Keesokan hari, mentari menyapu pori-pori wajah Damian, menarik lelaki dari balik selimut itu untuk terbangun. Kedua tangan mengusap wajah, lalu meraih ponsel demi mengetahui waktu. Analog dalam benda pipih menunjukkan pukul setengah sembilan, Damian mengitari sekeliling ruangan dengan perhatian perlahan, namun tak ditemukan sang istri yang sudah membuatnya hampir gila semalam.Damian menarik tubuh dari selimut, duduk di tepi ranjang menurunkan kedua kaki. Otot-otot pada tubuh diregangkan olehnya, lalu berjalan mendekati pintu terbuka sedikit. Damian mengusap rambut ke arah belakang, terdengar suara berisik dan lekas ia menghampiri. Senyum diulas tampan, memeluk wanita yang tengah mempersiapkan makanan di dapur.“Aku mencarimu,” parau Damian manja, mencium sisi leher istrinya.“Tidurmu sangat nyenyak, aku tidak tega membangunkan. Segarkan dirimu lebih dulu, setelah itu kita makan.” Ines mengusap sisi wajah suaminya lembut, kemudian berbalik mengurai senyum. “Di depan ada paman, aku aka
Ines dan Arthur mengisi perut bersama, dengan pujian diberikan oleh sang paman yang menganggap bahwa olahan tangan Ines sangat mirip dengan cita rasa dari ibunya dulu. Keakraban terjalin dari keduanya, hingga melupakan adanya seseorang yang duduk dalam gelisah di antara mereka.Siapa lagi jika bukan Damian, lelaki yang tak sanggup menelan apa pun dan sibuk memutar keras otak, demi menggagalkan niat sang istri, mengingat adanya Leon di lokasi sama. Akan tetapi, sedikit saja alasan tak menyapa dalam kepala, Damian gelisah tak karuan.Semua makin menjadi, kala sepasang paman dan keponakan itu telah mengakhiri santap pagi, dan melegakan sejenak perut. Ines membereskan semua alat makan, mengusung ke dalam rumah. Damian mengamati seraya terus menggali kata dalam kepala, diiringi senyum maksud Arthur di dekatnya."Membangun hubungan berdasarkan kebohongan, tidak akan pernah menempatkanmu pada kebahagiaan sesungguhnya. Semua pasti menimbulkan ketakutan, akan kehancuran yang jelas tergambar di
Atas kenekatan gila dilakukan hari itu, Damian mampu menghalau Ines untuk mengintip rahasia yang masih belum dibiarkan terbuka. Bahkan, sampai hari berganti Minggu serta bulan, lelaki itu tetap berupaya mengunci rapat apa yang memang masih ragu untuk diutarakan, seperti saran dari Arthur.Terus saja Damian berpikir dan menimbang, sampai saat di mana ia mendengar sang istri menghubungi Leon dan menjatuhkan titah, agar tangan kanannya itu mencari tahu perihal orang-orang yang dianggapnya sudah banyak membantu tanah kelahirannya.Tentu saja, Damian kelimpungan tak karuan. Keputusan kilat pun dibuat, mendatangi rumah Alex seorang diri dan menawarkan kesepakatan. Alex menyetujui, karena bagaimanapun juga Damian menyimpan fakta kehidupannya. Mereka menyepakati untuk saling menutup rapat, dari wanita yang sesungguhnya telah menaruh kecurigaan hebat.Ya, Ines memang curiga karena Alex selalu berkelit akan tugas diberikan. Terlebih, sang suami jauh lebih sering pulang larut, menyegarkan diri d
27Ines tidak terlalu menggubris lelaki di dekatnya, malah menaikkan tangan kanan menghadang taksi yang dilihatnya dari kejauhan. Tanpa kata atau ekspresi bermakna ditinggalkan, wanita itu memasuki kendaraan berwarna kuning yang berhenti tepat di hadapannya.Adrian tentu saja berusaha mencegah, karena masih sangat ingin berbicara. Akan tetapi, taksi sudah lebih dulu pergi sebelum Adrian berhasil meminta waktu lebih lama. Pria bersepatu pantofel hitam mengilat itu bertolak pinggang, memperhatikan kendaraan yang secepat kilat lenyap dari penglihatan.“Kamu benar-benar wanita yang menarik, dan aku tidak akan menyerah untuk kali ini Ines. Acuhkan saja, aku akan semakin mendekat padamu.” Adrian berkata yakin seorang diri.Adrian kembali ke mobilnya, duduk menyandarkan punggung dan tengkuk. Senyum terukir darinya, mengingat kembali masa di mana ia mengenal Ines untuk kali pertama dan langsung tertarik akan kepribadian dimiliki.Ya, meski tak pernah mendapatkan respons baik dari wanita yang
