Detik waktu menggeser menit, bekerja sama mendorong jam berputar. Damian sudah tiba di perusahaan utama Ines, tempat meeting akan dilangsungkan.
Paduan jas hitam, dasi serta kemeja telah melengkapi penampilan Damian. Bersama Leon ia memasuki ruang meeting, dan ternyata beberapa orang sudah lebih dulu menempati ruangan dingin tersebut.
“Wah, lihatlah siapa yang datang. Bukankah, ini pewaris tunggal Xander?” Salah seorang langsung berceloteh, begitu Damian juga tangan kanannya masuk.
“Hahaha, maksudmu ... pewaris hutang Xander?” timpal lainnya.
Damian acuh, pantofel hitam mengilat diajak mendekati kursi telah disediakan untuknya. Wajah-wajah tak suka mengiringi langkah, bisik-bisik pun mulai terdengar bersama lirikan bengis tak jauh berbeda.
“Apa kau datang untuk mengemis sekarang? Atau, kau ingin menawarkan tubuhmu pada nyonya Ines?”
“Hahaha, kau gila? Nyonya Ines sudah memiliki suami, mana mungkin beliau mau berselingkuh dengan gembel sepertinya.”
“Setidaknya, nyonya Ines juga memiliki standar kalau memang ingin berselingkuh. Suaminya seorang yang terhormat, mungkinkah jika dia akan berpaling hanya untuk gelandangan?”
“Benar juga. Dia bahkan dicampakkan oleh calon istrinya, karena miskin.”
“Memalukan!” cibir salah seorang dalam ruangan.
Telinga Damian terus merekam setiap hinaan tertuju padanya. Mata tajam bak elang hendak mencabik buruan pun, dipergunakan mengabsen wajah orang-orang yang sengaja mencemooh, tanpa memandang perasaan.
“Nyonya Ines?” Salah satu pria berkacamata terkejut dan lekas berdiri membungkuk, kala melihat empunya perusahaan memasuki ruangan.
Semua orang menyusul, melakukan hal serupa demi memberikan sapaan hormat mereka. Namun, itu tak dilakukan oleh Damian—lelaki yang menjadi pusat perhatian sekarang.
Leon menepuk pundak Damian, sekedar binar mata malas ditunjukkan, seraya mengembuskan napas.
“Tidak perlu. Duduklah.” Ines menyambar, dia tahu Damian enggan melakukan.
“Aku memang tidak ingin berdiri. Aku bukan bawahanmu, dan tidak perlu membungkuk.” Damian berucap, sukses besar membuat mata semua orang membuntang dengan bibir membentuk lingkaran.
Ines melemparkan karbondioksida kasar, lalu duduk pada kursi keagungannya dengan bantuan Alex. “Langsung saja. Aku tidak memiliki banyak waktu.”
“Baik, Nyonya.” Kompak semua orang menjawab, menempelkan tubuh ke kursi bersamaan.
Suara demi suara mulai terdengar, dari para pemegang saham yang sengaja dihadirkan. Namun, sepertinya Ines terlalu malas untuk terus menyimak, hingga tangan kiri diangkat tinggi untuk menghentikan.
“Cukup. Laporkan semua pada Alex.” Ines memenggal, mengejutkan semua orang.
“Saya sudah membaca proposal Xander, saya putuskan untuk menggandeng Xander dalam proyek kali ini.”
“Y—ya?!” nanap tiap anggota, saling memandang satu sama lain.
“I—itu tidak mungkin, Nyonya Ines. Kita sama-sama tahu, kalau Xander adalah perusahaan bermasalah. Lagi pula, mereka sudah bangkrut sekarang.”
“Ya, itu benar. Pikirkan masa depan perusahaan Anda juga, Nyonya. Bekerja sama dengan perusahaan Xander, adalah kesalahan terbesar yang akan mengancam perusahaan Walter.”
Ines menaikkan pandangan pada pria-pria telah menyumbangkan suara. “Kalian melihat saya butuh nasihat, sekarang?”
“Ti—tidak, Nyonya. Maafkan saya.” Pria-pria tersebut, menurunkan kelopak mata.
