“Berhentilah mengatakan apa yang tidak pernah kamu ketahui, Damian! Aku sudah muak mendengar semua ocehanmu!” jerit Ines, menggeser langkah menjauh dan memunggungi.
“Aku memang tidak mengetahui pasti apa yang kamu alami dan rasakan. Tapi, aku hanya tahu bahwa semua usahamu untuk mencintai diri sendiri, adalah kesalahan besar!” beber Damian. “Menghindari apa pun yang pernah membuatmu terluka, justru akan memperparah luka yang sudah ada!”
“Diam, Damian!” Ines menunjuk wajah lelaki sudah mengisi ruang kerjanya dengan suara tinggi.
“Tidak akan pernah!” Damian memperbesar pupil mata. “Air mata, kemarahan, kebencian, luka dan semua emosi yang pernah kamu rasakan, adalah bagian dari hidupmu yang harus kamu cintai, bukan terus menghindari!”
“Lawan semua rasa takut yang ada dalam dirimu, jalani saja hidup ini seperti apa seharusnya. Pernikahan, perasaan, kepercayaan … belajarlah untuk tidak menghindarinya lagi,” tambah Damian. “Apa pun yang sudah terjadi, tidak mungkin bisa kita kembalikan lagi. Termasuk juga—“
“HENTIKAN!” cabik Ines histeris, menutupi kedua telinganya. “Hentikan semuanya, aku mohon pergilah.” Air mata luruh, darinya yang mulai membungkuk tanpa membebaskan telapak tangan dari telinga.
Kata permohonan agar Damian meninggalkan ruangan, semakin pelan disuarakan. Ines menekuk kedua lutut di atas lantai, mengurai tangis semakin menjadi.
Damian terlihat cemas, kaki dilangkahkan olehnya. Namun, itu urung dilakukan setelah pintu diterobos masuk oleh beberapa orang.
Alex—lelaki yang mendapatkan laporan dari bodyguard pribadi Ines akan keributan, sengaja menanti di luar sebelum teriakan histeris menampar pendengaran.
“Jangan menyentuh istriku!” erang Damian tak terima, ketika Alex menyentuh kedua pundak Ines dan membantunya bangkit.
“Usir dia!” titah Alex tajam, pada kedua bodyguard dalam ruang sama.
Pria-pria bertubuh besar itu memegang lengan berotot Damian, berupaya menyeret keluar. Akan tetapi, bukan Damian jika menerima perlakuan begitu saja. Lelaki itu meronta, membebaskan sekuat tenaga tubuhnya, dan menghadiahi bogem mentah pada salah satu pengawal istrinya.
“Beraninya kau menyentuhku!” berang Damian, mendaratkan kepalan tangan sampai lawan terhempas seketika. “Tidak ada yang bisa mengusirku!” susulnya, melakukan aksi tak jauh berbeda pada pria lainnya.
Angin mengirimkan suara keributan ke telinga para karyawan, menumbuhkan keingintahuan besar. Meski, tidak satu pun dari mereka yang berani mengintip, sekedar mendengarkan dengan rasa takut menyelimuti batin perlahan.
Pecahan-pecahan barang mulai terdengar, bahkan pintu terdorong tubuh pun menambah ketakutan semua orang. Damian tidak membebaskan dua pengawal Ines, menghajar brutal dengan kaki serta tangan.
Alex terpancing emosi, mendekati Damian dan menarik kasar pundak lelaki yang sibuk menghujani kepalan tangan pada pengawal. Seketika wajah tampan suami Ines itu disapa oleh Alex, menggunakan bogem mental berkekuatan dahsyat.
“Berhentilah membuat masalah!” maki Alex, memukul wajah Damian dan berhasil membuatnya langsung tumpang.
“Kau … beraninya kau memukulku!” bengis Damian, menatap Alex seraya menyapu tepi bibir kiri menggunakan punggung tangan. “Aku tidak akan pernah mengampunimu!” sambungnya, berdiri menghampiri Alex.
Balasan hendak diberikan, tak diizinkan oleh Alex sama sekali. Kepalan tangan berotot mengarah pada wajah, ditahan oleh orang pilihan Ines tersebut dengan sangat mudah, menggunakan telapak tangannya. Bahkan, Alex memutar tangan Damian sampai tubuh tinggi itu berbalik, kemudian menendang pinggang belakang kencang.
Sontak apa dilakukan oleh Alex berhasil membuat Damian terdorong sampai keluar ruangan, jatuh tengkurap tanpa bisa menghindar. Alex mengayunkan kaki lebar menyusul keluar, menutup terlebih dahulu pintu ruang kerja atasan yang sudah diminta untuk tetap duduk diam.
Alex menekuk lutut di balik punggung Damian, menarik kepala suami atasannya itu melalui kening.
