“Aku tidak sama sepertimu, yang suka memanfaatkan orang lain,” timpal Han.“Apa kamu bilang? Aku memanfaatkan orang lain? Jangan asal bicara!” sungut Indra tidak terima.Han terkekeh kemudian berkata, “Kamu memanfaatkan saudara-saudara Cani untuk membuat hidup Cani tidak tenang.”Wajah Indra berubah tegang. Tak menyangka jika Han mengetahui tabiatnya selama ini. Indra memang masih menyimpan dendam terhadap Cani yang pernah menolaknya mentah-mentah, tanpa memberi Indra kesempatan terlebih dahulu.“Kenapa kamu melakukan hal murahan seperti itu?” tanya Han menatap datar Indra.“Tutup mulutmu, dan berhentilah berbicara omong kosong,” tegas Indra enggan mengakui perbuatannya. Apalagi di hadapan Han yang menurutnya bukan siapa-siapa.“Orang miskin sepertimu tidak layak berbicara lancang denganku,” cerca Indra.Sejujurnya Han ingin tertawa ketika mendapat perlakuan semena-mena dari Indra. Namun Han harus bisa menahan diri. Dan tetap berada di dalam karakter yang tengah ia ciptakan sendiri.
“Aku siap menjadi saksi di pengadilan nanti,” tegas Mbak Melati tanpa ada sedikit pun keraguan.Cani dan Han terdiam, dan saling melempar pandangan. Keduanya tak tahu harus merespons seperti apa.“Maaf, aku baru bisa datang,” ucap Marci tiba-tiba muncul entah dari mana, dan langsung duduk di sebelah Mbak Melati.Kedatangan Marci agaknya membuat Han dan Cani terperanjat kaget.“Kenapa kamu datang? Tidak ada yang mengundangmu,” cibir Han.Cani menyenggol lengan Han sebagai bentuk sebuah teguran untuk Han. Kalimat yang barusan Han lontarkan. Terdengar tidak sopan menurut Cani.“Aku hanya bercanda, Sayang,” lirih Han sambil mengeluarkan ekspresi sedih.“Pak Marci juga ada di sini? Aku nggak nyangka,” kata Cani tersenyum canggung.“Aku bertanggung jawab untuk menjaga Mbak Melati. Jadi, aku akan selalu mendampingi Mbak Melati,” tandas Marci tersenyum lebar.Pernyataan Marci membuat Cani kembali terkejut sekaligus bingung.“Selama ini Pak Marci banyak membantuku. Pak Marci juga yang membayar
Han tak dapat menutupi rasa terkejutnya ketika melihat sosok yang sudah lama tak ia lihat. “Sini! Masuk dulu, Bos.”Orang tersebut membuka pintu mobil dari dalam. Meminta Han untuk masuk. Han pun menuruti. Han masuk ke dalam mobil. Dan membiarkan dirinya dibawa pergi oleh orang itu. “Sudah lama kita tidak berjumpa. Aku sangat merindukanmu,” ucapnya basa-basi. “Apa yang kamu lakukan di sini, Albert?” tanya Han pada lelaki muda yang ternyata bernama Albert.“Apa lagi alasanku kalau bukan karena rindu? Aku ingin melihat wajahmu. Aku pikir kamu sudah menua,” cerocos Albert.Han tahu jika Albert tak menjawab pertanyaannya dengan serius. Maka dari itu, Han tetap menuntut Albert untuk mengatakan yang sesungguhnya.“Baiklah, akan aku katakan yang sebenarnya dari tujuanku berada di sini.” Albert menjeda kalimatnya.“Jangan setengah-setengah kalau mau menjelaskan. Kamu masih saja sama. Tak berubah sama sekali,” cibir Han menegur kebiasaan Albert.Siapakah Albert?“Aku menjalankan bisnis kot
“Boleh ‘kan? Aku tinggal bersama kalian?” tanya Albert agak memaksa. Rahang Han mengeras tanda tidak setuju. “Nyonya Cani. Aku boleh menginap di sini ya. Soalnya aku takut tinggal di hotel.” Albert berfokus pada Cani. Yeah, karena Albert tahu, jika Han tak mungkin menolak keinginan Cani. Sebelumnya, Albert telah diberi tahu oleh Marci tentang Han yang bucin parah. “Loh, kenapa kok takut tinggal di hotel?” tanya Cani bermaksud mengorek alasan Albert. “Katanya, hotel di kota ini banyak yang berhantu. Aku takut banget,” jawab Albert dengan nada yang sengaja dibuat merengek. “Nggak boleh takut sama hantu. Kita sebagai manusia, hanya boleh takut kepada Sang Pencipta,” tutur Cani malah memberi nasihat. “Aku ada trauma! Nyonya Cani tega? Aku ini masih kecil. Aku pasti nggak bisa tidur. Terus nanti bakal sakit. Kalau aku sakit. Ibuku pasti khawatir.”Han tercengang mendengar rayuan maut dari Albert untuk Cani. “Masih kecil?” Cani kebingungan. “Mas Abret sudah besar,” tambahnya. Alb
