Malam ini, aku menempatkan rumah sewa. Rumah sederhana dengan perabotan yang tidak banyak.
Aku sedang berada di kamar berbicara dengan seseorang yang mengajakku bisnis di saluran telepon. “Kamu harus balikin uangku sesuai perjanjian!” “Namanya bisnis, kalo udah bangkrut di tanggung bersama. Mulai saat ini, jangan hubungi aku lagi!” Panggilan itu ditutup begitu saja. Tapi dia hanya memanfaatkan aku dan menipuku. Mas Andi terlihat memperhatikan dari depan pintu kamar. Aku tetap tidak fokus dengan kehadirannya, bahkan air mataku jatuh juga kubiarkan. “Kamu baik-baik aja?” tanya Mas Andi yang membuatku mengangkat kepala. “Yang mas Andi liat, gimana? Apa masih baik-baik saja?” Aku tidak peduli dengannya. Padahal dia baru saja pulang bekerja serabutan seperti biasanya. “Kamu sadar nggak, mas? Semua masalah ekonomi yang aku hadapi saat ini adalah salahmu!” Semua kekesalan, aku limpahkan ke Mas Andi, tapi dia tetap tidak marah. Bahkan dia masih tenang mendengarkan omelanku. “Maaf." Hanya satu kata yang keluar dari bibir mas Andi. Aku menyadari bahwa aku juga berada di posisi ini. Jika waktu bisa diputar kembali, Mas Andi tidak perlu menyewa rumah. Mungkin saja, kehidupan kami tidak akan seperti ini. Kami tinggal tidak jauh dari pesisir pantai dengan lingkungan yang kumuh di daerah Kecubung kota Seroja. “Udah malam. Kita istirahat aja! Aku nggak akan menuntut hakku sampai kamu benar-benar bersedia baru kita melakukan malam pertama,” bujuk mas Andi, membuat emosiku memuncak. Napasku tersengal dan tanganku mengepal kuat-kuat. Ingin rasanya aku menonjok sesuatu yang bisa menjadi sasaran emosi. Sampai-sampai, dinding yang terbuat dari bahan GRC itu menjadi sasaran tinjuku kali ini. Brak! Sebuah retakan membentuk sesuai besar kepalan tanganku. Mas Andi langsung memelukku. Sikapnya membuatku semakin merasa bersalah dan kesal. Air mataku juga menetes bersamaan saat kepalaku tersandar di dadanya. “Semua salahmu! Pokoknya salahmu, Mas." hardikku padanya. "Seandainya kamu mau tinggal di Mansion Kakek, kita nggak akan mengalami hal ini. Aku nggak perlu kerja di beberapa tempat, bahkan aku bisa membanggakan kamu di depan Ibuku,” tangisku pecah, membasahi bajunya. “Maafkan aku, Inggit. Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Karena dari awal aku udah bertanya, apa kamu menyesal? Ingat, nggak?” tanya Mas Andi, membuka memori saat pernikahan kami. Semua seperti film terputar di kepalaku. Sebenarnya, aku juga bersalah. Saat itu aku siap menerima dia demi menolak Arga Dwiguna, bahkan aku juga sepakat tinggal di tempat kumuh. Sampai semua tuntutan keluarga dan egoku yang ingin membuktikan bahwa kasta itu tidak penting. Mas Andi tidak pernah menyakitiku, bahkan kebutuhanku selalu dipenuhi. Hanya aku tidak bisa hidup dengan strata sosial seperti saudara dan kerabatku. Ibu sudah melarangku menemuinya. Karena alasan itulah, aku nekat mengikuti bisnis yang tidak jelas. “Mas, kalau kita ke rumah Ibu, bagaimana?” tanyaku yang diikuti suara ketukan pintu. Pikiran semakin kacau saat ingat tanggal jatuh tempo membayar uang sewa rumah yang tertunggak dua bulan. Aku hanya bisa terduduk dan menangis. Mas Andi membuka pintu. Lalu, aku mendengar suara teriakan pemilik rumah kepada Mas Andi. “Kalau nggak bisa bayar, kalian pergi dari sini sekarang juga!” umpatan dari pemilik rumah membuat hatiku makin tersayat. Ingin marah, tapi ini rumahnya. Dia berhak mengusir siapapun yang sudah menunggak uang sewa. Malam ini juga, kami keluar dari rumah itu dengan tujuan tidak jelas. Aku nekat pergi