“Aaaargh! Lepaskan aku!” Damian meronta, tapi Alex semakin menarik keningnya sampai kepala menengadah ke arah langit-langit.
“Berhentilah membuat ulah, atau kau tidak akan pernah selamat dari tanganku, Damian. Tidak peduli siapa dirimu sebenarnya, aku bisa menghabisimu dengan sangat mudah, kalau kau terus mengusik kehidupan Ines!” tekan Alex memperingatkan. “Cobalah, kalau kau ingin mengetahui seberapa gila diriku!”
Damian tersentak, akan nada ancaman serius didengar. Tangan Alex pada kening, dipegang pergelangannya dan menarik kuat, sampai lelaki di balik tubuhnya terperosok ke lantai. Damian berhasil mengubah posisi, meletakkan tubuh Alex di bawahnya dan mengapit pinggang dengan kedua lutut.
“Kau … siapa kau sebenarnya?” tanya Damian di tengah napas terengah.
Alex mengulas senyum smirk, tajam mata menatap Damian. “Singa tidak akan pernah menerkam, jika tidak diusik lebih dulu!” ujar Alex, mendorong tubuh Damian dari atasnya.
Alex berdiri angkuh, merapikan kemeja hitam membalut tubuh. Isyarat mata diberikan pada pengawal yang sudah berada di depan pintu ruangan Ines, agar secepatnya melempar Damian dari perusahaan.
Titah dijalankan tanpa suara, mengabaikan erangan meronta dari Damian yang juga sibuk menyemburkan sumpah serapah. Alex menghela napas panjang, membuka pintu dan menemui atasannya.
“Perlu aku menghubungi dokter?” tegur Alex, pada wanita tengah tertunduk di balik meja kerja, memegang kening seraya memijat lembut.
“Tidak perlu.” Ines menjawab singkat.
“Damian adalah kesalahan, saya sudah mengatakan itu berulang kali. Kalau Anda tidak mengusirnya sekarang, maka Anda yang akan terusir dari dunia ini. Pikirkanlah sekali untuk mempertahankannya, karena itu adalah kebodohan!” cerca Alex.
Ines menelan saliva, kepala terasa pusing diangkat olehnya. “Biarkan aku sendiri, Alex.”
“Seperti perintah Anda, Nyonya.” Alex menyetujui begitu saja.
Ines merebahkan punggung ke kursi, jemari kanan memijat-mijat kening terasa ingin pecah. Segala kata diluncurkan Damian, nyatanya mampu membuka kembali luka belum tertutup sempurna. Bayang-bayang menyeramkan yang terus berusaha dilupakan, kembali terputar menggiring suara jerit tangis menyesakkan dada.
Sementara Ines ditemani oleh memori memuakkan, Damian sudah membelah jalanan. Apartemen Vivian dijadikan tujuan, oleh lelaki yang diselimuti oleh amarah begitu besar. Bel ditekan segera terbuka, Damian membanting tubuh ke atas sofa.
“Ada apa lagi denganmu? Bisakah kau berhenti marah-marah, atau kau akan mati sebelum tua.” Vivian berceloteh.
“Diamlah, ambilkan aku minum!” sahut lelaki dengan lengan menutup kening.
“Kau mau bahan bakar? Itu akan bisa membuat bebanmu hilang.” Sebuah suara menyambar, Damian membuka mata untuk memastikan siapa pemiliknya. “Kenapa kau harus jatuh cinta, pada orang yang tidak bisa kau gapai? Itu hanya akan membuatmu gila.”
“Bukankah kau harusnya di kantor? Kenapa kau justru di sini?” tanya Damian, mengetahui Leon yang menyumbangkan kata barusan.
“Bekerja tidak harus di kantor. Aku lebih suka di sini, melihat wajah Vivian.” Leon menarik celana, duduk pada sofa tak jauh dari Damian.
“Berani kau melihatnya, kau akan buta selamanya!” tekan Damian, menaikkan kedua alis dan melebarkan mata.
Leon tersenyum, mengambil secangkir kopi miliknya, lalu menyeruput sedikit. “Alex menghajarmu?”
Damian terkejut, menurunkan lengan dari kening. “Apa kau tahu sesuatu tentang Alex?!”
Leon meletakkan cangkir, melengkungkan bibir ke bawah serta menaikkan kedua pindah. “Alex bukanlah orang yang bisa kau singkirkan dari sisi Ines. Dia bukanlah lawan yang mudah untuk kau hadapi, lihatlah email. Aku sudah mengirimkan semua data tentang Alex, juga bodyguard khusus Ines. Kau akan terkejut saat mengetahui semuanya.”
