Bab 7
Damian mengutak-atik ponsel, mencari nomor sang daddy dan langsung menghubungi. Sekedar meminta izin bertemu, tanpa membocorkan niat serta tujuan atas pinta disuarakan.
Pintu lift sudah kembali terbuka, Damian menurunkan posisi topi sebelum keluar. Alunan kaki diciptakan, terhenti begitu ada sesuatu menampar pikiran. Lelaki tengah menjadi pusat perhatian itu, mengulas senyum di balik masker.
Kaki diputar menuju sesuatu yang dianggapnya mampu menjalankan rencana, Damian semakin membuat penasaran setiap mata menyaksikan saksama.
“Aku benci mencintai!” ucapnya pelan, menyisir lantai menuju ruang kerja sang istri.
Pintu hitam tertutup, Damian mengetuk lebih dulu. Pengawal selalu membayangi ruangan Ines dari jarak tak berarti, lekas bergerak untuk menghentikan. Namun, Alex yang lebih dulu melihat suami atasannya, memberi isyarat lewat tangan kanan terangkat.
“Apa lagi yang ingin dilakukan olehnya?” gumam Alex, menyaksikan gelagat Damian sampai memicingkan mata.
Sekretaris pribadi Ines yang sempat mendapat kabar akan kembalinya sang atasan, memang berniat menemui. Akan tetapi, sosok bertubuh tinggi membuat niatnya terhenti. Alex lebih memilih diam memperhatikan, walau sendirinya juga tak pernah mampu mengartikan tentang lelaki selalu dianggapnya kekanakan.
Damian sudah memasuki ruang kerja istrinya, selepas kata izin terdengar empunya ruangan. “Kamu selalu menjaga kebersihan di mana pun?” tegurnya seraya berjalan mendekat, mematai wanita dengan tisu di tangan.
“Aku sudah sampai, jadi pergilah. Jangan terus menggangguku.” Ines acuh, menarik kursi kebesarannya dan duduk.
Bukannya pergi, lelaki yang sudah mempertebal telinga dan hati itu, malah duduk di ujung meja kerja istrinya. Topi, kacamata juga masker dilepaskan, menggeletakkan asal di atas meja telah diramaikan oleh kertas serta map.
“Tanganku terluka, tidak bisakah kamu mengobati dan memberiku tumpangan beristirahat?” memelas Damian, menunjukkan tangan kanan tengah dipegangi pergelangannya.
Ines memindahkan biji mata dari layar laptop, menyaksikan darah segar dari telapak tangan Damian. Ekspresi tenang tidak diubah sama sekali, oleh wanita yang justru bersandar punggung melipat kaki.
“Aku bukan dokter, pergilah ke rumah sakit.” Ines berkata dalam ketenangan, lelaki berada dekat dengan kursinya pun terperanjat.
“Bagaimana bisa kamu setenang itu, setelah melihat tangan suamimu terluka? Istri orang lain sudah pasti akan panik!” protes Damian meninggikan suara, berulang kali menunjukkan tangan berdarah. “Aku benar-benar tidak percaya ini. Bagaimana mungkin ada wanita sedingin dirimu di dunia ini?”
Ines mengembuskan karbondioksida panjang, menarik punggung dan membuka laci kerja. “Ambil ini, obati sendiri di sana. Jangan duduk di mejaku.”
Damian melongo, tatkala kotak obat putih dipindahkan Ines ke meja kerja. Dia menatap terheran, tapi wanita pemilik sorot dingin itu malah berisyarat lewat mata, agar Damian lekas mengambil kotak obat dan menyingkir dari pandangan.
“Tidak perlu! Aku tidak membutuhkannya!” sarkas Damian, melenggang pergi membawa kesal.
Bibir tipis putra Xander itu mengomel tanpa jeda, membanting tubuh kasar pada sofa panjang dalam ruangan. Tentu, setelah jaket dilepas dan sengaja dibuang asal.
Harapan untuk menarik perhatian dari luka disengaja, nyatanya tidak seperti apa dibayangkan. Rasanya percuma, ia sampai memecahkan vas terletak di sudut ruangan tadi, lalu menggenggam pecahan hingga menciptakan luka robek.
“Tidak bisakah kamu melipat jaketmu, dan merapikannya?!” sarkas Ines.
Damian menoleh sekilas, menautkan rambut-rambut tebal di atas mata. Bak anak kecil tengah merajuk karena keinginan tak dituruti, Damian bergerak kasar memunggungi serta mengumpat. “Aku benar-benar bisa gila menghadapinya!”
Ines memata-matai dari tempatnya, sampai hati tergerak untuk mengajak kaki berjalan membawa kotak obat. “Kemarilah, biar aku membersihkan lukamu. Aku tidak suka tempatku kotor dan bau darah,” ucapnya seraya menarik lengan Damian, setelah duduk pada sofa sama.
