Ines bergegas pergi setelah perbincangan dianggapnya tidak berguna dengan Vivian. Wanita itu menghubungi anak buahnya untuk pergi lebih dulu ke yayasan, dan meminta agar semua lekas menyusul. Damian mendengarkan ketika salah satu bodyguard istrinya berbicara lewat sambungan telepon, dan akhirnya meminta pegawai toko serta pelayan Ines yang ikut, membungkus rapi kado dengan lebih cepat.Ada gejolak hebat dalam batin Damian untuk pergi, namun upaya perlawanan pun turut dilakukan menggunakan logika. Damian. Peringatan serta saran diberikan oleh Alex pun dipaksa ikut serta untuk menekan jiwanya saat ini. Akan tetapi, nyatanya Damian tidak mampu melakukan dengan baik, hingga ia bergegas pergi bersama Veli dan menyambar tangan Vivian, berjalan cepat ke elevator agar kaki lekas sampai di lokasi parkir.“Pergilah sendiri, aku akan membawa Veli pulang. Dia pasti lelah,” ucap Vivian seolah mengerti apa tengah dalam pemikiran Damian. “Aku sudah meminta Leon menjemput kami, sebentar lagi dia akan
Pemikiran-pemikiran itu, tanpa sengaja menikam jiwa Damian dengan sangat dalam. Sesak pun dirasakan dalam penantian di depan yayasan. Sampai satu setengah jam dilalui dengan menumbuhkan segala fakta diciptakan sendiri, Damian memutuskan pergi. Ia tak sanggup jika harus melihat wanita dicintainya keluar bersama lelaki lain, dan mengacuhkannya seolah diri tak pernah mengenal.Kaki diseret oleh Damian menuju mobilnya, wajah tertunduk lesu, seakan-akan tenaga sudah tidak lagi dimiliki olehnya. Damian mengaspal dengan luka hati tersimpan, bulir air mata turun tanpa sengaja membasahi wajah sendunya. Kepala disandarkan Damian pada telapak tangan kanan, menatap ke depan tanpa memiliki fokus terhadap jalanan dihiasi lampu-lampu menyakiti mata dari kendaraan lain.Sampai dada sesak tak mampu ditahan lagi, Damian memutuskan menepi dan menundukkan kepala di atas kemudi. Rasa sakit dirasakan begitu hebat olehnya, air mata pun berurai tanpa diperintahkan. Haruskah ia melepaskan wanita yang sangat d
Adrian menyandarkan punggung, menyilangkan kaki dan bertumpu siku kanan pada sandaran tangan kursi. Pria itu mengusap-usap bagian bawah bibirnya, memperhatikan Ines dengan senyum penuh maksud tersembunyi.Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, setelah kedua telinga Adrian mendengar derap langkah cepat serta suara keributan dari arah pintu utama dijaga oleh pengawal Adrian serta pelayan restoran.“Sial! Apa yang mereka lakukan di sini?!” umpat Adrian, ketika melihat adanya Alex juga Damian berlari mendekat, diikuti oleh dua pengawal.Adrian gusar menyisir ke setiap sudut ruangan, kemudian berdiri dan berlari pergi layaknya pecundang, membiarkan kursi terpental ke lantai. Pengawal pribadi Ines langsung mengejar tanpa perintah, sementara Damian dan Alex mendekati wanita sudah tampak acak-acakan dengan rambut serta pakaian.“Apa yang terjadi denganmu?” cemas Damian membuka lebar kedua mata, memegangi lengan istrinya.Tidak ada jawaban diberikan oleh Ines, ia malah langsung menyerang bib
Alex bungkam, Damian menatap ke arah dokter yang sempat menoleh padanya dengan tatap keraguan. Intuisi Damian mengatakan, bahwa benar ada sebuah rahasia besar yang tengah disembunyikan darinya. Namun, ada sesuatu yang juga menahan dirinya untuk mencari tahu, karena keyakinan lain mengirimkan sinyal bahwa sebentar lagi Damian akan mengetahui sendiri dengan sangat jelas.Damian tenang melipat tangan menelisik dokter yang menjamah tubuh istrinya untuk diperiksa. Sampai semua pemeriksaan berakhir dan dokter berpamitan tanpa meninggalkan kata atau bahkan obat, Damian masih berusaha menerima dalam ketenangan. Alex ikut bersama dokter, untuk mengetahui jenis obat yang telah masuk dalam aliran nadi Ines, juga ingin berbicara empat mata secara leluasa mengenai keadaan dari sang kakak.Damian menarik dalam-dalam udara, membuang perlahan dan melakukan sebanyak tiga kali, demi memancing kedamaian jiwa yang terus dibakar oleh amarah terhadap Adrian—pria yang sudah dicari oleh Leon serta seluruh pe
