Han tak dapat menutupi rasa terkejutnya ketika melihat sosok yang sudah lama tak ia lihat. “Sini! Masuk dulu, Bos.”Orang tersebut membuka pintu mobil dari dalam. Meminta Han untuk masuk. Han pun menuruti. Han masuk ke dalam mobil. Dan membiarkan dirinya dibawa pergi oleh orang itu. “Sudah lama kita tidak berjumpa. Aku sangat merindukanmu,” ucapnya basa-basi. “Apa yang kamu lakukan di sini, Albert?” tanya Han pada lelaki muda yang ternyata bernama Albert.“Apa lagi alasanku kalau bukan karena rindu? Aku ingin melihat wajahmu. Aku pikir kamu sudah menua,” cerocos Albert.Han tahu jika Albert tak menjawab pertanyaannya dengan serius. Maka dari itu, Han tetap menuntut Albert untuk mengatakan yang sesungguhnya.“Baiklah, akan aku katakan yang sebenarnya dari tujuanku berada di sini.” Albert menjeda kalimatnya.“Jangan setengah-setengah kalau mau menjelaskan. Kamu masih saja sama. Tak berubah sama sekali,” cibir Han menegur kebiasaan Albert.Siapakah Albert?“Aku menjalankan bisnis kot
“Boleh ‘kan? Aku tinggal bersama kalian?” tanya Albert agak memaksa. Rahang Han mengeras tanda tidak setuju. “Nyonya Cani. Aku boleh menginap di sini ya. Soalnya aku takut tinggal di hotel.” Albert berfokus pada Cani. Yeah, karena Albert tahu, jika Han tak mungkin menolak keinginan Cani. Sebelumnya, Albert telah diberi tahu oleh Marci tentang Han yang bucin parah. “Loh, kenapa kok takut tinggal di hotel?” tanya Cani bermaksud mengorek alasan Albert. “Katanya, hotel di kota ini banyak yang berhantu. Aku takut banget,” jawab Albert dengan nada yang sengaja dibuat merengek. “Nggak boleh takut sama hantu. Kita sebagai manusia, hanya boleh takut kepada Sang Pencipta,” tutur Cani malah memberi nasihat. “Aku ada trauma! Nyonya Cani tega? Aku ini masih kecil. Aku pasti nggak bisa tidur. Terus nanti bakal sakit. Kalau aku sakit. Ibuku pasti khawatir.”Han tercengang mendengar rayuan maut dari Albert untuk Cani. “Masih kecil?” Cani kebingungan. “Mas Abret sudah besar,” tambahnya. Alb
Di sebuah restoran mewah bergaya Italia. Indra sekali lagi mengajak Marci bertemu. Beruntungnya, Marci bersedia. Padahal Marci sedang sibuk“Aku tak menyangka. Kita bisa bertemu dalam kurun waktu secepat ini,” ujar Indra memulai perbincangan.Marci masih sama seperti biasanya. Selalu menebar senyuman. Marci ini memang doyan tersenyum dalam kondisi apa pun.“Aku dengar, kamu sangat sibuk akhir-akhir ini,” lanjut Indra sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.“Kamu suka memata-matai aku ya?” tuduh Marci.“Bukan memata-matai. Kebetulan, hanya sekedar tahu saja,” sanggah Indra.Nyatanya, Indra memang kerap mengirim anak buahnya untuk mengecek kegiatan, maupun jadwal Marci.Sekarang, Indra sangat terobsesi ingin menjadi teman Marci.“Sepertinya, kamu tahu banyak tentangku,” goda Marci.Indra tertawa kecil untuk menghilangkan suasa canggung yang tiba-tiba muncul.“Hm ... Arancini di restoran ini sangat lezat. Lain kali aku bakal balik lagi buat makan di sini,” cetus Marci memuji hidanga
Kedua alis Cani nengernyit. Merasa bingung dengan ucapan Albert.“Maksudnya? Kamu kenapa, Abret?” tanya Cani. Albert menggelengkan kepalanya. Seperti sedang berusaha menyadarkan diri. Sambil memegang batang hidung, Albert berkata, “Kayaknya aku kurang tidur. Tadi malam nggak bisa tidur.” Malah curhat. “Owalah ... Pantesan ngomongnya ngelantur. Yaudah, mending sekarang kamu tidur. Istirahat dulu. Nanti aku bikinin minuman jahe.” Tanpa rewel, Albert menurut begitu saja. Sampainya di dalam kamar. Albert membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sembari sesekali mengacak rambutnya. “Jantungku kok berdebar terus?” gumam Albert meraba dadanya sendiri. “Pasti gara-gara jarang olahraga. Sial!”Bukannya beristirahat. Albert justru bangkit dari rebahannya. Dan mulai melakukan olahraga ringan di dalam kamar. “Untung kamarnya nggak kecil-kecil amat.”Albert berhenti melakukan push up karena mendengar suara siulan yang berasal dari arah pintu kamar. Albert bangkit, lalu berpindah duduk di atas