“Tidak perlu!” sinis lelaki masih betah memunggungi, menarik tangan tanpa bersedia dipegang.
“Aku bukan orang yang akan mengulangi apa pun, Damian!” Ines menekankan, berhasil membuat lelaki yang berharap dibujuk tersebut gelagapan. Tangan secepat kilat dipindahkan ke pangkuan sang istri, mengubah posisi terlentang.
Setiap pahatan diciptakan Tuhan ditelisik hati-hati oleh Damian. Ada sesuatu mendorong dengan sangat kurang ajar, menggiring sekujur tubuh Damian bangkit dari sofa, menyisipkan sela-sela jari pada rambut tergerai istrinya.
Bibir sempat menjadi pelabuhan akhir atas pengamatan, dikecup hangat oleh Damian. Sekedar menempelkan dengan kedua mata terpejam, lelaki itu menahan sejenak hingga dorongan dirasakan pada dada.
“Damian!” sarkas Ines, mengusap bibir dengan punggung tangan kanan. “Berhentilah bersikap kurang ajar padaku, dan sadari posisimu!”
Ines membuang kapas dari tangan, berdiri dan lekas ditarik pergelangannya kuat oleh Damian, sampai tubuh ramping kembali menyapa empuknya sofa.
“Suami yang mencium istrinya sendiri, bukan kurang ajar. Aku bahkan berhak atas seluruh tubuhmu, karena aku adalah suamimu,” ujar Damian.
“Kita hanya menikah kontrak, jangan pernah lupakan itu!” sergah Ines.
“Kamu bisa menganggap pernikahan ini sebagai kontrak. Tapi, ingatlah kalau kita tidak bisa membuat kontrak dengan Tuhan, karena janji yang kita ucapkan saat pernikahan, adalah kesucian di mata Tuhan. Bukankah, janji harus ditepati?” tutur lelaki berwajah serius tersebut. “Aku ingin memiliki anak denganmu, memenuhi janjiku pada Tuhan untuk membahagiakanmu, menjadi suami dan ayah terbaik.”
Ines nanap, menatap lelaki yang mengurai kesungguhan dalam setiap untaian pinta diluncurkan. Sampai detik di mana telinga Ines mendengar teriak tangis histeris, menggiring bayang terputar seolah terjadi di hadapan mata.
“Pergilah!” ucap Ines, berdiri sesegera mungkin.
“Tidak bisakah kamu mendengarkanku sekali saja, tanpa pergi?!” protes Damian, turun dari sofa dan mengejar. “Ines!” tegurnya menyambar lengan, hingga wanita hendak ke meja kerja itu berbalik.
“Lepas!” Ines melotot, menyentak tangan hebat. “Berhentilah melakukan kebodohan dengan berbicara omong kosong, Damian!”
“Membangun rumah tangga dan memiliki anak, bukanlah omong kosong!” sembur Damian. “Itu adalah impian semua orang.”
“Tidak semua orang, Damian! Karena aku tidak membutuhkan semua itu!” bentak Ines menggebu. “Pernikahan, suami bahkan anak, aku tidak membutuhkan semuanya! Ingatlah, aku menikah denganmu hanya karena terpaksa, bukan atas kemauanku sendiri. Kita sama-sama mendapatkan keuntungan!”
“Aku tidak membutuhkan keuntungan apa-apa, aku hanya membutuhkanmu! Kenapa kamu tidak pernah mengerti hal itu sama sekali?!” erang Damian. “Berhenti membohongi diriku sendiri dengan mengatakan tidak butuh suami, atau anak! Kamu membutuhkannya, untuk itulah kamu sering mengunjungi panti asuhan dan bermain dengan anak-anak di sana!”
“Aku tidak membutuhkannya, Damian!” Entah itu suami atau anak, karena aku bisa membahagiakan diriku sendiri! Aku memiliki segalanya, dan aku bisa melakukan apa pun yang aku inginkan!” tegas Ines, menyingkirkan tubuh dari hadapan lawan bicaranya.
“Benarkah?! Lalu, kenapa aku tidak pernah melihatmu bahagia selama ini? Kenapa aku lebih sering melihat matamu bersedih? Kenapa kamu sering menangis saat sendirian di rumah? Kenapa?!” cerca Damian, membungkam telak istrinya. “Di mana uang dan kekuasaanmu, saat kamu minum mengeluh lelah dengan kesendirian?!”