“Tidak ada yang membutuhkan suara kalian sama sekali. Meeting ini hanyalah formalitas, agar tidak ada kesalahpahaman di depan.”
“Xander akan berada di bawah naungan Walter mulai hari ini. Siapa pun yang menolak, boleh memutuskan kerja sama dengan Walter.”
Ines mendorong kursi, berdiri dari tempatnya singgah. “Alex akan mendampingi Xander. Dia juga akan menjadi mata dan telinga untuk Walter.”
“Jadi, siapa pun dari kalian yang berani mengusik Xander, akan langsung berhadapan dengan Walter. Kalian pasti tahu, akhir dari melawan Walter.”
“Hanya hitungan detik, kalian akan kehilangan segalanya.”
Ketajaman kata-kata Ines yang tenang, mampu membuat semua orang mendorong saliva dalam tenggorokan menciut. Wanita bercelana panjang kerja krem itu melenggang pergi lebih dulu.
“Saya menolaknya!” tegas seseorang, berdiri tegak menghadap Ines. “Proyek kali ini, juga bekerja sama dengan Colton. Saya secara tegas mengatakan, bahwa tidak akan pernah bergabung dengan Xander.”
Ines berhenti, menoleh dan memandang angkuh. “Bagus. Kita akhiri kerja sama Colton dan Walter.” Wanita berwajah tegas itu, melanjutkan ayunan kaki.
“Tunggu, Nyonya. Bukan itu maksud saya, ta—“ cegah lelaki berperawakan tinggi tersebut, menjangkau pergelangan Ines.
“Jangan pernah menyentuh saya!” bentak kencang Ines, mengibaskan tangan dan sukses menghentikan detak jantung tiap pengusaha dalam tempat sama.
“Jangan pernah berani menyentuh saya, atau Anda akan menyesalinya seumur hidup!” Ines menunjuk wajah lawan bicaranya, mata terpancar kobaran api.
“Ma—“ Kata urung dilanjutkan, pemilik Walter sudah menghilang dari pandangan.
“Ah, aku mencintai keangkuhannya.” Damian bergumam, menahan senyuman.
Keturunan Xander itu terus mengamati Ines, bahkan saat wanita dikenal singa betina tersebut berhasil membekukan setiap orang dihadapi. Seksi. Gambaran terbaik yang mampu diberikan oleh Damian, setiap kali melihat istrinya mengendalikan perusahaan.
“Kau ... jangan pernah kau merasa menang, karena nyonya Ines membelamu. Aku pastikan, kau tidak akan pernah bisa membangun kembali perusahaan Xander!”
“Benarkah? Tapi, sayangnya aku tidak peduli.” Damian tersenyum santai, menaikkan kedua pundaknya.
“Lebih baik, kau berhati-hati dengan tanganmu.” Damian menatap tangan yang tadi sempat dipergunakan menyentuh Ines.
Max terlihat sangat berang, kepalan tangan menguat di samping tubuh, Ya, itu memang Max Colton—lelaki yang membuka hinaan untuk Damian, juga lelaki sama yang melayangkan penolakan terang-terangan kepada Ines Walter.
Damian pergi bersama Leon, setelah lebih dulu Alex memboyong dokumen keluar, tanpa bersedia menyaksikan keributan. ““Berhati-hatilah dengan apa yang kau katakan dan lakukan, Max Colton. Karena maaf tidak pernah berguna dalam hidup ini,” ucapnya sambil menepuk pundak Max.
Beberapa detik kemudian, Max turut menyapu lantai dengan kaki panjangnya. Sengaja ia mempercepat langkah, agar mampu mengejar Damian. Namun, sayangnya tak lagi terlihat si pemilik tubuh gagah yang tadi membuatnya terhina dalam ruangan.
Max melewati dua pintu kaca terbuka otomatis, menuju mobil sport hitam telah disediakan untuknya. Namun, sambutan luar biasa didapatkan, seketika ia keluar dari perusahaan megah Walter.
Punggung Max ada yang mendendang, dan hampir saja berhasil membuatnya tumbang. Beruntung, ada petugas keamanan sigap menahan, hingga Max tidak perlu berkenalan dengan lantai marmer putih Walter.
“Siapa yang ber—“ berang Max terpenggal.
