Mas Andi masih terus bertahan, bahkan dia tetap tenang. Justru aku yang semakin merasa terhina menariknya dengan paksa.
“Mas! Ayo pergi dari sini! Jangan rendahkan dirimu lagi!” teriakku menarik paksa tangan mas Andi. Entah kekuatan dari mana yang membuatku bisa menarik mas Andi. Kami berjalan menjauh dari Ibu sampai berada di dekat pintu gerbang. Tiba-tiba, sosok penolongku hadir lagi. Tangan keriput itu menggenggam tangan kiriku. “Jangan memberontak! Ayo ikut Kakek!" Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak, refleks tubuhku juga mengikuti lagkahnya. “Ayah!" seru Ibuku dengan suara pelan dan kaku. Kakek Wicaksono menatap penuh amarah ke arah Ibu. Sontak, membuat Ibu semakin menunduk. Mungkin aku akan menang kali ini, tapi Ibuku tidak mungkin akan semudah itu menerimaku kembali. “Dasar menantu tidak tau diuntung!” Bentakan itu diikuti tangannya yang melayang di pipi Ibu. Saat itu juga, terlihat membekas merah di pipinya yang putih. Bahkan matanya menatap tajam ke arahku, seolah tidak terima atas tamparan kakek. Napasnya juga terasa sangat berat. Ibu terlihat geram sampai meneteskan air mata. “Setuju nggak setuju, mereka akan tinggal di rumah ini!” perintah Kakek denga nada tinggi. Seperti biasa, bukan Ibu kalau tidak menolak dengan keras. Ibuku mulai membuka suara. Dia mengajukan beberapa persyaratan yang harus kami setujui. “Ayah ini rumahku, bukan mansionmu,” jawabnya yang membuat Kakek naik pitam lagi, dan hampir menamparnya lagi. Aku segera mencegahnya. Aku menatap Kakek dan berusaha menahan emosinya. Mataku memohon agar kakek bisa mendengarkan dengan seksama apa yang akan diucapkan Ibuku lagi. “Semua yang di rumah ini, berlaku peraturanku. Kalau mereka berdua mau tinggal di sini, mereka harus membayar uang sewa setiap bulannya. Mereka juga harus mau mengerjakan semua pekerjaan rumah. Karena semua fasilitas yang mereka nikmati tidak ada yang gratis.” Aku merasa semakin kecewa. Sebelum aku menikah, saudaraku tidak ada yang diperlakukan seperti ini. Bahkan mereka juga hidup sesuka hati menikmati semua fasilitas yang ada. Mereka tidak harus melakukan pekerjaan rumah dan membayar sewa. Sebelum menikah, aku selalu memberikan uang bulanan untuk Ibu. Tapi sekarang, aku tidak bisa menikmati kehidupan yang gratis di rumah ini. “Kejamnya kamu Ana! Apa semua anak kamu perlakukan seperti ini?” tanya kakek Wicaksono. “Mereka sudah sangat membanggakan aku. Berbeda dengan menantu yang miskin ini.” Ibu menunjuk mas Andi sambil melotot. Aku segera meredakan amarah kakek, tapi mas Andi yang buka suara lebih dulu. Sebuah jawaban yang tidak sama dengan pemikiranku saat ini. “Kami bersedia, Bu. Saya yang akan melakukan semuanya. Asalkan itu bisa membuat Ibu senang, bahkan bisa membuat Inggit kembali ke rumah ini,” ucapnya, wajah mas Andi tetap tenang bahkan dia masih terus tersenyum. Aku yang melihat sikap suamiku ini, semakin geram. Bahkan aku ingin mengumpatnya. ‘Bodoh, kenapa kamu menerima persyaratan konyol itu? Kamu membuat aku semakin membenci Ibuku, Mas,’ batinku. “Mas, aku nggak setuju,” bisikku di telinganya. Dengan lembut dia mengenggam tangan ini erat. Bahkan dia memberikan senyuman yang begitu indah, berharap aku mau menyetujuinya kali ini. Aku menatap kakek Wicaksono. Pria tua itu juga memberikan mimik wajah yang meyakinkan. Dia ingin aku percaya dengan mas Andi. Hanya saja aku tidak rela jika melihat suamiku akan diperlakukan seperti babu di rumah mertuanya sediri. Bayangan-bayangan konyol mulai terlintas di kepalaku, teringat