“Damian!” Alex mendekati kawannya, coba mengendalikan emosi dan mengingatkan siapa yang sedang dihadapi sekarang. Akan tetapi, Damian sudah terlanjur dikuasai amarah dan susah baginya meredakan, sekujur tubuh pun bergetar hebat akan emosi terus saja meluap-luap.“Jaga bicaramu, Ines! Kamu sudah keterlaluan dengan semua ucapan dan pemikiranmu!” Damian menunjuk tegas wanita di hadapannya. “Jangan pernah berani membawa Vivian dan Veli dalam masalah ini!”“Kamu bahkan berani membelanya di hadapanku?! Apa kamu lupa siapa aku, Damian?!” erang Ines, Alex coba menghentikan dengan menyentuh tangan kakaknya.“Aku mohon kendalikan amarahmu,” lirih Alex.“Aku sudah tidak tahan lagi, Alex! Selama ini dia terus saja mengabaikanku dan mementingkan kehidupan pribadinya! Dia selalu mengutamakan Vivian dari pada aku, istrinya! Tapi, dia tidak pernah mau pergi dari hidupku, dan itu menyesakkan!” tutur Ines meluapkan segala isi hati terdalam.“Kalian berdua memang sangat menyedihkan.” Suara Adrian mengis
Ines tertegun tanpa mampu percaya, akan apa dikatakan oleh Damian. Namun, Alex justru bernapa lega di sela telinga menguping bersama Leon juga Max, mengabaikan jasad Adrian yang kini membuat seluruh anak buahnya ingin melenyapkan diri sendiri, tanpa mau diberikan penyiksaan lebih dulu untuk menemui ajal masing-masing. Sementara Damian, lelaki itu berdiri dan menelan saliva, seperti menyesali apa baru saja diucapkan atas dorongan hati terdalam, tanpa terhubung dengan logika lebih dulu.“Vivian adalah kakak kandungku, dan Veli adalah anaknya bersama Leon. Mereka sudah menikah bertahun-tahun, dan Max adalah sahabat baik kami, juga rekan bisnis dan keluarga kami.” Damian menjelaskan apa yang sudah terlanjur disampaikan. “Aku tidak berniat menutupi semua ini, tapi—” ucap Damian terpotong.“Tapi, karena kamu memang merencanakan sesuatu untukku!” erang Ines menyela. “Kalian … kalian semua memiliki tujuan dalam hidupku, dan untuk itulah kalian membangun semua sandiwara ini!”“Kami memang memi
Atas kejadian itu, Damian lebih memilih sendiri dalam kamar, tanpa mengizinkan siapa pun hadir mengusik ketenangan yang coba diciptakan seorang diri. Sementara Ines, wanita itu berusaha menjalani hidup dan menekan lebih banyak rasa sakit. Alex diminta untuk tinggal bersamanya, untuk kali pertama pun Ines memohon terhadap sang adik. Alex menyetujui, karena dia juga tidak memiliki pilihan lain, menemani Ines seperti janji pernah dibuat pada mendiang ibunda Ines, kala ia datang berkunjung pertama kali.Alex sebaik mungkin menjaga Ines, menjadi sahabat dan juga adik, bahkan ia tak segan menjadi layaknya orang tua yang memberikan nasihat pada kakaknya. Tentu hal itu disukai oleh Ines, merasa bahwa dirinya tak lagi sendiri menyongsong kehidupan yang penuh teka-teki ini. Ines pun, kini perlahan membangun keyakinan baru dalam dirinya, tentang alasan hidup dan bahagia. Apa lagi jika bukan tentang lelaki yang sekarang bersamanya di bangku taman, menikmati sejuknya udara malam sembari meneguk ha
David, Max dan Vivian tiba di rumah Ines. Akan tetapi, penjaga menghadang mereka untuk masuk, Max pun membuka kaca jendela dan mengeluarkan kepalanya.“Kami ingin bertemu atasan kalian,” ucap Max.“Maafkan kami sebelumnya, Tuan. Nyonya sudah memperingatkan agar kami tidak mengizinkan siapa pun dari keluarga tuan Damian masuk.” Penjaga membungkuk di samping mobil, Max menoleh pada David dan berganti pada perempuan di belakang.“Tidak bisakah kau menghubungi atasanmu dan mengatakan kedatangan kami lebih dulu? Ada hal penting yang harus kami bicarakan!” ujar David.“Kami mohon maaf, Tuan.” Penjaga tetap pada apa disampaikan sebelumnya.Max berang, mengingat tujuan mereka hadir adalah untuk Damian. Max melepaskan kasar sabuk pengaman, jemari pun mulai bergerak membuka pintu. Namun, Vivian mencegah dengan memegang kuat lengan Max dari belakang.“Biarkan aku yang bicara,” ujar Vivian.“Kau tidak bisa berbicara dengan mereka, biarkan aku yang mengatasi hal ini! Mereka hanya akan paham dengan