“Aku!” Suara khas bariton menyambar, Max menoleh dan menemukan seseorang melenggang tenang ke arahnya. “Ada masalah?”
“Kau! Beraninya kau menen—“ Sekali lagi makian Max tersendat, kali ini dada ditendang oleh Damian tanpa mengeluarkan kedua tangan dari saku celana.
“Akh!” pekik Max.
Damian mengulas senyum, menaikkan sepatu pantofel mewahnya di atas dada Max. “Berpikirlah ribuan kali untuk membuat masalah denganku, Max Colton.”
“Atau, kau tidak akan pernah selamat dari mautku.”
“Cih!” Max meludah. “Kau hanyalah sampah tidak berguna, Damian! Jangan pernah mengancamku, atau semua akan kembali pada dirimu sendiri!”
“Ah, benarkah? Aku tidak meyakini itu sama sekali.” Damian menjawab tenang, meski kaki diperdalam menekan.
“Kau mengetahui siapa diriku yang sebenarnya, bukan? Jadi, akan lebih baik kalau kau menjaga tingkah dan ucapanmu, karena itu bisa menggali kuburanmu sendiri.”
Meski memperingatkan, Damian tetap menggunakan irama tenang serta senyuman, pada lelaki yang meringis kesakitan di bawahnya. Max bahkan memegangi pergelangan kaki Damian, kala putaran diciptakan menambah kesakitan dari injakan terus diperdalam.“Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Damian! Kau akan menyesal telah melakukan semua ini padaku!”“Kita lihat saja, siapa yang akan menyesal dan tertawa.” Damian tersenyum, mengangkat kakinya. “Kau, atau aku.” Kening Max ditendang, kepala belakang membentur kencang lantai.Damian pergi bersama Leon, begitu tenang seraya merapikan lengan kemeja. Mobil sedan hitam telah terbuka untuknya, siap dipergunakan untuk mengaspal.Sedangkan Max, lelaki itu mengeluhkan rasa sakit teramat. Sekretarisnya mendekat hendak menolong, tapi ditepis kasar. “Kau memang tidak pernah berguna!” maki Max.Max bangkit seorang diri, tanpa membebaskan tangan dari kepala bagian belakang. Mobil sport dinaiki olehnya, meninggalkan pasang-pasang mata menyaksikan tanpa tindakan
Ines mengurungkan niat bekerja, dia menyambar tas tangan dan pergi. Panggilan dibuat pada salah satu anak buahnya, menjatuhkan titah yang harus dikerjakan secepatnya.Elevator dimasuki oleh wanita dengan langkah tergesa tersebut, diketahui oleh Alex yang belum memasuki ruang kerjanya. Alex mengamati dalam mata menyipit, lalu merogoh saku untuk mendapatkan alat komunikasi miliknya.“Ikuti nyonya Ines!” titah dilayangkan tanpa basa-basi.‘Apa dia akan mencari tahu tentang Damian?’ pikir Alex. ‘Tidak. Aku harus melakukan sesuatu!’ tambahnya, menggeser kaki ke ruang kerja tak jauh dari tempatnya berdiri.Ines lebih cepat sampai lokasi parkir khusus, elevator memiliki kecepatan lebih baik dari milik karyawan. Mobil putih dijadikan tujuan, oleh wanita yang tak memperlambat sedikit pun irama langkah.“Tidak ada yang mengikutiku, atau kalian akan tahu akibatnya!”“Kami tidak bisa membiarkan Anda pergi seorang diri, Nyonya.”“Turuti perintahku!” tekan Ines membeliak. “Atau bersiaplah menerima
“Katakan padaku, siapa dirimu dan apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa aku merasa, kalau semua ini sudah direncanakan?” cerca Ines. “Aku tidak berharap kebohongan, Damian. Karena aku tidak akan pernah bisa memaafkannya!” Damian menelan saliva dalam-dalam, berlabuh biji mata ke lantai. Ines menangkap wajah kebingungan, dari lelaki yang perlahan mengendurkan tangan dari perutnya. “Jangan sampai aku yang menemukannya sendiri, karena aku bisa memastikan kalau kamu tidak akan pernah selamat!” ancam Ines sungguh-sungguh. Wanita yang memang tidak pernah lagi ingin mempercayai siapa-siapa itu, bertambah curiga. Terlebih, ketika Damian justru melepaskan dirinya dan menjauh. Semua semakin menjadi, sesaat mata Damian berupaya keras menghindari tatapan diberikan. Hingga denting lift berbunyi, lelaki yang sudah membebaskan tubuh berotot dari jas hitam tersebut, masih saja menjadikan bungkam sebagai pilihan, tanpa pernah menaikkan biji mata dari lantai ruang sempit dinaiki bersama. Ines menghela napa
