Share

Bab 5

Aku mendelik. Pria itu sengaja membuatku malu di depan kakek. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari berkata seperti itu, semalam tidak terjadi apa-apa. Hanya kejadian memalukan yang membuatku berteriak.

“Kamu mau, Kakek mencari daun muda lagi? Kegiatan olahraga malam itu hanya para pengantin baru yang bisa melakukannya. Kakek saat ini fokus dengan keberlangsungan kasta Wicaksono. Jadi, cepatlah kasih Kakek cicit,” pintanya.

“Kakek!” ucapku sedikit meninggi dengan wajah merah muda, saat ini perasaanku malu sekali.

Kejadian semalam itu di luar dugaan. Aku kira, dia akan memaksa malam pertama denganku. Ternyata, dia memastikan bahwa aku benar-benar datang bulan. Hanya saja, hal itu membuatku sangat malu.

“Tenang saja kakek, ini pasti tokcer. Apalagi semalam aku sudah melihatnya,” ucapnya sambil melirikku penuh ejekan. Suamiku ini ternyata suka menggoda dan membuatku sedikit malu di depan umum.

“Tapi, apa cucu kakek siap hidup dengan pria tanpa pekerjaan jelas seperti aku? Pekerjaan aku hanya kuli serabutan di mal Srikandi.”

Aku baru sadar, hal itu belum sempat kutanyakan. Tubuhku lemas seketika, tidak sanggup menghadapi keluargaku.

‘Sudah pasti Ibuku akan murka. Kemarin saja saat di pernikahan hampir gagal dan berantakan.’ Dengan lesu aku menikmati makanan, bahkan rasanya tidak bisa tertelan setelah mendengar ucapan mas Andi.

Aku harus mempersiapkan berbagai cara, untuk menjaga pernikahan kami. Aku takut kalau ibu akan memintaku bercerai darinya.

“Huff!” Tanpa sadar aku mendengkus.

Mata mereka berdua serempak menatapku penuh tanda tanya, apakah aku menyesal menikah dengannya? Itu pasti pertanyaan yang ada di benak Kakek dan Mas Andi.

Mendapat tatapan dua pria yang bersekutu, aku merasa seperti berada di kandang lawan. Aku hanya bisa tersenyum.

“Kalian jangan menatap seperti itu! Aku merasa seperti berada di ruang penyidik,” jawabku ketus, menutupi rasa bersalah.

“Kenapa Inggit mendengkus? Inggit menyesal, dengan pilihan kakek?” tanya kakek Wicaksono.

‘Sumpah demi apapun, saat ini aku bingung. Mau jujur, tapi takut mereka akan tersinggung. Kalau nggak jujur, aku pasti akan mengalami masalah dari mereka berdua,’ batinku.

Aku mengatur napas, lalu mulai menjawab. “Saat Kakek dan Mas Andi lagi ngobrol tadi, aku hanya fokus sama pikiranku sendiri. Kakek tau, kan? Ibu nggak menyukai Andi sejak dulu. Terlebih lagi, pekerjaan dia yang serabutan." Aku berkata jujur sambil menatap Andi dengan bibir sedikit manyun.

“Kakek tau. Ana pasti menolak dan nggak mengakui Andi sebagai menantu. Tapi, Kakek mau tanya ....” Perasaan lega ini tiba-tiba membuatku lebih rileks. Kakek jauh lebih pengertian.

“Apa kamu bisa menerima Andi apa adanya?” tanya kakek, spontan aku mengangguk yang setelahnya diikuti suara Andi.

“Aku akan berusaha sampai kedua orang tua Inggit bisa menerimaku. Karena tanpa pertolongan Kakek, mungkin malam itu aku udah mati." Andi mejelaskan tentang masa lalunya.

Aku pikir, dia akan marah. Ternyata dia masih tetap tenang menyikapi semua yang aku resahkan. Mungkin aku saja yang terlalu banyak berpikir. Aku harap, Mas Andi bisa meluluhkan hati kedua orang tuaku.

"Jadi, apa rencana kalian selanjutnya? Apa kalian mau tinggal di mansion ini atau mungkin menyewa rumah?” tanya Kakek.

Kakek Wicaksono tidak seperti pria pada umumnya yang ingin cucu atau keturunannya tetap hidup sesuai keinginan dia.

Kakek memberikan kami pilihan untuk menentukan hidup kami sendiri. Selain itu, Kakek juga memberikan kebebasan dan kesempatan kami untuk mengembangkan usaha masing-masing.

Aku menatap Mas Andi, berharap dia menjawab dengan benar. Karena sampai sekarang, kami belum berbicara sejauh itu.

“Kami akan sewa rumah, Kek,” jawab Mas Andi membuatku kesal.

“Sebentar Kek! Aku mau ngomong sama Mas Andi,” pintaku memohon izin.

Ingin protes, tapi aku tidak bisa membantah Mas Andi di depan Kakek. Aku menarik Mas Andi ke sudut ruangan saat itu juga.

Mata kakek memberi isyarat. Dia tetap duduk dengan tenang. Sekarang, hanya ada aku dan Mas Andi di sudut ruangan.

“Kamu serius? Kita baru kenal dan pekerjaanmu aja enggak jelas. Kamu belum menghitung biaya sewa di Serayan, semuanya mahal-mahal, kan?” tanyaku dengan alis sedikit naik dari normal.

Dia hanya tersenyum mendengar semua ucapanku. Dia memegang pundakku dengan santai.

“Tenang aja! Masih ada rumah murah. Tapi lokasinya di pinggiran dekat mal Srikandi. Di sana tetangganya dari kaum rendah, seperti pemulung, dan tukang parkir."

Kedua mataku membelalak. Tapi, aku terus mendengarkan penjelasannya.

"Kira-kira, kamu mau nggak tinggal di tempat kumuh seperti itu?” tanya Mas Andi.

Sedetik pun, aku tidak pernah membayangkan akan tinggal di tempat seperti itu. Tempat kumuh yang rawan kejahatan dan sebagainya. Aku pasti harus beradaptasi cukup lama. Aku tidak sanggup.

“Nggak. Aku nggak mau,” tolak ku, membuat Mas Andi sedikit kecewa.

Aku meninggalkan dia kembali duduk dengan diam. Suasana menjadi sunyi sampai akhirnya, aku membuat kepustakaan.

“Oke, aku ikut Mas Andi,” jawabku yang dibalas senyuman Kakek. Tiba-tiba, Mas Andi memelukku dari belakang.

Dari kejauhan, aku melihat mata kakek tersenyum ke arah kami. Aku merasa sudah membuat keputusan baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status