menuju perumahan Junjung Buih, kediaman orang tuaku. Aku menekan bel rumah besar dengan dinding berwarna putih. Pagar yang tingginya hampir 4 meter itu membuatku gemetar. Apalagi saat mendengar suara Ibu menjawab dari pesan suara yang ada di pagar rumah. “Siapa?” tanya Ibu. “Inggit, Bu. Boleh bicara sebentar,” jawabku lirih, takut dia akan menolak kedatanganku yang kesekian kali. Ternyata kali ini dia membiarkanku masuk. Mas Andi mengekor di belakangku. Melihat wajah Ibu yang seperti meremehkan kami, membuat aku ingin mundur. “Langsung aja! Kamu mau bercerai dengan dia, ‘kan?” tunjuk Ibu dengan senang dan menatap mas Andi dengan meremehkan. Aku pikir, Ibu mengizinkan kami masuk karena ingin menolongku. Ternyata, dia berharap aku bercerai dengan Mas Andi. Ibu tidak berubah sama sekali. “Bu-bukan, Bu. Inggit ingin tinggal di sini dengan Mas Andi,” ucapku langsung ke duduk persoalan. Ibu berkacak pinggang, lalu tertawa. Setelahnya, dia mengeluarkan kata-kata pedas. “Kamu minta Ibu buat restuin kalian, terus tinggal di sini? Inggit, kalau kamu bercerai sama dia, silakan tinggal di sini! Tapi kalau kamu masih mau hidup sama orang miskin yang nggak jelas asal-usulnya, mending kamu pergi aja!” Aku terkejut, sontak aku menarik tangan Mas Andi, mengajaknya pergi dari sana. Tapi Mas. Andi masih bertahan. “Ayolah Mas! Kita pergi aja dari sini!" Aku berbisik sambil menangis. Seorang Ibu kandung tega mengusir anak kandungnya begitu saja. Aku sangat terhina. Perilaku Ibu padaku seperti aku bukan darah dagingnya sendiri.Mas Andi masih terus bertahan, bahkan dia tetap tenang. Justru aku yang semakin merasa terhina menariknya dengan paksa.“Mas! Ayo pergi dari sini! Jangan rendahkan dirimu lagi!” teriakku menarik paksa tangan mas Andi.Entah kekuatan dari mana yang membuatku bisa menarik mas Andi. Kami berjalan menjauh dari Ibu sampai berada di dekat pintu gerbang. Tiba-tiba, sosok penolongku hadir lagi. Tangan keriput itu menggenggam tangan kiriku.“Jangan memberontak! Ayo ikut Kakek!" Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak, refleks tubuhku juga mengikuti lagkahnya. “Ayah!" seru Ibuku dengan suara pelan dan kaku.Kakek Wicaksono menatap penuh amarah ke arah Ibu. Sontak, membuat Ibu semakin menunduk. Mungkin aku akan menang kali ini, tapi Ibuku tidak mungkin akan semudah itu menerimaku kembali.“Dasar menantu tidak tau diuntung!” Bentakan itu diikuti tangannya yang melayang di pipi Ibu. Saat itu juga, terlihat membekas merah di pipinya yang putih.Bahkan matanya menatap tajam ke arahku, seolah tid
"Pokoknya, aku nggak mau, Bu!” Aku menolak permintaan Ibuku. Wajah Ibu menjadi merah padam. Dia kesal sekali saat mendengar penolakanku dengan nada tinggi. Ibuku bernama Ana Rahma dan ayahku bernama Delano Wicaksono. Aku sedang berada di ruang tamu bersama mereka membahas masalah perjodohan yang tidak aku inginkan. “Kamu mau buat keluarga Wicaksono malu? Status Arga Dwiguna memang duda, tapi dia kaya raya. Bahkan kalo kamu mau nikah sama dia, kamu bisa lepas dari cap perawan tua!” Suara Ibu semakin meninggi sehingga membuatku kesal, bahkan kali ini aku seperti ingin kabur saja. Namaku Inggit Garnasih Wicaksono, 23 tahun. Aku berasal dari keluarga bangsawan kasta tertinggi nomor empat di negara Dogestan. Aku adalah putri ke-3 dari empat bersaudara. Karena kebiasaan di kotaku yang mengutamakan kasta, hal itulah yang memicu keributan di pagi hari ini. “Dengar baik-baik, Inggit! Hari ini Arga melamar kamu. Jadi, jangan buat malu!" pinta Ibu lagi tanpa memedulikan perasaanku.