Damian baru kembali ke rumah sekitar pukul 23.15, usai menenggelamkan diri dalam pekerjaan bersama Leon di apartemen Vivian. Wajah terpasang lelah mengiringi ayunan kaki Damian menyisir teras, memijat-mijat tengkuk terasa kaku dengan jemari kanan.Baru juga beberapa langkah lemas diciptakan, Damian terpaksa berhenti seketika melihat adanya sepasang pantofel mengilat di ambang pintu utama. Kepala sedari tadi menunduk untuk mempermudah mengurut tengkuk, terangkat demi mengetahui siapa pemilik sepatu hitam menghalangi langkah.“Kau tidak tahu sudah pukul berapa, sekarang? Apa kau bekerja seperti ruang gawat darurat?” tegur Damian, begitu menangkap wajah Alex.Suara terdengar tidak mengenakkan, enggan dijawab oleh Alex. Dia lebih memilih untuk melewati tubuh suami atasannya, selepas senyum tipis ditunjukkan kilat.“Aku sedang berbicara denganmu, apa kau tuli?!” protes kencang Damian, menoleh pada lelaki yang sudah siap memasuki mobil telah dibukakan pintunya. “Alex Carter ... apa kau bena
Esok harinya, keinginan Damian untuk libur terpatahkan oleh penolakan tegas sang istri, yang juga menjadi pemimpin atas proyek dikerjakan. Justru, lelaki yang begitu ingin mencurahkan kasih sayang kala pujaan hatinya tengah sakit tersebut, diminta untuk turun langsung ke lokasi proyek.Semua tentu bukan tanpa tujuan, Ines ingin agar tiap pengusaha terlibat mampu melihat keseriusan Damian. Paling tidak, mereka tidak akan meremehkan lagi putra Xander itu, dan membuang keraguan saat ingin menjalin kerja sama.Jalan dibuka lebar oleh Ines, dengan bantuan dari belakang bersama Alex. Janji untuk membangkitkan perusahaan Xander jauh lebih hebat dari sebelumnya, tidak ingin diulur lagi oleh kedua orang yang kini bersama di ruang tengah. “Anda sudah mengatakannya pada Damian?” tanya lelaki yang sengaja datang membawa dokter untuk memeriksa kondisi atasannya tersebut.Ines tidak langsung menjawab, tangan baru diperiksa tekanan darahnya oleh dokter, ditarik perlahan olehnya dan mengusap-usap le
Kalau kau menyayangi mommy, hubungi iblis itu sekarang dan katakan kalau kau ingin berpisah!” ujar David serius.“Tidak!” tegas Damian tanpa berpikir. “Aku tidak akan pernah mengakhiri pernikahanku dengannya, sampai kapan pun! Silakan daddy menganggapku tidak menyayangi mommy, atau mungkin daddy tidak lagi menganggapku anak, terserah! Tapi, jelas aku katakan kalau aku tidak akan pernah meninggalkan istriku, karena aku sangat mencintainya!”“Damian!” seru Leon, menyentuh lengan kawannya demi mengingatkan, siapa tengah dihadapi.Damian cepat mengempaskan tangan Leon. “Aku tidak peduli siapa pun yang kuhadapi, Leon. Entah itu keluargaku atau seluruh dunia ini, tidak ada satu pun yang bisa memaksaku meninggalkannya, kecuali kematian!” yakinnya berucap, tanpa mengalihkan mata tajam dari sang daddy.“Kalau begitu, matilah!” ujar David, menyentak keduanya dalam ruang sama. “Akhiri hidupmu, atau aku yang akan mengakhiri hidupmu. Itu akan jauh lebih baik, dari pada aku harus menerima iblis sep
Damian tak lantas percaya. Flashdisk pada tangan kiri diamati, berganti curiga pada lelaki berekspresi malas di hadapannya. “Kau memiliki tujuan lain?”Max Colton—lelaki yang sengaja membuntuti Damian dan menabrak dari belakang itu, menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi padaku.”“Kalau kau ingin membuatku berhutang budi, ganti mobilku yang sudah kau hancurkan!” balas Damian.“Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi, bukan berhutang uang!” sembur Max. “Kalau kau tidak ingin. Kembalikan saja. Aku pastikan, kalau kau tidak akan pernah mendapatkan informasi apa-apa tentang orang yang membantu orang tuamu!”Max mengulurkan tangan, hendak merampas flashdisk dari tangan Damian. Namun, lebih cepat suami Ines itu memindahkan flashdisk ke dalam saku celana, sembari menatap ke langit-langit tanpa menarik lagi tangan dari kantung celana kiri.“Kalian bertengkar lagi?! Butuh aku nikahkan kalian berdua supaya lebih akur?” Terdengar suara kencang, Max dan Damian men
“Hidup ini hanya tentang waktu. Sepintar apa pun kebohongan dan rahasia tersimpan, suatu saat pasti akan terbuka.” Arthur menekan kedua paha dan berdiri, tanpa melepas pandangan dari Damian. “Manusia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menutupi kebohongan dengan kemanisan, tapi Tuhan hanya membutuhkan hitungan detik untuk membukanya.”Senyum diulas oleh Arthur, mendekati Ines dan memeluk. Damian dibuat terbelalak, lebih-lebih saat pria berkulit sehat nan segar itu mengecup kening Ines, tepat di depan kedua matanya.“Aku akan menghubungimu, cepatlah sehat.” Arthur menyapu lembut rambut Ines, sebelum melangkahkan kaki. “Tidak perlu mengantar, istirahatlah. Hubungi kalau ada apa-apa, tidak perlu sungkan.”“Hm, hati-hati di jalan.” Ines mengangguk.Arthur melewati Damian, sejenak berhenti dan menoleh. Ujung bibir kiri ditarik olehnya, menelisik wajah terkejut beku Damian. “Berhati-hatilah dengan apa yang kau lakukan mulai hari ini, karena aku tidak akan pernah mengampunimu sekali lagi!
