Share

Bab 7

Mas Andi masih terus bertahan, bahkan dia tetap tenang. Justru aku yang semakin merasa terhina menariknya dengan paksa.

“Mas! Ayo pergi dari sini! Jangan rendahkan dirimu lagi!” teriakku menarik paksa tangan mas Andi.

Entah kekuatan dari mana yang membuatku bisa menarik mas Andi. Kami berjalan menjauh dari Ibu sampai berada di dekat pintu gerbang.

Tiba-tiba, sosok penolongku hadir lagi. Tangan keriput itu menggenggam tangan kiriku.

“Jangan memberontak! Ayo ikut Kakek!" Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak, refleks tubuhku juga mengikuti lagkahnya.

“Ayah!" seru Ibuku dengan suara pelan dan kaku.

Kakek Wicaksono menatap penuh amarah ke arah Ibu. Sontak, membuat Ibu semakin menunduk. Mungkin aku akan menang kali ini, tapi Ibuku tidak mungkin akan semudah itu menerimaku kembali.

“Dasar menantu tidak tau diuntung!” Bentakan itu diikuti tangannya yang melayang di pipi Ibu. Saat itu juga, terlihat membekas merah di pipinya yang putih.

Bahkan matanya menatap tajam ke arahku, seolah tidak terima atas tamparan kakek. Napasnya juga terasa sangat berat. Ibu terlihat geram sampai meneteskan air mata.

“Setuju nggak setuju, mereka akan tinggal di rumah ini!” perintah Kakek denga nada tinggi.

Seperti biasa, bukan Ibu kalau tidak menolak dengan keras. Ibuku mulai membuka suara. Dia mengajukan beberapa persyaratan yang harus kami setujui.

“Ayah ini rumahku, bukan mansionmu,” jawabnya yang membuat Kakek naik pitam lagi, dan hampir menamparnya lagi.

Aku segera mencegahnya. Aku menatap Kakek dan berusaha menahan emosinya. Mataku memohon agar kakek bisa mendengarkan dengan seksama apa yang akan diucapkan Ibuku lagi.

“Semua yang di rumah ini, berlaku peraturanku. Kalau mereka berdua mau tinggal di sini, mereka harus membayar uang sewa setiap bulannya. Mereka juga harus mau mengerjakan semua pekerjaan rumah. Karena semua fasilitas yang mereka nikmati tidak ada yang gratis.”

Aku merasa semakin kecewa. Sebelum aku menikah, saudaraku tidak ada yang diperlakukan seperti ini.

Bahkan mereka juga hidup sesuka hati menikmati semua fasilitas yang ada. Mereka tidak harus melakukan pekerjaan rumah dan membayar sewa.

Sebelum menikah, aku selalu memberikan uang bulanan untuk Ibu. Tapi sekarang, aku tidak bisa menikmati kehidupan yang gratis di rumah ini.

“Kejamnya kamu Ana! Apa semua anak kamu perlakukan seperti ini?” tanya kakek Wicaksono.

“Mereka sudah sangat membanggakan aku. Berbeda dengan menantu yang miskin ini.” Ibu menunjuk mas Andi sambil melotot.

Aku segera meredakan amarah kakek, tapi mas Andi yang buka suara lebih dulu. Sebuah jawaban yang tidak sama dengan pemikiranku saat ini.

“Kami bersedia, Bu. Saya yang akan melakukan semuanya. Asalkan itu bisa membuat Ibu senang, bahkan bisa membuat Inggit kembali ke rumah ini,” ucapnya, wajah mas Andi tetap tenang bahkan dia masih terus tersenyum.

Aku yang melihat sikap suamiku ini, semakin geram. Bahkan aku ingin mengumpatnya. ‘Bodoh, kenapa kamu menerima persyaratan konyol itu? Kamu membuat aku semakin membenci Ibuku, Mas,’ batinku.

“Mas, aku nggak setuju,” bisikku di telinganya.

Dengan lembut dia mengenggam tangan ini erat. Bahkan dia memberikan senyuman yang begitu indah, berharap aku mau menyetujuinya kali ini.

Aku menatap kakek Wicaksono. Pria tua itu juga memberikan mimik wajah yang meyakinkan. Dia ingin aku percaya dengan mas Andi. Hanya saja aku tidak rela jika melihat suamiku akan diperlakukan seperti babu di rumah mertuanya sediri.

Bayangan-bayangan konyol mulai terlintas di kepalaku, teringat semua yang sudah aku lakukan sebelum menikah. Dari memasak, menyiapkan sarapan sampai membersihkan rumah aku lakukan selama ini. Sedangkan Vanya dan Naysila tidak pernah mau membantu sedikitpun. Mereka selalu beralasan megurus anaknya bahkan sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan sosialitanya.

“Huff... baiklah, aku akan menurut kali ini. Tapi suatu saat, jika aku tidak kuat kita segera pindah. Aku mau menabung agar kita bisa pergi dari tempat ini secepatnya.”

Andi memelukku saat itu juga. Dia paham sikap pasrah ku ini membuatku tersiksa.

“Kalian tidur di kamar belakang untuk sementara. Karena, kamarmu saat ini sedang dipakai Vanya. Dia lagi renovasi kamarnya,” ujar Ibuku. Dia meninggalkan kami begitu saja.

Aku yang ingin protes, tapi Kakek menahanku.

“Kakek, bisa nggak sekali saja izinkan aku marah? Sebenarnya Inggit ini siapa, sih?”

Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Wajah Kakek Wicaksono yang berusaha menenangkan emosi ini juga tidak bisa mempengaruhiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status