Hari yang kutunggu tiba. Pagi ini, perasaanku gelisah, tetapi aku antusias.“Sumpah! Hari ini aku nikah! Rasanya masih nggak percaya!” pekikku, antara senang, bingung atau mungkin hambar.Aku dan kedua orang tuaku sudah sampai di mansion keluarga Wicaksono. Aku memakai gaun pengantin milik Ibu. Yaitu gaun pengantin berwarna putih dengan brokat burung Phoenix. Gaun ini begitu cocok dengan tubuhku yang ramping.Sejak pernikahan Vanya adikku satu tahun yang lalu, predikat perawan tua sudah sangat melekat di hidupku. Setiap pertemuan keluarga, selalu saja ada yang bertanya, kapan nikah? Sudah punya pacar belum? Ingin rasanya aku menyumpal mulut mereka dengan tisu toilet. Aku sudah berada di ruang tamu, tetapi orang tuaku masih berada di luar menyapa kerabat yang lain. Aku melihat Kakek tersenyum padaku. Lalu, aku duduk berseberangan dengan Kakek. “Inggit sayang, ini Andi Hermawan." Kakek memperkenalkanku pada calon suamiku. Lalu, aku melihat Kakek tersenyum pada Andi. "Andi, ini Inggit
Walaupun aku pasrah, mengikuti kemauan ibu membuatku sedikit bersedih. Sebenarnya, aku tidak mempermasalahkan asal-usul Andi. Aku juga tidak mempermasalahkan dia miskin ataupun kaya raya!Hanya saja, Ibu tidak mau kami menjadi bahan lelucon bagi keluarga besar keluarga Wicaksono. Ibu ingin Ayahku selalu menjadi nomor satu di keluarga besar meskipun harus mengorbankan anaknya sendiri. “Berhenti!” Suara Kakek memenuhi ruangan. Kali ini, Kakek marah. Apakah Kakek merasa sudah dipermalukan di depan umum?Saat itu juga, aku menahan malu dan sedih bersamaan. Semuanya karena pernikahan sialan ini!Seandainya saja aku menerima Arga, mungkin hanya aku yang akan menderita, tetapi tidak dengan Kakek. Karena nyatanya, justru Kakek yang dipermalukan di depan keluarga besar oleh Ibuku.“Kalo kamu berani pergi selangkah pun dari sini, saya akan minta Delano untuk menceraikan kamu." Kakek mengancam ibu. Aku menelan saliva saat itu juga.Menurutku, selama ini Ibu menikah dengan Ayah demi mendapatkan
"Jadi ke kamar mandi, enggak? Apa perlu Mas Andi temani? Siapa tau perlu bantuan? Buka resleting bajunya!" Dia menggodaku lagi. Aku merasa, Mas Andi sangat senang menggodaku. “Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri,” jawabku yang gugup.Mas Andi hanya tersenyum, lalu membiarkan aku pergi untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Suara air di kamar mandi saat ini, membuatku sedikit tenang. Hingga keluar dengan perasaan canggung, melihat matanya lekat menatapku dalam.Bahkan Mas Andi melihat diriku dari atas sampai kaki. Pasti pikiran kotor melintas di benaknya. Apa dia pikir aku mau langsung melakukan malam pertama? Padahal sampai saat ini, aku masih gemetar dan takut padanya. Aku masih belum siap melakukan semuanya. “Ayo sini! Aku mau kenal kamu lebih dekat,” pintanya sambil menepuk tempat tidur, di sebelahnya bersandar saat ini. “Aku duduk di sini saja,” balasku yang duduk di kursi meja rias. “Kamu mau kakek Wicaksono tau, kalau kita masih asing? Bukankah pernikahan ini kamu yang
Aku mendelik. Pria itu sengaja membuatku malu di depan kakek. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari berkata seperti itu, semalam tidak terjadi apa-apa. Hanya kejadian memalukan yang membuatku berteriak. “Kamu mau, Kakek mencari daun muda lagi? Kegiatan olahraga malam itu hanya para pengantin baru yang bisa melakukannya. Kakek saat ini fokus dengan keberlangsungan kasta Wicaksono. Jadi, cepatlah kasih Kakek cicit,” pintanya. “Kakek!” ucapku sedikit meninggi dengan wajah merah muda, saat ini perasaanku malu sekali. Kejadian semalam itu di luar dugaan. Aku kira, dia akan memaksa malam pertama denganku. Ternyata, dia memastikan bahwa aku benar-benar datang bulan. Hanya saja, hal itu membuatku sangat malu. “Tenang saja kakek, ini pasti tokcer. Apalagi semalam aku sudah melihatnya,” ucapnya sambil melirikku penuh ejekan. Suamiku ini ternyata suka menggoda dan membuatku sedikit malu di depan umum. “Tapi, apa cucu kakek siap hidup dengan pria tanpa pekerjaan jelas seperti aku? Pekerj