Bab 7Damian mengutak-atik ponsel, mencari nomor sang daddy dan langsung menghubungi. Sekedar meminta izin bertemu, tanpa membocorkan niat serta tujuan atas pinta disuarakan.Pintu lift sudah kembali terbuka, Damian menurunkan posisi topi sebelum keluar. Alunan kaki diciptakan, terhenti begitu ada sesuatu menampar pikiran. Lelaki tengah menjadi pusat perhatian itu, mengulas senyum di balik masker.Kaki diputar menuju sesuatu yang dianggapnya mampu menjalankan rencana, Damian semakin membuat penasaran setiap mata menyaksikan saksama.“Aku benci mencintai!” ucapnya pelan, menyisir lantai menuju ruang kerja sang istri.Pintu hitam tertutup, Damian mengetuk lebih dulu. Pengawal selalu membayangi ruangan Ines dari jarak tak berarti, lekas bergerak untuk menghentikan. Namun, Alex yang lebih dulu melihat suami atasannya, memberi isyarat lewat tangan kanan terangkat.“Apa lagi yang ingin dilakukan olehnya?” gumam Alex, menyaksikan gelagat Damian sampai memicingkan mata.Sekretaris pribadi Ine
“Berhentilah mengatakan apa yang tidak pernah kamu ketahui, Damian! Aku sudah muak mendengar semua ocehanmu!” jerit Ines, menggeser langkah menjauh dan memunggungi.“Aku memang tidak mengetahui pasti apa yang kamu alami dan rasakan. Tapi, aku hanya tahu bahwa semua usahamu untuk mencintai diri sendiri, adalah kesalahan besar!” beber Damian. “Menghindari apa pun yang pernah membuatmu terluka, justru akan memperparah luka yang sudah ada!”“Diam, Damian!” Ines menunjuk wajah lelaki sudah mengisi ruang kerjanya dengan suara tinggi.“Tidak akan pernah!” Damian memperbesar pupil mata. “Air mata, kemarahan, kebencian, luka dan semua emosi yang pernah kamu rasakan, adalah bagian dari hidupmu yang harus kamu cintai, bukan terus menghindari!”“Lawan semua rasa takut yang ada dalam dirimu, jalani saja hidup ini seperti apa seharusnya. Pernikahan, perasaan, kepercayaan … belajarlah untuk tidak menghindarinya lagi,” tambah Damian. “Apa pun yang sudah terjadi, tidak mungkin bisa kita kembalikan lag
Damian baru kembali ke rumah sekitar pukul 23.15, usai menenggelamkan diri dalam pekerjaan bersama Leon di apartemen Vivian. Wajah terpasang lelah mengiringi ayunan kaki Damian menyisir teras, memijat-mijat tengkuk terasa kaku dengan jemari kanan.Baru juga beberapa langkah lemas diciptakan, Damian terpaksa berhenti seketika melihat adanya sepasang pantofel mengilat di ambang pintu utama. Kepala sedari tadi menunduk untuk mempermudah mengurut tengkuk, terangkat demi mengetahui siapa pemilik sepatu hitam menghalangi langkah.“Kau tidak tahu sudah pukul berapa, sekarang? Apa kau bekerja seperti ruang gawat darurat?” tegur Damian, begitu menangkap wajah Alex.Suara terdengar tidak mengenakkan, enggan dijawab oleh Alex. Dia lebih memilih untuk melewati tubuh suami atasannya, selepas senyum tipis ditunjukkan kilat.“Aku sedang berbicara denganmu, apa kau tuli?!” protes kencang Damian, menoleh pada lelaki yang sudah siap memasuki mobil telah dibukakan pintunya. “Alex Carter ... apa kau bena
