebelum dirinya berkeliaran di jalan tadi.“Mom, Dad. Ines hamil,” ucap Damian mengejutkan tiap orang di ruang ta
Damian berdiri di balik bangku, selayaknya bodyguard menjaga atasannya. Lelaki itu bahkan tidak melakukan sedikit saja pergerakan, memusatkan perhatian pada sang istri yang tetap diam membiarkan langit berubah menggelap perlahan. Tanpa keduanya sadari, Alex memantau dari kejauhan dengan helaan napas panjang berulang dilakukan. Sampai mata terisi oleh pergerakan dari Ines, barulah Alex berbalik memasuki rumah.Ines berdiri dari bangku, Damian sigap memegangi istrinya untuk membantu. Tidak seperti saat di rumah sakit, Ines membiarkan tangan suaminya menyentuh. Ya, meski pada akhirnya juga tetap dilepaskan ketika kaki sudah berdiri sempurna, dan siap diajak menyisir rerumputan tebal taman. Damian berlaku seperti bayangan, berjalan di balik tubuh istrinya dan berupaya menyelaraskan langkah perlahan. Ines berhenti dan berbalik tubuh, menatap sang suami yang tergesa mengalihkan perhatian ke sisi lain.“Aku mengizinkanmu satu kamar denganku, tapi setelah aku tertidur. Kamu harus keluar dari
Ketiganya sampai di ruang makan, Damian menarik kursi untuk istrinya, tapi Ines justru menarik sendiri kursi untuk dirinya di samping Alex.Damian mengembuskan napas panjang, duduk membanting tubuh dan meneguk segelas air putih sampai tuntas, sembari menatap kesal pada Ines yang memberikan perhatian lebih untuk Alex.“Anak kita menginginkan sesuatu? Ini masih sore, aku bisa mencarikannya. Bukan karena aku lebih cinta pada anak kita dari pada dirimu, tapi aku tidak ingin sampai anak kita keluar air liur. Mommy yang mengatakan hal itu saat Vivian mengandung Veli.” Damian coba mencari perhatian dari istrinya.“Makanlah yang banyak, setelah itu minum vitaminmu.” Ines justru memberikan setengah gelas air sudah dicampur vitamin pada Alex.“Aku berbicara dengan meja?” memelas Damian, melahap makanan dengan bibir mengerucut. “Aku juga belum makan karena banyak berpikir, semalaman belum tidur dan tidak ada yang memberiku perhatian.”Damian mengeluh lirih, tetap saja Ines tidak peduli dan Alex
“Tidak sepenuhnya salah, dan tidak sepenuhnya benar. Segala sesuatu harus bisa kita telaah lebih dulu, dan tidak asal menurut. Bagaimanapun juga, yang mengetahui kebahagiaan seseorang adalah dirinya sendiri, bukan orang lain.” Leon menjawab tenang, Vivian mengangkat kepala menatap suaminya dengan kedua alis mengerut. “Pikirkan saja, apa kamu akan menurut ketika orang tuamu meminta kita bercerai dengan alasan kebahagiaanmu, tanpa ada masalah di antara kita?”“Tentu saja tidak,” sahut Vivian. “Aku menyayangi orang tuaku dan sebisa mungkin menurut asal semua masih dalam kebaikan. Aku juga masih memikirkan setiap apa yang dikatakan orang tuaku selama ini. Kalau itu bertolak belakang dengan hatiku, aku tidak segan untuk menolak.”“Itulah, kita tetap harus memikirkan tentang diri sendiri. Bukan egois, tapi itu adalah cara kita menyayangi diri sendiri. Kita harus tahu apa yang membuat diri kita bahagia, agar tidak ada penyesalan juga kemarahan suatu hari nanti. Paling parah, adalah kebencian