“Berhentilah mengatakan apa yang tidak pernah kamu ketahui, Damian! Aku sudah muak mendengar semua ocehanmu!” jerit Ines, menggeser langkah menjauh dan memunggungi.“Aku memang tidak mengetahui pasti apa yang kamu alami dan rasakan. Tapi, aku hanya tahu bahwa semua usahamu untuk mencintai diri sendiri, adalah kesalahan besar!” beber Damian. “Menghindari apa pun yang pernah membuatmu terluka, justru akan memperparah luka yang sudah ada!”“Diam, Damian!” Ines menunjuk wajah lelaki sudah mengisi ruang kerjanya dengan suara tinggi.“Tidak akan pernah!” Damian memperbesar pupil mata. “Air mata, kemarahan, kebencian, luka dan semua emosi yang pernah kamu rasakan, adalah bagian dari hidupmu yang harus kamu cintai, bukan terus menghindari!”“Lawan semua rasa takut yang ada dalam dirimu, jalani saja hidup ini seperti apa seharusnya. Pernikahan, perasaan, kepercayaan … belajarlah untuk tidak menghindarinya lagi,” tambah Damian. “Apa pun yang sudah terjadi, tidak mungkin bisa kita kembalikan lag
Damian baru kembali ke rumah sekitar pukul 23.15, usai menenggelamkan diri dalam pekerjaan bersama Leon di apartemen Vivian. Wajah terpasang lelah mengiringi ayunan kaki Damian menyisir teras, memijat-mijat tengkuk terasa kaku dengan jemari kanan.Baru juga beberapa langkah lemas diciptakan, Damian terpaksa berhenti seketika melihat adanya sepasang pantofel mengilat di ambang pintu utama. Kepala sedari tadi menunduk untuk mempermudah mengurut tengkuk, terangkat demi mengetahui siapa pemilik sepatu hitam menghalangi langkah.“Kau tidak tahu sudah pukul berapa, sekarang? Apa kau bekerja seperti ruang gawat darurat?” tegur Damian, begitu menangkap wajah Alex.Suara terdengar tidak mengenakkan, enggan dijawab oleh Alex. Dia lebih memilih untuk melewati tubuh suami atasannya, selepas senyum tipis ditunjukkan kilat.“Aku sedang berbicara denganmu, apa kau tuli?!” protes kencang Damian, menoleh pada lelaki yang sudah siap memasuki mobil telah dibukakan pintunya. “Alex Carter ... apa kau bena
Esok harinya, keinginan Damian untuk libur terpatahkan oleh penolakan tegas sang istri, yang juga menjadi pemimpin atas proyek dikerjakan. Justru, lelaki yang begitu ingin mencurahkan kasih sayang kala pujaan hatinya tengah sakit tersebut, diminta untuk turun langsung ke lokasi proyek.Semua tentu bukan tanpa tujuan, Ines ingin agar tiap pengusaha terlibat mampu melihat keseriusan Damian. Paling tidak, mereka tidak akan meremehkan lagi putra Xander itu, dan membuang keraguan saat ingin menjalin kerja sama.Jalan dibuka lebar oleh Ines, dengan bantuan dari belakang bersama Alex. Janji untuk membangkitkan perusahaan Xander jauh lebih hebat dari sebelumnya, tidak ingin diulur lagi oleh kedua orang yang kini bersama di ruang tengah. “Anda sudah mengatakannya pada Damian?” tanya lelaki yang sengaja datang membawa dokter untuk memeriksa kondisi atasannya tersebut.Ines tidak langsung menjawab, tangan baru diperiksa tekanan darahnya oleh dokter, ditarik perlahan olehnya dan mengusap-usap le
Kalau kau menyayangi mommy, hubungi iblis itu sekarang dan katakan kalau kau ingin berpisah!” ujar David serius.“Tidak!” tegas Damian tanpa berpikir. “Aku tidak akan pernah mengakhiri pernikahanku dengannya, sampai kapan pun! Silakan daddy menganggapku tidak menyayangi mommy, atau mungkin daddy tidak lagi menganggapku anak, terserah! Tapi, jelas aku katakan kalau aku tidak akan pernah meninggalkan istriku, karena aku sangat mencintainya!”“Damian!” seru Leon, menyentuh lengan kawannya demi mengingatkan, siapa tengah dihadapi.Damian cepat mengempaskan tangan Leon. “Aku tidak peduli siapa pun yang kuhadapi, Leon. Entah itu keluargaku atau seluruh dunia ini, tidak ada satu pun yang bisa memaksaku meninggalkannya, kecuali kematian!” yakinnya berucap, tanpa mengalihkan mata tajam dari sang daddy.“Kalau begitu, matilah!” ujar David, menyentak keduanya dalam ruang sama. “Akhiri hidupmu, atau aku yang akan mengakhiri hidupmu. Itu akan jauh lebih baik, dari pada aku harus menerima iblis sep