Esok harinya, keinginan Damian untuk libur terpatahkan oleh penolakan tegas sang istri, yang juga menjadi pemimpin atas proyek dikerjakan. Justru, lelaki yang begitu ingin mencurahkan kasih sayang kala pujaan hatinya tengah sakit tersebut, diminta untuk turun langsung ke lokasi proyek.Semua tentu bukan tanpa tujuan, Ines ingin agar tiap pengusaha terlibat mampu melihat keseriusan Damian. Paling tidak, mereka tidak akan meremehkan lagi putra Xander itu, dan membuang keraguan saat ingin menjalin kerja sama.Jalan dibuka lebar oleh Ines, dengan bantuan dari belakang bersama Alex. Janji untuk membangkitkan perusahaan Xander jauh lebih hebat dari sebelumnya, tidak ingin diulur lagi oleh kedua orang yang kini bersama di ruang tengah. “Anda sudah mengatakannya pada Damian?” tanya lelaki yang sengaja datang membawa dokter untuk memeriksa kondisi atasannya tersebut.Ines tidak langsung menjawab, tangan baru diperiksa tekanan darahnya oleh dokter, ditarik perlahan olehnya dan mengusap-usap le
Kalau kau menyayangi mommy, hubungi iblis itu sekarang dan katakan kalau kau ingin berpisah!” ujar David serius.“Tidak!” tegas Damian tanpa berpikir. “Aku tidak akan pernah mengakhiri pernikahanku dengannya, sampai kapan pun! Silakan daddy menganggapku tidak menyayangi mommy, atau mungkin daddy tidak lagi menganggapku anak, terserah! Tapi, jelas aku katakan kalau aku tidak akan pernah meninggalkan istriku, karena aku sangat mencintainya!”“Damian!” seru Leon, menyentuh lengan kawannya demi mengingatkan, siapa tengah dihadapi.Damian cepat mengempaskan tangan Leon. “Aku tidak peduli siapa pun yang kuhadapi, Leon. Entah itu keluargaku atau seluruh dunia ini, tidak ada satu pun yang bisa memaksaku meninggalkannya, kecuali kematian!” yakinnya berucap, tanpa mengalihkan mata tajam dari sang daddy.“Kalau begitu, matilah!” ujar David, menyentak keduanya dalam ruang sama. “Akhiri hidupmu, atau aku yang akan mengakhiri hidupmu. Itu akan jauh lebih baik, dari pada aku harus menerima iblis sep
Cukup singkat untuk Damian berulah seperti anak kecil hari ini, karena sang istri memaksanya untuk cepat bersiap dan menghadiri pernikahan Alex. Ya, meski sebenarnya Damian ingin sekali dibujuk, tapi sendirinya juga tidak memiliki pilihan lain setelah mengingat nama besar Ines turut dipertaruhkan hari ini.Wajah cemberut tidak bisa dipalsukan dengan senyuman, Damian menggendong putrinya seraya berjalan menemui keluarga besar yang telah bersiap menjadi saksi terucapnya janji suci Alex pada wanita pilihan hatinya sendiri. Orang-orang yang diminta mempersiapkan dokumen pernikahan pun telah menanti di kediaman Ines, bersama pria paruh baya yang akan menikahkan dua insan saling mencinta yang kini tengah dirundung gugup luar biasa.Ines mendekati adiknya bersama Damian, sekadar memeriksa pakaian dari lelaki yang tampak lesi kali ini. Dasi melingkar pada leher Alex dirapikan oleh Ines, berganti kemeja serta jas. Hal itu tentu saja mengundang perhatian semua orang, di samping tanya tentang wa
Ines tersenyum membelai sisi wajah kanan adiknya, kemudian memberikan kecupan paling hangat pada kening sang adik. “Aku merestui setiap kebaikan yang akan kamu lakukan.”Alex membalas senyum semringah, mengangkat sedikit tubuh dan memeluk kakaknya. “Terima kasih banyak, karena sudah bersedia menjadi orang paling berarti dalam hidupku. Terima kasih untuk semua yang sudah kakak berikan padaku, itu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.”“Aku jauh lebih berterima kasih padamu, karena sudah bersedia menerimaku apa adanya dan melindungiku selama ini. Aku sangat menyayangimu, Alex.” Ines menyapu punggung lebar adiknya. “bisakah aku meminta sesuatu darimu?Alex melepaskan pelukan, menatap tanya pada wanita cantik yang turut mengarahkan biji mata terhadap dirinya. “Katakan saja, kalau memang aku bisa untuk memenuhinya, aku akan sangat bahagia.”“Bisakah kamu tinggal di rumah ini meski sudah menikah?” tanya Ines lirih. “Bukan karena aku ingin menguasai, atau memantau kalian. Tapi,