Langit sudah menggelap di luar, Ines tetap saja berada di ruang kerja, menenggelamkan diri dengan pekerjaan. Sampai ketukan pintu terdengar dari luar, wanita yang sempat menyegarkan diri dalam ruang sama itu, mempersilakan untuk siapa pun yang mengetuk agar masuk ke dalam.“Maafkan saya sebelumnya, Nyonya. Tapi, di depan ada nyonya Amanda memaksa untuk bertemu. Pengawal masih menahan beliau di depan.” Pelayan menumpuk tangan di depan tubuh, menyampaikan santun tanpa mengangkat pandang.Ines tersenyum tipis, mendengar nama disebutkan oleh asisten rumah tangga. “Biarkan dia masuk!”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Wanita berseragam hitam putih itu berjalan mundur dengan tubuh tetap membungkuk.Ines melihat ke arah jam analog di atas meja kerja, angka sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pahatan senyum diciptakan sekali lagi, lalu mematikan laptop dan merapikan dokumen, memasukkan dalam laci meja kerja, kemudian menguncinya.Seperti perkiraan, Amanda tidak akan pernah bisa mengendalikan d
Leon mengajak Amanda pulang, meski harus berusaha keras bersama Damian. Wanita tengah diselimuti tanya itu enggan meninggalkan putranya, dan menuntut penjelasan. Sekali lagi, Damian berjanji akan mengungkapkan seluruh alasannya tanpa ada ditutupi lagi, memohon pada sang ibunda agar diberi kesempatan menyelesaikan lebih dulu bersama Ines.Amanda terlalu menyayangi putranya, ia menyetujui walau dengan berat hati. Amanda tidak ingin membuat putranya stres, terlebih saat nanti ia sendiri tak bisa menahan murka terhadap Ines, meluapkan segala emosi dan menyeret persoalan di masa lalu.“Baiklah, mommy menunggumu.” Amanda menyentuh lembut sisi wajah putranya.“Thanks, Mom. Love you,” sahut Damian memeluk sang ibu.Damian mengantarkan Amanda dan Leon ke depan, membantu wanita yang sempat meninggalkan lirikan sinis pada Ines itu, masuk dalam mobil. Sejenak ia menantikan di halaman, memastikan lebih dulu jika sport hitam Leon lenyap dari pemantauan.Amanda terus berusaha menangkap wajah putrany
“Itu artinya … kamu membenarkan ucapanku? Kamu sengaja mengirim orang untuk terus mengikutiku, karena kamu cemburu dan takut aku bersama perempuan lain. Benar, begitu?” ucap Damian tanpa memudarkan senyuman.Ines memalingkan wajah malas, mengembuskan napas panjang. “Sudahlah, aku lapar!” seru wanita dengan kedua tangan mendorong tubuh lelaki tengah lengah di atas tubuhnya.Ines berhasil lolos dan segera berdiri, Damian malah membetulkan posisi di ranjang, memiringkan tubuh dan bersandar pada telapak kanan telah dijadikan siku sebagai tumpuan lebih dulu.“Memakanku akan jauh lebih nikmat. Kamu tidak ingin merasakannya?” goda Damian. “Aku memiliki tubuh yang bagus, kamu pasti suka melihatnya.”Ines sudah berjalan ke arah pintu, tak menghiraukan teriakan dari lelaki yang seolah tidak pernah lelah menggoda dirinya. Damian mengulas senyum, menggigit bibir bawah menatap pintu dibiarkan terbuka oleh sang istri.“Ah, aku benar-benar ingin memakannya.” Damian mengubah posisi terlentang, menggu