Sekitar empat jam berlalu selepas kehadiran Ines di rumah pribadi Damian, wanita itu kini berada di ruang ganti salah satu butik kepercayaannya. Ines mengganti pakaian tadi dikenakan, meminta Damian untuk menunggu di depan, menikmati teh hitam disajikan sembari bermain ponsel.Ines keluar setelah selesai dengan pakaiannya, memberikan dress miliknya pada pegawai butik yang sudah membawakan beberapa pakaian lain telah diminta Ines melalui sambungan telepon. "Kirimkan tagihan ke Alex seperti biasa, dia akan mengurusnya.""Baik, Nyonya." Pegawai wanita dengan tumpukan pakaian di tangan, membungkuk santun.Damian tengah menyesap teh dari cangkir putih tangan kiri, menoleh pada sumber suara dan seketika menyemburkan apa yang sudah digiring masuk dalam rongga mulut. Matanya membeliak sempurna, menatap penampilan dari sang istri yang langsung menautkan kedua alis padanya."Kamu tidak bisa menjaga kebersihan sedikit saja?" protes Ines, seraya mendekati suaminya.Damian tak menjawab, mulut dan
Ines memilih bungkam, tanpa memberikan jaminan apa-apa seperti diminta oleh Damian terhadapnya. Bahkan, sampai berjam-jam mengudara, wanita itu tetap diam menyaksikan keluar jendela, seakan-akan tengah menarik sesuatu untuk hadir dalam angan diselami seorang diri.Damian tidak berani mengusik, hanya mampu memandang dari samping selama perjalanan ditempuh keduanya. Sampai pesawat mendarat dan berganti mobil dipersiapkan oleh Alex, tetap saja lelaki yang mengambil alih kemudi menyisir jalan bebatuan itu hening.Sekedar memberi anggukan, ketika sang istri mengarahkan harus lurus atau belok kanan dan kiri, menelusuri medan terjal ditelusuri sangat hati-hati.Jalan itu hanya mampu menampung satu mobil, ketika berpapasan dengan sepeda pun harus benar-benar menyingkir, sampai roda menginjak gundukan tanah tepi sawah.Tidak ada kepadatan rumah pada daerah dipenuhi hamparan luas sawah juga hijaunya pepohonan rindang. Damian berulang kali harus menegakkan tubuh demi bisa memprediksi muatnya kee
Damian menggandeng tangan istrinya begitu berhasil mengejar, dan menyejajarkan langkah. “Kita pergi berkencan?” tanyanya, memiringkan kepala dan sengaja mendekatkan pada pipi sang istri.Ines mengerutkan hidung, menggelengkan kepala. “Aku sudah berjanji untuk mampir ke rumah nenek yang tadi, jadi kita berkencan besok saja.”“Benarkah?!” semringah Damian, dijawab anggukan wanita di sampingnya. “Oke! Kita pergi ke rumah nenek tadi, setelah itu kita akan menghabiskan waktu bersama,” sambungnya lalu melangkah lebar, mengayun-ayunkan tangan saling menggandeng.Ines melihat dan tersenyum, membiarkan saja suaminya bertingkah seperti anak kecil yang tengah kegirangan karena pinta disetujui. Apa pernah dijanjikan, tak akan mungkin diingkari oleh wanita yang selalu memegang teguh ucapan terlontar.Pernikahan, kebersamaan, dan segala hal yang menyangkut dengan hubungan. Semua itu telah disetujui dengan syarat mengunjungi seseorang lebih dulu, yakni sang ibu.Keduanya menapaki jalanan dengan meny
Baru saja Damian ingin merebahkan tubuh lelahnya, dering ponsel sudah memaki untuk segera diangkat. Damian menghela napas panjang, tatkala melihat nama Leon menghiasi layar, dan malas-malasan menggulir lambang hijau bergoyang-goyang."Apa?" lesu Damian setelah panggilan tersambung."Keluarlah, aku sudah di depan." Si penelepon langsung mengejutkan lelaki yang sekali lagi mengurungkan niat duduk."Ka—kau gila?! Tidak ada yang memintamu datang!" kesal Damian, menekan suara sembari menatap gusar pintu kamar tertutup. "Aduh, dasar sial! Aku sedang berbicara, kenapa dia mematikannya begitu saja?!" umpatnya, ketika tidak mendengar jawaban dan menatap layar sudah tak ada lagi detik panggilan berjalan.Damian melangkah kebingungan, ke kamar atau ke pintu utama. Sampai sesuatu muncul dalam pikiran, lalu menyeringai. "Sayang, aku keluar sebentar. Aku sudah berpamitan, jadi jangan marah nanti," ucap lelaki dengan suara sangat lirih tersebut seraya menatap ke pintu kamar, kemudian menaikkan kedua