Di sebuah restoran mewah bergaya Italia. Indra sekali lagi mengajak Marci bertemu. Beruntungnya, Marci bersedia. Padahal Marci sedang sibuk“Aku tak menyangka. Kita bisa bertemu dalam kurun waktu secepat ini,” ujar Indra memulai perbincangan.Marci masih sama seperti biasanya. Selalu menebar senyuman. Marci ini memang doyan tersenyum dalam kondisi apa pun.“Aku dengar, kamu sangat sibuk akhir-akhir ini,” lanjut Indra sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.“Kamu suka memata-matai aku ya?” tuduh Marci.“Bukan memata-matai. Kebetulan, hanya sekedar tahu saja,” sanggah Indra.Nyatanya, Indra memang kerap mengirim anak buahnya untuk mengecek kegiatan, maupun jadwal Marci.Sekarang, Indra sangat terobsesi ingin menjadi teman Marci.“Sepertinya, kamu tahu banyak tentangku,” goda Marci.Indra tertawa kecil untuk menghilangkan suasa canggung yang tiba-tiba muncul.“Hm ... Arancini di restoran ini sangat lezat. Lain kali aku bakal balik lagi buat makan di sini,” cetus Marci memuji hidanga
Kedua alis Cani nengernyit. Merasa bingung dengan ucapan Albert.“Maksudnya? Kamu kenapa, Abret?” tanya Cani. Albert menggelengkan kepalanya. Seperti sedang berusaha menyadarkan diri. Sambil memegang batang hidung, Albert berkata, “Kayaknya aku kurang tidur. Tadi malam nggak bisa tidur.” Malah curhat. “Owalah ... Pantesan ngomongnya ngelantur. Yaudah, mending sekarang kamu tidur. Istirahat dulu. Nanti aku bikinin minuman jahe.” Tanpa rewel, Albert menurut begitu saja. Sampainya di dalam kamar. Albert membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sembari sesekali mengacak rambutnya. “Jantungku kok berdebar terus?” gumam Albert meraba dadanya sendiri. “Pasti gara-gara jarang olahraga. Sial!”Bukannya beristirahat. Albert justru bangkit dari rebahannya. Dan mulai melakukan olahraga ringan di dalam kamar. “Untung kamarnya nggak kecil-kecil amat.”Albert berhenti melakukan push up karena mendengar suara siulan yang berasal dari arah pintu kamar. Albert bangkit, lalu berpindah duduk di atas
“Eh? Waduh, Mas Marci kok gitu? Kaget aku,” ucap Victory terkejut atas pertanyaan Marci. Marci tertawa kecil. Kemudian lanjut berbicara, “Aku hanya bercanda saja.”Seketika itu hati Victory merasa lega, sekaligus agak kecewa. Jujur, Victory memang berharap Marci menyukainya. “Kamu sudah memilih cincin yang kamu suka?” tanya Marci mengalihkan pembicaraan. “Enggak ah ... Aku nggak mau milih cincin sendiri. Mending, Mas Marci yang pilihkan,” kata Victory seperti memberi kode pada Marci. “Mas Marci tadi bikin GR deh,” imbuh Victory tersenyum genit. Dengan sesekali mencubit kecil pundak Marci. Victory berucap, “Aku tunggu cincin pilihan kamu, Mas.”“Wah, kamu pengen dilamar nih?” goda Marci. Masih tersipu malu. Victory menggelengkan kepalanya. “Aku harap. Kamu ngasih kejutan di pertemuan kita selanjutnya,” tutur Victory ngarep diperlakukan spesial oleh Marci. “Sekarang, kita pulang aja, yuk. Aku capek banget,” pinta Victory mengajak Marci pulang. “Baiklah, kita pulang. Padahal aku
“Pindah rumah maksudnya?” tanya Cani kebingungan. Han terdiam karena terlalu ragu mengungkapkan maksud dan tujuannya. “Mas Han ngajak pindah? Mas nggak betah tinggal di sini?” Cani ingin diperjelas. Dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Han menjawab, “Mungkin, kamu ingin tinggal di rumah yang jauh lebih dari ini.”Cani meletakkan alat makannya. Lalu melempar sebuah senyuman kepada Han. “Mas Han tahu nggak? Alasan, kenapa aku nggak rela rumah ini dibeli sama Indra?” ucap Cani. Han tak mau berasumsi. Jadi, dia lebih memilih menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Karena rumah ini milik mendiang ayahku. Aku tahu persis bagaimana perjuangan ayah untuk membangun rumah. Maka dari itu, aku nggak rela kalau rumah ini sampai jatuh ke tangan orang lain. Selain keturunan ayah sendiri.”Penjelasan Cani sudah cukup membuat Han mengerti. “Maaf ya, Mas. Aku nggak mau pindah rumah. Kalau, Mas nggak betah tinggal di sini. Mas bisa ngomong ke aku. Apa yang bikin, Mas nggak betah?” tutur C