Satu setengah jam berlalu, Damian tiba di kediaman istrinya bersama Leon juga Max. Ketiganya terburu-buru masuk, melihat Alex sudah bergabung dengan lainnya dan terpancing kesal merapatkan gigi kompak.Damian menghampiri istrinya, memeluk dan mencium di hadapan semua orang, lalu mengambil alih tubuh putrinya yang tengah sibuk berusaha memasukkan jari ke mulut.Leon menyapa kedua orang tuanya, di mana Vivian dan Veli sudah bergabung bersama David juga Amanda serta kedua orang tua Max. Arthur pun menjadi bagian dari perbincangan keluarga yang berkumpul tanpa kabar, hingga membingungkan tiga sahabat yang kini saling beradu mata menunjuk siapa yang akan bertanya.“Kami di sini karena mendengar kabar kurang mengenakan!” seru ayah kandung Max, melirik pada Damian.“Aku?” Damian merasa sendiri. “Memangnya ada apa denganku?” bisiknya pada sang istri.“Kamu sudah tidak menganggap kami keluarga, sampai menikah tanpa memberitahu! Haruskah kami mengetahui dari keributan kalian tadi malam?!” tekan
“Kau memang orang paling menyusahkan yang pernah kutemui seumur hidup!” tekan Alex menyiratkan murka dari wajah serta binar mata, lalu pergi meninggalkan ruang di mana kakaknya memperhatikan tanpa berusaha mencegah. Louisa berdiri, hendak menyusul Alex. Akan tetapi, Ines melarang perempuan itu.“Biarkan dia sendiri, dia butuh waktu untuk berpikir. Beberapa hari ini dia sudah banyak tertekan dalam kebingungan, aku minta padamu untuk tidak mengusiknya sekarang.” Ines mengatakan tanpa ekspresi pada Louisa.“Maaf,” pilu Louisa.“Tidak ada yang membutuhkan kata maafmu, jadi simpanlah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf, Louisa. Ucapan yang tidak tepat, hanya akan memunculkan banyak masalah yang tidak perlu. Pelajari hal itu, sebelum kau hanya tahu berkata tanpa berpikir.” Ines menekan meski nadanya cukup tenang. “Duduklah, itu akan jauh lebih baik sekarang.” Ines menghela napas berat, Arthur menyapu punggung keponakannya.“Temani Ellyn, aku akan membantu suamimu dari sini.
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i
Damian menyerahkan telepon genggam masih terhubung dengan Vivian, lelaki di hadapannya tidak langsung menerima. Damian tidak memiliki kesabaran, ia menekan pengeras suara dan menggeletakkan ponsel di atas meja.“Bicaralah, kayu kering pasti mendengarnya!” ujar Damian pada sang kakak.“Alex, tolong aku kali ini saja. Louisa sedang mabuk, dan dia tidak ingin diantar siapa pun. Max dan Leon tidak berani menjemput, mereka takut dihabisi olehmu. Mustahil kalau aku yang pergi, mommy tidak akan mengizinkannya!” cerocos Vivian di ujung panggilan.“Kau memiliki pengawal, minta saja mereka yang menjemput. Aku sedang sibuk,” jawab Alex tanpa menghentikan pena di tangan kanan mencoret-coret dokumen.“Pengawal juga seorang laki-laki, bagaimana kalau mereka kemasukan setan dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Louisa? Ayolah aku mohon, jemput dia sebelum hal buruk terjadi!” Vivian menggebu cemas. “Kalau kamu yang melakukan hal macam-macam tidak masalah, karena kalian saling mencintai! Tapi, berbe
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A