“Itu artinya … kamu membenarkan ucapanku? Kamu sengaja mengirim orang untuk terus mengikutiku, karena kamu cemburu dan takut aku bersama perempuan lain. Benar, begitu?” ucap Damian tanpa memudarkan senyuman.Ines memalingkan wajah malas, mengembuskan napas panjang. “Sudahlah, aku lapar!” seru wanita dengan kedua tangan mendorong tubuh lelaki tengah lengah di atas tubuhnya.Ines berhasil lolos dan segera berdiri, Damian malah membetulkan posisi di ranjang, memiringkan tubuh dan bersandar pada telapak kanan telah dijadikan siku sebagai tumpuan lebih dulu.“Memakanku akan jauh lebih nikmat. Kamu tidak ingin merasakannya?” goda Damian. “Aku memiliki tubuh yang bagus, kamu pasti suka melihatnya.”Ines sudah berjalan ke arah pintu, tak menghiraukan teriakan dari lelaki yang seolah tidak pernah lelah menggoda dirinya. Damian mengulas senyum, menggigit bibir bawah menatap pintu dibiarkan terbuka oleh sang istri.“Ah, aku benar-benar ingin memakannya.” Damian mengubah posisi terlentang, menggu
Beberapa jam berlalu setelah keduanya bersiap dalam ruang berbeda, kini mereka sudah menyisir jalanan. Damian mengemudi untuk istrinya, tanpa ada pengawal mengikuti seperti hari biasa.Berulang kali lelaki berpakaian santai celana pendek di atas lutut itu melirik sang istri, berniat mencegah untuk wanita di sampingnya ikut, namun suara terus saja tertahan tanpa bisa dikeluarkan.Sampai mereka tiba di sebuah rumah yang langsung dibukakan pagarnya, Damian tetap saja terbelenggu dalam rasa cemas. Mobil diparkirkan, lelaki berkaus hitam itu sengaja diam tanpa mematikan mesin lebih dulu.“Rumah siapa ini?” tanya Ines menoleh, setelah mata menelisik bangunan megah di hadapannya. “Bukankah rumah kalian sudah disita? Kalian memiliki rumah lain dan sengaja menyembunyikannya?”“Ini tidak seperti pikiranmu,” jawab Damian lesu. “Ini rumah pribadiku, aku membelinya dengan uangku sendiri.”“Kamu memiliki uang sebanyak itu, lalu kenapa membiarkan keluargamu bangkrut?” tanya kembali wanita berambut c
Vivian tersenyum manja, mengerutkan hidung ke arah David dan memeluk. Ines menarik banyak udara, lalu membuang kasar, diiringi oleh Damian menelan saliva hingga menimbulkan suara dari tenggorokan menyempit. Ines menoleh pada dua orang masih berdiri lekat, kemudian tersenyum tipis dan duduk mendahului.'Aku menyukai senyumannya, tapi kenapa sekarang aku membencinya? Seperti aku ingin dihabisi saja.' Damian berbicara dalam hati, lalu menyusul duduk di samping sang istri.Langkah kaki terdengar mendekat, semua di ruang tamu menatap arah sama. Itu adalah Amanda, wanita berbalut celana kulot pendek sampai lutut berpadu kaus hijau tua, yang langsung duduk melipat kaki dan memiringkan posisi. Seolah-olah, ia enggan melihat wanita berseberangan dengan dirinya, hingga memusatkan perhatian pada dua orang masih setia memaku kaki di lantai sama."Cepatlah, jangan membuang waktuku! Katakan apa yang ingin kau katakan, lalu pergi dari sini!" ucap Amanda sinis. "Aku tidak tahu kenapa pagi yang indah
Sekitar empat jam berlalu selepas kehadiran Ines di rumah pribadi Damian, wanita itu kini berada di ruang ganti salah satu butik kepercayaannya. Ines mengganti pakaian tadi dikenakan, meminta Damian untuk menunggu di depan, menikmati teh hitam disajikan sembari bermain ponsel.Ines keluar setelah selesai dengan pakaiannya, memberikan dress miliknya pada pegawai butik yang sudah membawakan beberapa pakaian lain telah diminta Ines melalui sambungan telepon. "Kirimkan tagihan ke Alex seperti biasa, dia akan mengurusnya.""Baik, Nyonya." Pegawai wanita dengan tumpukan pakaian di tangan, membungkuk santun.Damian tengah menyesap teh dari cangkir putih tangan kiri, menoleh pada sumber suara dan seketika menyemburkan apa yang sudah digiring masuk dalam rongga mulut. Matanya membeliak sempurna, menatap penampilan dari sang istri yang langsung menautkan kedua alis padanya."Kamu tidak bisa menjaga kebersihan sedikit saja?" protes Ines, seraya mendekati suaminya.Damian tak menjawab, mulut dan