“Eh? Waduh, Mas Marci kok gitu? Kaget aku,” ucap Victory terkejut atas pertanyaan Marci. Marci tertawa kecil. Kemudian lanjut berbicara, “Aku hanya bercanda saja.”Seketika itu hati Victory merasa lega, sekaligus agak kecewa. Jujur, Victory memang berharap Marci menyukainya. “Kamu sudah memilih cincin yang kamu suka?” tanya Marci mengalihkan pembicaraan. “Enggak ah ... Aku nggak mau milih cincin sendiri. Mending, Mas Marci yang pilihkan,” kata Victory seperti memberi kode pada Marci. “Mas Marci tadi bikin GR deh,” imbuh Victory tersenyum genit. Dengan sesekali mencubit kecil pundak Marci. Victory berucap, “Aku tunggu cincin pilihan kamu, Mas.”“Wah, kamu pengen dilamar nih?” goda Marci. Masih tersipu malu. Victory menggelengkan kepalanya. “Aku harap. Kamu ngasih kejutan di pertemuan kita selanjutnya,” tutur Victory ngarep diperlakukan spesial oleh Marci. “Sekarang, kita pulang aja, yuk. Aku capek banget,” pinta Victory mengajak Marci pulang. “Baiklah, kita pulang. Padahal aku
“Pindah rumah maksudnya?” tanya Cani kebingungan. Han terdiam karena terlalu ragu mengungkapkan maksud dan tujuannya. “Mas Han ngajak pindah? Mas nggak betah tinggal di sini?” Cani ingin diperjelas. Dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Han menjawab, “Mungkin, kamu ingin tinggal di rumah yang jauh lebih dari ini.”Cani meletakkan alat makannya. Lalu melempar sebuah senyuman kepada Han. “Mas Han tahu nggak? Alasan, kenapa aku nggak rela rumah ini dibeli sama Indra?” ucap Cani. Han tak mau berasumsi. Jadi, dia lebih memilih menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Karena rumah ini milik mendiang ayahku. Aku tahu persis bagaimana perjuangan ayah untuk membangun rumah. Maka dari itu, aku nggak rela kalau rumah ini sampai jatuh ke tangan orang lain. Selain keturunan ayah sendiri.”Penjelasan Cani sudah cukup membuat Han mengerti. “Maaf ya, Mas. Aku nggak mau pindah rumah. Kalau, Mas nggak betah tinggal di sini. Mas bisa ngomong ke aku. Apa yang bikin, Mas nggak betah?” tutur C
Untuk ke sekian kalinya, Marci meminta Indra pergi ke luar kota atas dasar pekerjaan. Indra yang mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat pun tak kuasa menolak.Kepergian Indra membuat Victory leluasa bertemu dengan Marci. Bukankah, memang itu tujuan Marci?Seperti saat ini, mereka berdua kembali bertemu di sebuah Mall. Awalnya Marci berniat ingin menjemput Victory di rumah. Akan tetapi Victory menolak dengan alasan tak ingin ribut dengan Bu Helena, sang ibu tercinta.Alhasil, Marci setuju jika mereka melakukan pertemuan di restoran Mall saja. Ketimbang nantinya ribet.“Nanti sampai malam ya,” pinta Marci pada Victory yang sedang mengenakan lipstik sehabis makan.“Boleh ... Emangnya kita mau ke mana saja sih? Bikin penasaran deh,” jawab Victory tersenyum genit.“Ke mana pun. Ke tempat yang mungkin bisa buat kamu basah, dan ketagihan,” balas Marci tak kalah genit dari Victory.Victory tersipu malu. “Ah, Mas Marci bisa saja.”Marci memperhatikan penampilan Victory yang enak dipandang.
“Jangan macam-macam, Mbak. Nggak usah ikut campur urusan rumah tangga orang lain,” tegas Victory memberi ancaman kepada Cani.Tingkah Victory yang panik. Makin membuat Cani tahu jika adiknya itu tengah main belakang. Cani yang tak takut sama sekali, malah balik mengancam Victory. Dengan menyindir soal kesetiaan seorang istri.“Mbak Cani nuduh aku selingkuhi Mas Indra?” sungut Victory tidak terima.“Loh, aku nggak nuduh kamu, kok. Aku ‘kan cuma bilang kalau istri nggak boleh keluar rumah bareng cowok lain, yang bukan suami,” tukas Cani menjelaskan. Victory menatap Cani dengan tatapan penuh rasa tidak suka.“Siapa juga yang bilang kamu selingkuh? Kamu merasa ta?” celetuk Cani sengaja ingin membuat sang adik kesal.“Kamu ya!”Ketika Victory hendak memukul Cani. Dengan cekatan Marci menarik lengan Victory. Dan meminta Victory untuk tenang. Karena kini mereka tengah menjadi bahan tontonan oleh pengunjung lain.“Kayaknya asyik banget, mengobrolnya. Gimana kalau kita lanjut di kafe saja?”