semua yang sudah aku lakukan sebelum menikah. Dari memasak, menyiapkan sarapan sampai membersihkan rumah aku lakukan selama ini. Sedangkan Vanya dan Naysila tidak pernah mau membantu sedikitpun. Mereka selalu beralasan megurus anaknya bahkan sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan sosialitanya. “Huff... baiklah, aku akan menurut kali ini. Tapi suatu saat, jika aku tidak kuat kita segera pindah. Aku mau menabung agar kita bisa pergi dari tempat ini secepatnya.” Andi memelukku saat itu juga. Dia paham sikap pasrah ku ini membuatku tersiksa. “Kalian tidur di kamar belakang untuk sementara. Karena, kamarmu saat ini sedang dipakai Vanya. Dia lagi renovasi kamarnya,” ujar Ibuku. Dia meninggalkan kami begitu saja. Aku yang ingin protes, tapi Kakek menahanku. “Kakek, bisa nggak sekali saja izinkan aku marah? Sebenarnya Inggit ini siapa, sih?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Wajah Kakek Wicaksono yang berusaha menenangkan emosi ini juga tidak bisa mempengaruhiku."Pokoknya, aku nggak mau, Bu!” Aku menolak permintaan Ibuku. Wajah Ibu menjadi merah padam. Dia kesal sekali saat mendengar penolakanku dengan nada tinggi. Ibuku bernama Ana Rahma dan ayahku bernama Delano Wicaksono. Aku sedang berada di ruang tamu bersama mereka membahas masalah perjodohan yang tidak aku inginkan. “Kamu mau buat keluarga Wicaksono malu? Status Arga Dwiguna memang duda, tapi dia kaya raya. Bahkan kalo kamu mau nikah sama dia, kamu bisa lepas dari cap perawan tua!” Suara Ibu semakin meninggi sehingga membuatku kesal, bahkan kali ini aku seperti ingin kabur saja. Namaku Inggit Garnasih Wicaksono, 23 tahun. Aku berasal dari keluarga bangsawan kasta tertinggi nomor empat di negara Dogestan. Aku adalah putri ke-3 dari empat bersaudara. Karena kebiasaan di kotaku yang mengutamakan kasta, hal itulah yang memicu keributan di pagi hari ini. “Dengar baik-baik, Inggit! Hari ini Arga melamar kamu. Jadi, jangan buat malu!" pinta Ibu lagi tanpa memedulikan perasaanku.
Hari yang kutunggu tiba. Pagi ini, perasaanku gelisah, tetapi aku antusias.“Sumpah! Hari ini aku nikah! Rasanya masih nggak percaya!” pekikku, antara senang, bingung atau mungkin hambar.Aku dan kedua orang tuaku sudah sampai di mansion keluarga Wicaksono. Aku memakai gaun pengantin milik Ibu. Yaitu gaun pengantin berwarna putih dengan brokat burung Phoenix. Gaun ini begitu cocok dengan tubuhku yang ramping.Sejak pernikahan Vanya adikku satu tahun yang lalu, predikat perawan tua sudah sangat melekat di hidupku. Setiap pertemuan keluarga, selalu saja ada yang bertanya, kapan nikah? Sudah punya pacar belum? Ingin rasanya aku menyumpal mulut mereka dengan tisu toilet. Aku sudah berada di ruang tamu, tetapi orang tuaku masih berada di luar menyapa kerabat yang lain. Aku melihat Kakek tersenyum padaku. Lalu, aku duduk berseberangan dengan Kakek. “Inggit sayang, ini Andi Hermawan." Kakek memperkenalkanku pada calon suamiku. Lalu, aku melihat Kakek tersenyum pada Andi. "Andi, ini Inggit
Walaupun aku pasrah, mengikuti kemauan ibu membuatku sedikit bersedih. Sebenarnya, aku tidak mempermasalahkan asal-usul Andi. Aku juga tidak mempermasalahkan dia miskin ataupun kaya raya!Hanya saja, Ibu tidak mau kami menjadi bahan lelucon bagi keluarga besar keluarga Wicaksono. Ibu ingin Ayahku selalu menjadi nomor satu di keluarga besar meskipun harus mengorbankan anaknya sendiri. “Berhenti!” Suara Kakek memenuhi ruangan. Kali ini, Kakek marah. Apakah Kakek merasa sudah dipermalukan di depan umum?Saat itu juga, aku menahan malu dan sedih bersamaan. Semuanya karena pernikahan sialan ini!Seandainya saja aku menerima Arga, mungkin hanya aku yang akan menderita, tetapi tidak dengan Kakek. Karena nyatanya, justru Kakek yang dipermalukan di depan keluarga besar oleh Ibuku.“Kalo kamu berani pergi selangkah pun dari sini, saya akan minta Delano untuk menceraikan kamu." Kakek mengancam ibu. Aku menelan saliva saat itu juga.Menurutku, selama ini Ibu menikah dengan Ayah demi mendapatkan