Ines memilih bungkam, tanpa memberikan jaminan apa-apa seperti diminta oleh Damian terhadapnya. Bahkan, sampai berjam-jam mengudara, wanita itu tetap diam menyaksikan keluar jendela, seakan-akan tengah menarik sesuatu untuk hadir dalam angan diselami seorang diri.Damian tidak berani mengusik, hanya mampu memandang dari samping selama perjalanan ditempuh keduanya. Sampai pesawat mendarat dan berganti mobil dipersiapkan oleh Alex, tetap saja lelaki yang mengambil alih kemudi menyisir jalan bebatuan itu hening.Sekedar memberi anggukan, ketika sang istri mengarahkan harus lurus atau belok kanan dan kiri, menelusuri medan terjal ditelusuri sangat hati-hati.Jalan itu hanya mampu menampung satu mobil, ketika berpapasan dengan sepeda pun harus benar-benar menyingkir, sampai roda menginjak gundukan tanah tepi sawah.Tidak ada kepadatan rumah pada daerah dipenuhi hamparan luas sawah juga hijaunya pepohonan rindang. Damian berulang kali harus menegakkan tubuh demi bisa memprediksi muatnya kee
Damian menggandeng tangan istrinya begitu berhasil mengejar, dan menyejajarkan langkah. “Kita pergi berkencan?” tanyanya, memiringkan kepala dan sengaja mendekatkan pada pipi sang istri.Ines mengerutkan hidung, menggelengkan kepala. “Aku sudah berjanji untuk mampir ke rumah nenek yang tadi, jadi kita berkencan besok saja.”“Benarkah?!” semringah Damian, dijawab anggukan wanita di sampingnya. “Oke! Kita pergi ke rumah nenek tadi, setelah itu kita akan menghabiskan waktu bersama,” sambungnya lalu melangkah lebar, mengayun-ayunkan tangan saling menggandeng.Ines melihat dan tersenyum, membiarkan saja suaminya bertingkah seperti anak kecil yang tengah kegirangan karena pinta disetujui. Apa pernah dijanjikan, tak akan mungkin diingkari oleh wanita yang selalu memegang teguh ucapan terlontar.Pernikahan, kebersamaan, dan segala hal yang menyangkut dengan hubungan. Semua itu telah disetujui dengan syarat mengunjungi seseorang lebih dulu, yakni sang ibu.Keduanya menapaki jalanan dengan meny
Baru saja Damian ingin merebahkan tubuh lelahnya, dering ponsel sudah memaki untuk segera diangkat. Damian menghela napas panjang, tatkala melihat nama Leon menghiasi layar, dan malas-malasan menggulir lambang hijau bergoyang-goyang."Apa?" lesu Damian setelah panggilan tersambung."Keluarlah, aku sudah di depan." Si penelepon langsung mengejutkan lelaki yang sekali lagi mengurungkan niat duduk."Ka—kau gila?! Tidak ada yang memintamu datang!" kesal Damian, menekan suara sembari menatap gusar pintu kamar tertutup. "Aduh, dasar sial! Aku sedang berbicara, kenapa dia mematikannya begitu saja?!" umpatnya, ketika tidak mendengar jawaban dan menatap layar sudah tak ada lagi detik panggilan berjalan.Damian melangkah kebingungan, ke kamar atau ke pintu utama. Sampai sesuatu muncul dalam pikiran, lalu menyeringai. "Sayang, aku keluar sebentar. Aku sudah berpamitan, jadi jangan marah nanti," ucap lelaki dengan suara sangat lirih tersebut seraya menatap ke pintu kamar, kemudian menaikkan kedua
"Lakukan saja, jangan banyak bertanya. Tapi, buat sumber air lebih dulu!" jawab Damian.“Aku sudah melakukannya. Kau tidak melihat anak buahmu berkeliaran mencari sumber air di sini?” jawab Leon.“Benarkah? Kenapa kau tidak memberitahuku?” Damian menoleh tegas.“Haruskah?” santai Leon, lalu menyeringai lebar.Damian tertawa kecil, memasuki mobil bersamaan dengan kawannya. Leon memang telah menjatuhkan perintah pada anak buah Damian untuk mencari sumber air, karena mustahil bagi warga menggunakan sungai setelah pencemaran yang pasti akan merusak kesehatan mereka.Cukup banyak jumlah anak buah yang dikerahkan oleh Leon, dan masing-masing telah melaksanakan bagiannya dengan sangat baik. Leon berencana memantau langsung, setelah mengantarkan Damian ke rumah. Rencananya juga, tangan kanan Damian itu akan tinggal sementara dan memastikan keberhasilan titah dilayangkan.“Istriku!” seru Damian, melihat seorang wanita berdiri melipat tangan di depan rumah kayu ditinggalkan tadi. “Ah, sial! Bag