"Sayang?" memelas Damian. "Kamu bukan singa, tapi kamu kombinasi singa, serigala, harimau, dan semua yang buas.""Ya?!" Ines tersentak."Lihatlah, kamu bahkan membuatku terkejut seperti ini. Bagaimana bisa aku meminta padamu, sementara aku sendiri tidak tahu apakah kamu mencintaiku atau tidak. Kamu tidak pernah mengatakannya padaku selama ini," tutur Damian."Damian?" Ines tak mampu berkata-kata."Kita memang melakukan seperti suami istri, tapi aku tidak tahu apakah kamu menggunakan perasaan atau murni untuk menyembuhkan diri. Itu yang membuatku takut untuk memulai," terang lelaki di balik pintu tersebut. "Tidak bisakah kamu jujur atas perasaanmu padaku? Apa kamu tidak pernah bisa mencintaiku sampai sekarang?"Ines menghela napas panjang dan terpejam. "Sudahlah, kita kembali saja.""Sampai kapan kamu akan menggantungku seperti ini? Aku juga membutuhkan kepastian, bukan hanya berharap tanpa kejelasan. Tidak masalah kalau kamu memang tidak bisa mencintaiku, setidaknya aku mengetahui dan
"Jangan matikan telfonnya, aku butuh mengetahui keadaan istriku!" tekan Damian. "Ada yang mengikuti di belakang, aku akan berusaha menghalangi sebisa mungkin, sampai anak buahku berhasil menyalip!" sambungnya, melirik arah spion.Leon melirik pula pada spion luar, selepas telinga mendengar suara klakson panjang berulang. Ada lampu-lampu kendaraan berkedip, menyempurnakan kekesalan dari pengemudi di balik mobil Damian—lelaki yang sengaja mengambil jalan zig-zag memenuhi aspal dengan kecepatan rendah.Ines merasa ada yang tak beres, ia menemukan mobil sport suaminya tepat di belakang. Mata indahnya pun menangkap kendaraan lain saling berdekatan, bahkan nampak pula ada seseorang di balik kendaraan suaminya mengeluarkan kepala dan memaki. Ines berpaling ke arah Alex, perasaan curiga pun menguat dari wanita pemilik insting tajam tersebut."Ada yang tidak beres dengan mobil ini, dan orang-orang di belakang. Apa mereka mengikuti kita?" ucap Ines seperti apa ada dalam kepalanya.Alex menoleh,
Ines memang terkejut melihat pria berbalut jaket tebal mengekspresikan api dendam juga amarah terhadapnya. Namun, wanita yang menatap ujung lancip benda tajam terarah ke perutnya itu, berubah tenang Daan menarik tinggi ujung bibir kanan."Aku tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuhku dengan sangat mudah," ucap Ines tenang. Akan tetapi, itu mampu menyulut api kemarahan berlebih pada lawan di depannya."Ketenanganmu sangat menjijikkan, Ines Walter! Bawalah semua itu ke neraka!" berang pria bertubuh sedikit berisi tersebut, menggerakkan tangan berisi pisau untuk menghujam Ines.Tidak, Ines tidak membiarkan tubuhnya tersentuh oleh ujung runcing benda tajam mengarah ke perut kirinya. Wanita itu mencegah cepat, memegang pergelangan tangan pria ingin melenyapkan dirinya dengan tangan kiri, lalu memelintir tangan ke sisi kiri dan berhasil menjatuhkan pisau ke jalanan. Pria itu memekik kesakitan, ada pula suara retakan tulang. Namun, Ines justru menghadiahkan bogem mentah bertenaga tepat p
Damian mendengar, namun bersikap acuh dan terus menapaki anak tangga. Ines mengembuskan napas kasar, meletakkan kedua tangan pada pinggang, kemudian pergi menuju elevator dalam rumahnya untuk sampai ke kamar. Alex mendengarkan teriakan, dari dalam kamar ia tersenyum seorang diri.Ines sudah tiba di kamar, memasuki kamar mandi untuk membasuh wajah dan menanggalkan pakaian kotornya. Sesaat ia menatap cermin besar melengkapi wastafel, membongkar ikat rambut dan menggulung tinggi. Ines keluar membawa handuk kecil untuk mengeringkan wajah, berniat ke ruang ganti untuk mengambil pakaian, namun justru dibuat terkejut oleh suara seseorang.“Oh, Tuhan!” seru Damian kaget, begitu pula dengan wanita tengah menepuk-nepuk lembut wajahnya. Damian menoleh ke pintu, juga segala sisi kamar. “Bu—bukankah kamu di bawah?!” Damian membuka lebar-lebar mata, menunjuk sang istri berjarak tak jauh darinya.“Kamu tidak tahu fungsi lift di rumah?” sahut Ines, lawan bicaranya kembali menelusuri pintu dengan mata