"Jadi ke kamar mandi, enggak? Apa perlu Mas Andi temani? Siapa tau perlu bantuan? Buka resleting bajunya!" Dia menggodaku lagi. Aku merasa, Mas Andi sangat senang menggodaku. “Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri,” jawabku yang gugup.Mas Andi hanya tersenyum, lalu membiarkan aku pergi untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Suara air di kamar mandi saat ini, membuatku sedikit tenang. Hingga keluar dengan perasaan canggung, melihat matanya lekat menatapku dalam.Bahkan Mas Andi melihat diriku dari atas sampai kaki. Pasti pikiran kotor melintas di benaknya. Apa dia pikir aku mau langsung melakukan malam pertama? Padahal sampai saat ini, aku masih gemetar dan takut padanya. Aku masih belum siap melakukan semuanya. “Ayo sini! Aku mau kenal kamu lebih dekat,” pintanya sambil menepuk tempat tidur, di sebelahnya bersandar saat ini. “Aku duduk di sini saja,” balasku yang duduk di kursi meja rias. “Kamu mau kakek Wicaksono tau, kalau kita masih asing? Bukankah pernikahan ini kamu yang
Aku mendelik. Pria itu sengaja membuatku malu di depan kakek. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari berkata seperti itu, semalam tidak terjadi apa-apa. Hanya kejadian memalukan yang membuatku berteriak. “Kamu mau, Kakek mencari daun muda lagi? Kegiatan olahraga malam itu hanya para pengantin baru yang bisa melakukannya. Kakek saat ini fokus dengan keberlangsungan kasta Wicaksono. Jadi, cepatlah kasih Kakek cicit,” pintanya. “Kakek!” ucapku sedikit meninggi dengan wajah merah muda, saat ini perasaanku malu sekali. Kejadian semalam itu di luar dugaan. Aku kira, dia akan memaksa malam pertama denganku. Ternyata, dia memastikan bahwa aku benar-benar datang bulan. Hanya saja, hal itu membuatku sangat malu. “Tenang saja kakek, ini pasti tokcer. Apalagi semalam aku sudah melihatnya,” ucapnya sambil melirikku penuh ejekan. Suamiku ini ternyata suka menggoda dan membuatku sedikit malu di depan umum. “Tapi, apa cucu kakek siap hidup dengan pria tanpa pekerjaan jelas seperti aku? Pekerj
Malam ini, aku menempatkan rumah sewa. Rumah sederhana dengan perabotan yang tidak banyak. Aku sedang berada di kamar berbicara dengan seseorang yang mengajakku bisnis di saluran telepon. “Kamu harus balikin uangku sesuai perjanjian!” “Namanya bisnis, kalo udah bangkrut di tanggung bersama. Mulai saat ini, jangan hubungi aku lagi!” Panggilan itu ditutup begitu saja. Tapi dia hanya memanfaatkan aku dan menipuku. Mas Andi terlihat memperhatikan dari depan pintu kamar. Aku tetap tidak fokus dengan kehadirannya, bahkan air mataku jatuh juga kubiarkan.“Kamu baik-baik aja?” tanya Mas Andi yang membuatku mengangkat kepala.“Yang mas Andi liat, gimana? Apa masih baik-baik saja?” Aku tidak peduli dengannya. Padahal dia baru saja pulang bekerja serabutan seperti biasanya. “Kamu sadar nggak, mas? Semua masalah ekonomi yang aku hadapi saat ini adalah salahmu!” Semua kekesalan, aku limpahkan ke Mas Andi, tapi dia tetap tidak marah. Bahkan dia masih tenang mendengarkan omelanku. “Maaf." Hany