Damian tak lantas percaya. Flashdisk pada tangan kiri diamati, berganti curiga pada lelaki berekspresi malas di hadapannya. “Kau memiliki tujuan lain?”Max Colton—lelaki yang sengaja membuntuti Damian dan menabrak dari belakang itu, menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi padaku.”“Kalau kau ingin membuatku berhutang budi, ganti mobilku yang sudah kau hancurkan!” balas Damian.“Aku hanya ingin membuatmu berhutang budi, bukan berhutang uang!” sembur Max. “Kalau kau tidak ingin. Kembalikan saja. Aku pastikan, kalau kau tidak akan pernah mendapatkan informasi apa-apa tentang orang yang membantu orang tuamu!”Max mengulurkan tangan, hendak merampas flashdisk dari tangan Damian. Namun, lebih cepat suami Ines itu memindahkan flashdisk ke dalam saku celana, sembari menatap ke langit-langit tanpa menarik lagi tangan dari kantung celana kiri.“Kalian bertengkar lagi?! Butuh aku nikahkan kalian berdua supaya lebih akur?” Terdengar suara kencang, Max dan Damian men
“Hidup ini hanya tentang waktu. Sepintar apa pun kebohongan dan rahasia tersimpan, suatu saat pasti akan terbuka.” Arthur menekan kedua paha dan berdiri, tanpa melepas pandangan dari Damian. “Manusia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menutupi kebohongan dengan kemanisan, tapi Tuhan hanya membutuhkan hitungan detik untuk membukanya.”Senyum diulas oleh Arthur, mendekati Ines dan memeluk. Damian dibuat terbelalak, lebih-lebih saat pria berkulit sehat nan segar itu mengecup kening Ines, tepat di depan kedua matanya.“Aku akan menghubungimu, cepatlah sehat.” Arthur menyapu lembut rambut Ines, sebelum melangkahkan kaki. “Tidak perlu mengantar, istirahatlah. Hubungi kalau ada apa-apa, tidak perlu sungkan.”“Hm, hati-hati di jalan.” Ines mengangguk.Arthur melewati Damian, sejenak berhenti dan menoleh. Ujung bibir kiri ditarik olehnya, menelisik wajah terkejut beku Damian. “Berhati-hatilah dengan apa yang kau lakukan mulai hari ini, karena aku tidak akan pernah mengampunimu sekali lagi!
Langit sudah menggelap di luar, Ines tetap saja berada di ruang kerja, menenggelamkan diri dengan pekerjaan. Sampai ketukan pintu terdengar dari luar, wanita yang sempat menyegarkan diri dalam ruang sama itu, mempersilakan untuk siapa pun yang mengetuk agar masuk ke dalam.“Maafkan saya sebelumnya, Nyonya. Tapi, di depan ada nyonya Amanda memaksa untuk bertemu. Pengawal masih menahan beliau di depan.” Pelayan menumpuk tangan di depan tubuh, menyampaikan santun tanpa mengangkat pandang.Ines tersenyum tipis, mendengar nama disebutkan oleh asisten rumah tangga. “Biarkan dia masuk!”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Wanita berseragam hitam putih itu berjalan mundur dengan tubuh tetap membungkuk.Ines melihat ke arah jam analog di atas meja kerja, angka sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pahatan senyum diciptakan sekali lagi, lalu mematikan laptop dan merapikan dokumen, memasukkan dalam laci meja kerja, kemudian menguncinya.Seperti perkiraan, Amanda tidak akan pernah bisa mengendalikan d
Leon mengajak Amanda pulang, meski harus berusaha keras bersama Damian. Wanita tengah diselimuti tanya itu enggan meninggalkan putranya, dan menuntut penjelasan. Sekali lagi, Damian berjanji akan mengungkapkan seluruh alasannya tanpa ada ditutupi lagi, memohon pada sang ibunda agar diberi kesempatan menyelesaikan lebih dulu bersama Ines.Amanda terlalu menyayangi putranya, ia menyetujui walau dengan berat hati. Amanda tidak ingin membuat putranya stres, terlebih saat nanti ia sendiri tak bisa menahan murka terhadap Ines, meluapkan segala emosi dan menyeret persoalan di masa lalu.“Baiklah, mommy menunggumu.” Amanda menyentuh lembut sisi wajah putranya.“Thanks, Mom. Love you,” sahut Damian memeluk sang ibu.Damian mengantarkan Amanda dan Leon ke depan, membantu wanita yang sempat meninggalkan lirikan sinis pada Ines itu, masuk dalam mobil. Sejenak ia menantikan di halaman, memastikan lebih dulu jika sport hitam Leon lenyap dari pemantauan.Amanda terus berusaha menangkap wajah putrany