Share

Bab 2

Hari yang kutunggu tiba. Pagi ini, perasaanku gelisah, tetapi aku antusias.

“Sumpah! Hari ini aku nikah! Rasanya masih nggak percaya!” pekikku, antara senang, bingung atau mungkin hambar.

Aku dan kedua orang tuaku sudah sampai di mansion keluarga Wicaksono. Aku memakai gaun pengantin milik Ibu. Yaitu gaun pengantin berwarna putih dengan brokat burung Phoenix. Gaun ini begitu cocok dengan tubuhku yang ramping.

Sejak pernikahan Vanya adikku satu tahun yang lalu, predikat perawan tua sudah sangat melekat di hidupku. Setiap pertemuan keluarga, selalu saja ada yang bertanya, kapan nikah? Sudah punya pacar belum? Ingin rasanya aku menyumpal mulut mereka dengan tisu toilet.

Aku sudah berada di ruang tamu, tetapi orang tuaku masih berada di luar menyapa kerabat yang lain. Aku melihat Kakek tersenyum padaku. Lalu, aku duduk berseberangan dengan Kakek.

“Inggit sayang, ini Andi Hermawan." Kakek memperkenalkanku pada calon suamiku. Lalu, aku melihat Kakek tersenyum pada Andi. "Andi, ini Inggit Ganarsih Wicaksono. Dia cucu yang sering saya ceritain.”

Mendengar perkataan kakek Wicaksono, membuatku terkejut.

‘Apa? Bukannya dia adalah orang yang pernah ditolong Kakek? Asal-usul Andi aja nggak jelas. Bahkan, Ibu selalu mengumpatnya sebagai pria miskin dan benalu di keluarga Wicaksono.’

Saat itu juga, aku menutup mata berusaha menerima kenyataan. Tuhan, apakah aku sudah salah memilih jodoh?

“Kenapa Inggit, kamu enggak suka? Apa Inggit menyesal karena udah terima pilihan kakek?” tanya Kakek, semakin membuatku gugup.

Melihat tinggi badannya yang 175cm, sebenarnya sudah membuatku takjub. Bahkan parasnya yang tampan mampu membuat jantungku berdegup kencang.

Salahnya, aku melangkah terlalu cepat meninggalkan Ibu dan Ayah beserta saudaraku yang lain.

Sampai sekarang, aku belum menjawab pertanyaan Kakek. Tubuh ini seolah membeku dan lidahku seolah kelu.

‘Semoga Ibu nggak murka,’ batinku panik. Berharap ibu akan sadar setelah kami menikah nanti.

“Inggit?” tegur Kakek, menyadarkan lamunanku.

“Oh, aku nggak menyesal,” jawabku sedikit ragu. Saat ini, ingin kabur dari kakek, aku takut dia melempar pertanyaan-pertanyaan yang membuatku panik.

“Mana orang tua kamu?” tanya kakek, membuatku semakin panik.

“Em … anu, anu.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, lalu lanjut menjawabnya. “I-Ibu dan A-Ayah masih berbicara dengan yang lain di luar,” jawabku terbata. Kemudian membeku lagi, seperti bingung harus bagaimana.

Pria itu mengulurkan tangannya, aku masih tidak bisa mengontrol diri dengan rasa terkejut ini. Bahkan lama aku memperhatikan, tangannya yang dibalut kaos tangan putih.

“Ehem!” Suara Andi membuatku sadar, perlahan aku menjabat tangannya.

“Andi Hermawan. Semoga kita bisa menjadi pasangan Suami Istri yang bahagia,” ucap Andi.

Bodohnya aku bukannya menjawab, tetapi justru menatapnya dengan bingung. Namun senyum manisnya, menyadarkanku lagi.

“Oh … ya, aku Inggit Garnasih Wicaksono.” Tersadar dengan ucapanku yang singkat dan terkesan kaku. Aku tidak menunjukkan ekspresi yang berkesan.

Bukannya marah atau tersinggung, Andi malah terkekeh kecil seperti mengejekku.

‘Tenang, Inggit! Apapun asal-usulnya, dia pilihan Kakek kamu. Pernikahan ini pasti lancar. Sedangkan kekayaan masih bisa dicari. Setidaknya, kamu selamat dari perjodohan Ibumu,’ batinku, berusaha menguatkan diri.

“Menyesal, ya? Jauh dari ekspektasi.” Bisikan yang diikuti aroma hembus napasnya, membuat aku mendelik.

Mau kusimpan di mana wajahku saat ini? Andi sadar dengan segala ekspresi yang dia lihat sejak tadi.

Aku menggeleng, lalu berdiri. Aku berjalan di belakang kakek menuju ruang pernikahan.

“Inggit!” Suara Ibu sangat khas seperti tsunami yang akan memporak-porandakan hariku.

‘Tuhan, jangan sampai Ibu melihat sosok calon Suamiku ini,’ batinku. Langkah kakinya penuh semangat dan semakin terdengar dekat di belakangku.

“Ayah, maaf kami terlambat,” ujar Ibu.

Segera, aku membuka mata melihat ekspresi wajah Ibu. Aku mengelus dada lega, perasaan yang masih tidak menentu ini sesekali menghentikan detak jantungku.

Kedua orang tuaku duduk di tempatnya masing-masing. Tidak lama kemudian, Kakek mulai berbicara di depan para tamu.

“Pagi ini, aku akan menikahkan Cucuku tersayang.” Aku menelan Saliva mendengar ucapan kakek, sesekali melihat ekspresi wajah Ibu yang masih sumringah bahagia.

“Akan aku perkenalkan calon pria yang akan jadi Suaminya. Andi kemarilah!” Kakek memanggil Andi dengan penuh kasih sayang.

Saat itu juga, ekspresi ibu berubah masam. Bahkan, seperti dilempar kotoran ke wajahnya. Ibu menatapku, amarah itu seperti melepas nyawa ini.

Aku pikir, Ibu akan tetap diam dan menahan amarahnya. Namun prediksiku meleset. Ibu berdiri, lalu menghampiri Kakek.

“Ayah nggak bercanda, kan? Aku harap, ini bukan lelucon!” Ibu kesal.

“Kenapa harus bercanda? Nggak ada sejarahnya Wicaksono bercanda dalam urusan sakral begini.” Wajah Ibu semakin memerah saat mendengar jawaban Kakek yang begitu santai.

“Gila! Ayah suruh Inggit nikah sama pria miskin yang nggak jelas asal-usulnya ini?!" Ibu menunjuk Andi dengan kecewa dan tatapan menghina. Ibu benar-benar terlihat kecewa.

“Kalau gitu, aku bawa Inggit pulang aja!” Ibu menolak pernikahanku dan Andi.

Bukan Ibu kalau menerima menantu miskin. Ibu menarik tanganku. Aku pasrah. Mungkin ini memang takdirku tidak jadi menikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status