"Lakukan saja, jangan banyak bertanya. Tapi, buat sumber air lebih dulu!" jawab Damian.“Aku sudah melakukannya. Kau tidak melihat anak buahmu berkeliaran mencari sumber air di sini?” jawab Leon.“Benarkah? Kenapa kau tidak memberitahuku?” Damian menoleh tegas.“Haruskah?” santai Leon, lalu menyeringai lebar.Damian tertawa kecil, memasuki mobil bersamaan dengan kawannya. Leon memang telah menjatuhkan perintah pada anak buah Damian untuk mencari sumber air, karena mustahil bagi warga menggunakan sungai setelah pencemaran yang pasti akan merusak kesehatan mereka.Cukup banyak jumlah anak buah yang dikerahkan oleh Leon, dan masing-masing telah melaksanakan bagiannya dengan sangat baik. Leon berencana memantau langsung, setelah mengantarkan Damian ke rumah. Rencananya juga, tangan kanan Damian itu akan tinggal sementara dan memastikan keberhasilan titah dilayangkan.“Istriku!” seru Damian, melihat seorang wanita berdiri melipat tangan di depan rumah kayu ditinggalkan tadi. “Ah, sial! Bag
Ines hanya ingin menggoda, namun justru Damian berubah menggila, hingga membuatnya kewalahan. Ines mendorong suaminya dalam napas terengah, membingungkan lelaki yang sudah berada di puncak gairah. Wanita sudah hampir kehabisan napas itu, hanya mampu menatap sang suami sembari terengah-engah juga menelan saliva, membasahi tenggorokan kekeringan."Jangan memintaku untuk menghentikannya," ucap Damian menatap lekat paras cantik menggoda istrinya. "Aku tidak akan berhenti malam ini." Kedua tangan dipergunakan untuk menahan tubuh Ines, menggendongnya di depan dan berjalan menuju kamar. "Damian …." Wanita yang belum mampu menukar oksigen dan karbondioksida teratur tersebut, hendak menyuarakan pinta agar diturunkan, karena sungguh tak nyaman melingkarkan kaki pada pinggang layaknya anak kecil. Akan tetapi, Damian tidak memedulikan dan terus saja memasuki kamar, membaringkan perlahan tubuh sudah teramat ingin dinikmati malam ini. Kaus dibebaskan dari tubuh kekarnya, dan sekali lagi mampu men
Keesokan hari, mentari menyapu pori-pori wajah Damian, menarik lelaki dari balik selimut itu untuk terbangun. Kedua tangan mengusap wajah, lalu meraih ponsel demi mengetahui waktu. Analog dalam benda pipih menunjukkan pukul setengah sembilan, Damian mengitari sekeliling ruangan dengan perhatian perlahan, namun tak ditemukan sang istri yang sudah membuatnya hampir gila semalam.Damian menarik tubuh dari selimut, duduk di tepi ranjang menurunkan kedua kaki. Otot-otot pada tubuh diregangkan olehnya, lalu berjalan mendekati pintu terbuka sedikit. Damian mengusap rambut ke arah belakang, terdengar suara berisik dan lekas ia menghampiri. Senyum diulas tampan, memeluk wanita yang tengah mempersiapkan makanan di dapur.“Aku mencarimu,” parau Damian manja, mencium sisi leher istrinya.“Tidurmu sangat nyenyak, aku tidak tega membangunkan. Segarkan dirimu lebih dulu, setelah itu kita makan.” Ines mengusap sisi wajah suaminya lembut, kemudian berbalik mengurai senyum. “Di depan ada paman, aku aka
Ines dan Arthur mengisi perut bersama, dengan pujian diberikan oleh sang paman yang menganggap bahwa olahan tangan Ines sangat mirip dengan cita rasa dari ibunya dulu. Keakraban terjalin dari keduanya, hingga melupakan adanya seseorang yang duduk dalam gelisah di antara mereka.Siapa lagi jika bukan Damian, lelaki yang tak sanggup menelan apa pun dan sibuk memutar keras otak, demi menggagalkan niat sang istri, mengingat adanya Leon di lokasi sama. Akan tetapi, sedikit saja alasan tak menyapa dalam kepala, Damian gelisah tak karuan.Semua makin menjadi, kala sepasang paman dan keponakan itu telah mengakhiri santap pagi, dan melegakan sejenak perut. Ines membereskan semua alat makan, mengusung ke dalam rumah. Damian mengamati seraya terus menggali kata dalam kepala, diiringi senyum maksud Arthur di dekatnya."Membangun hubungan berdasarkan kebohongan, tidak akan pernah menempatkanmu pada kebahagiaan sesungguhnya. Semua pasti menimbulkan ketakutan, akan kehancuran yang jelas tergambar di