Share

Bab 6

Malam ini, aku menempatkan rumah sewa. Rumah sederhana dengan perabotan yang tidak banyak.

Aku sedang berada di kamar berbicara dengan seseorang yang mengajakku bisnis di saluran telepon. “Kamu harus balikin uangku sesuai perjanjian!”

“Namanya bisnis, kalo udah bangkrut di tanggung bersama. Mulai saat ini, jangan hubungi aku lagi!” Panggilan itu ditutup begitu saja.

Tapi dia hanya memanfaatkan aku dan menipuku. Mas Andi terlihat memperhatikan dari depan pintu kamar. Aku tetap tidak fokus dengan kehadirannya, bahkan air mataku jatuh juga kubiarkan.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Mas Andi yang membuatku mengangkat kepala.

“Yang mas Andi liat, gimana? Apa masih baik-baik saja?” Aku tidak peduli dengannya. Padahal dia baru saja pulang bekerja serabutan seperti biasanya.

“Kamu sadar nggak, mas? Semua masalah ekonomi yang aku hadapi saat ini adalah salahmu!”

Semua kekesalan, aku limpahkan ke Mas Andi, tapi dia tetap tidak marah. Bahkan dia masih tenang mendengarkan omelanku.

“Maaf." Hanya satu kata yang keluar dari bibir mas Andi.

Aku menyadari bahwa aku juga berada di posisi ini. Jika waktu bisa diputar kembali, Mas Andi tidak perlu menyewa rumah. Mungkin saja, kehidupan kami tidak akan seperti ini. Kami tinggal tidak jauh dari pesisir pantai dengan lingkungan yang kumuh di daerah Kecubung kota Seroja.

“Udah malam. Kita istirahat aja! Aku nggak akan menuntut hakku sampai kamu benar-benar bersedia baru kita melakukan malam pertama,” bujuk mas Andi, membuat emosiku memuncak.

Napasku tersengal dan tanganku mengepal kuat-kuat. Ingin rasanya aku menonjok sesuatu yang bisa menjadi sasaran emosi. Sampai-sampai, dinding yang terbuat dari bahan GRC itu menjadi sasaran tinjuku kali ini.

Brak!

Sebuah retakan membentuk sesuai besar kepalan tanganku. Mas Andi langsung memelukku. Sikapnya membuatku semakin merasa bersalah dan kesal. Air mataku juga menetes bersamaan saat kepalaku tersandar di dadanya.

“Semua salahmu! Pokoknya salahmu, Mas." hardikku padanya. "Seandainya kamu mau tinggal di Mansion Kakek, kita nggak akan mengalami hal ini. Aku nggak perlu kerja di beberapa tempat, bahkan aku bisa membanggakan kamu di depan Ibuku,” tangisku pecah, membasahi bajunya.

“Maafkan aku, Inggit. Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Karena dari awal aku udah bertanya, apa kamu menyesal? Ingat, nggak?” tanya Mas Andi, membuka memori saat pernikahan kami.

Semua seperti film terputar di kepalaku. Sebenarnya, aku juga bersalah. Saat itu aku siap menerima dia demi menolak Arga Dwiguna, bahkan aku juga sepakat tinggal di tempat kumuh.

Sampai semua tuntutan keluarga dan egoku yang ingin membuktikan bahwa kasta itu tidak penting.

Mas Andi tidak pernah menyakitiku, bahkan kebutuhanku selalu dipenuhi. Hanya aku tidak bisa hidup dengan strata sosial seperti saudara dan kerabatku.

Ibu sudah melarangku menemuinya. Karena alasan itulah, aku nekat mengikuti bisnis yang tidak jelas.

“Mas, kalau kita ke rumah Ibu, bagaimana?” tanyaku yang diikuti suara ketukan pintu.

Pikiran semakin kacau saat ingat tanggal jatuh tempo membayar uang sewa rumah yang tertunggak dua bulan. Aku hanya bisa terduduk dan menangis.

Mas Andi membuka pintu. Lalu, aku mendengar suara teriakan pemilik rumah kepada Mas Andi.

“Kalau nggak bisa bayar, kalian pergi dari sini sekarang juga!” umpatan dari pemilik rumah membuat hatiku makin tersayat. Ingin marah, tapi ini rumahnya. Dia berhak mengusir siapapun yang sudah menunggak uang sewa.

Malam ini juga, kami keluar dari rumah itu dengan tujuan tidak jelas. Aku nekat pergi menuju perumahan Junjung Buih, kediaman orang tuaku.

Aku menekan bel rumah besar dengan dinding berwarna putih. Pagar yang tingginya hampir 4 meter itu membuatku gemetar. Apalagi saat mendengar suara Ibu menjawab dari pesan suara yang ada di pagar rumah.

“Siapa?” tanya Ibu.

“Inggit, Bu. Boleh bicara sebentar,” jawabku lirih, takut dia akan menolak kedatanganku yang kesekian kali.

Ternyata kali ini dia membiarkanku masuk. Mas Andi mengekor di belakangku. Melihat wajah Ibu yang seperti meremehkan kami, membuat aku ingin mundur.

“Langsung aja! Kamu mau bercerai dengan dia, ‘kan?” tunjuk Ibu dengan senang dan menatap mas Andi dengan meremehkan.

Aku pikir, Ibu mengizinkan kami masuk karena ingin menolongku. Ternyata, dia berharap aku bercerai dengan Mas Andi. Ibu tidak berubah sama sekali.

“Bu-bukan, Bu. Inggit ingin tinggal di sini dengan Mas Andi,” ucapku langsung ke duduk persoalan.

Ibu berkacak pinggang, lalu tertawa. Setelahnya, dia mengeluarkan kata-kata pedas.

“Kamu minta Ibu buat restuin kalian, terus tinggal di sini? Inggit, kalau kamu bercerai sama dia, silakan tinggal di sini! Tapi kalau kamu masih mau hidup sama orang miskin yang nggak jelas asal-usulnya, mending kamu pergi aja!”

Aku terkejut, sontak aku menarik tangan Mas Andi, mengajaknya pergi dari sana. Tapi Mas. Andi masih bertahan.

“Ayolah Mas! Kita pergi aja dari sini!" Aku berbisik sambil menangis.

Seorang Ibu kandung tega mengusir anak kandungnya begitu saja. Aku sangat terhina. Perilaku Ibu padaku seperti aku bukan darah dagingnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status