Share

Bab 4

"Jadi ke kamar mandi, enggak? Apa perlu Mas Andi temani? Siapa tau perlu bantuan? Buka resleting bajunya!" Dia menggodaku lagi.

Aku merasa, Mas Andi sangat senang menggodaku.

“Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri,” jawabku yang gugup.

Mas Andi hanya tersenyum, lalu membiarkan aku pergi untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Suara air di kamar mandi saat ini, membuatku sedikit tenang. Hingga keluar dengan perasaan canggung, melihat matanya lekat menatapku dalam.

Bahkan Mas Andi melihat diriku dari atas sampai kaki. Pasti pikiran kotor melintas di benaknya. Apa dia pikir aku mau langsung melakukan malam pertama? Padahal sampai saat ini, aku masih gemetar dan takut padanya. Aku masih belum siap melakukan semuanya.

“Ayo sini! Aku mau kenal kamu lebih dekat,” pintanya sambil menepuk tempat tidur, di sebelahnya bersandar saat ini.

“Aku duduk di sini saja,” balasku yang duduk di kursi meja rias.

“Kamu mau kakek Wicaksono tau, kalau kita masih asing? Bukankah pernikahan ini kamu yang menyetujuinya?” tanya Mas Andi.

Kata-kata Mas Andi tidak salah. Memang aku yang langsung menerimanya. Karena aku tidak mau menikah dengan Duda yang memiliki kepribadian buruk.

“Kenapa diam aja?” tanyanya Mas Andi lagi.

“Baiklah, tapi aku lelah. Boleh tidak kita istirahat sekarang?” tanyaku.

Mas Andi terlihat diam seakan sedang berpikir sesuatu. Bodohnya aku! Pastilah dia ingin malam pertama denganku saat ini. Aku belum siap, itu yang ingin aku katakan. Tapi bibirku kelu, bahkan perasaan aneh di dekatnya semakin membuat serba salah.

“Kita bisa melakukan malam ini, kan?” tanyanya.

Aku diam lagi. Senyumku langsung merekah, ini bisa jadi alasan untuk menghindari mas Andi.

“Boleh, tapi aku ke kamar mandi dulu,” ijinku. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung berlari ke kamar mandi.

“Bagaimana? Bisa?” tanyanya yang melihatku keluar dari kamar mandi.

Dengan santai penuh percaya diri, aku berbisik ke telinganya. “Maaf, Mas. Malam ini nggak bisa. Aku sedang datang bulan, kalau tidak percaya cek sendiri aja,” bisikku nakal.

Aku pikir, Mas Andi akan percaya begitu saja. Namun tiba-tiba, dia memeriksanya sendiri. Spontan, aku pun menjerit saat kepala Mas Andi sudah berada tepat di antara dua pahaku.

***

Pagi ini perasaanku malas beranjak dari tempat tidur, sampai tersadar sesuatu kotak-kotak yang hangat sedang kupeluk.

“Argh!” teriakku yang memicu reaksi, si pemilik tubuh.

“Ada apa?” tanyanya terkejut.

Aku menutup wajah, menggaruk kepala yang tidak gatal. Bahkan mungkin mukaku merah saat ini. Tingkah aneh yang kulakukan, apakah sama dengan para wanita diluar sana yang baru menikah.

“Maaf, mungkin aku belum terbiasa,” jawabku dengan suara lirih, bercampur malu.

Aku pikir dia akan marah, tetapi dia malah menarik kepalaku serta memeluk tubuh ini lekat. Bahkan saat ini kepalaku mendarat di dada bidang milik mas Andi, suara detak jantungnya terdengar tidak normal.

“Kamu bisa merasakan detaknya?” tanyanya yang membuatku mengangguk, dengan ekspresi lugu.

“Bukan hanya kamu yang tidak terbiasa, aku juga sama. Sebab itu ritme jantungku juga tidak stabil. Mulai hari ini kita sama-sama belajar membiasakan diri, oke.” Perkataan jujur itu, membuatku mengangguk.

Menarik napas panjang, ingin menjauh dari pelukannya saat ini. Hanya mimpi semu yang belum bisa aku utarakan, tapi sebenarnya membuatku nyaman.

“Aku atau kamu yang duluan mandi?” tanyanya lagi. Aku tak bersuara hanya menunjuk ke arah wajah mas Andi.

Pria tampan yang menjadi suamiku itu, akhirnya melangkah ke kamar mandi. Aku pikir dia akan lama, mendengar gemericik air kamar mandi saja membuat pikiranku melayang ke mana-mana.

Sampai wajahnya yang tampan, dengan postur tubuhnya yang indah sudah masuk dalam hayalanku. Air yang masih terlihat menetes di tubuhnya, yang dibalut handuk bagian pinggang ke bawah juga membuat wajahku melonggo.

“Sudah puas melihatnya?” Suara itu membuat rusak pikiran yang sempat menghayal ke sana-kemari. Aku yang malu segera berlari ke kamar mandi, sampai terdengar suara teriakan mas Andi.

“Aku akan menunggumu di meja makan, pasti kakek Wicaksono sudah menanti kita di sana!” Aku yang sedang mengosok gigi hanya menjawab iya dengan suara tidak jelas.

Selesai membersihkan diri bersiap, dengan pakaian putih selutut, rambut terurai menurutku sudah cantik. Segera menyusul ke meja makan di mana kakek dan mas Andi menunggu.

“Pagi, Inggit,” sapa kakek dengan senyumnya yang penuh kasih sayang.

Aku memberikan kecupan di pipi kanan dan kirinya, melewati mas Andi hanya dengan melempar senyuman. Lalu menarik kursi untuk makan bersama, tiba-tiba kakek Wicaksono menegurku.

“Kenapa hanya kakek yang mendapat sambutan sayang darimu, seharusnya Andi mendapatkan hal yang sama?” tanyanya dengan wajah mengejek, sepertinya dia menunjukkan ke Andi bahwa dia menang lebih selangkah dari Andi.

“Kakek,” pekikku sedikit malu, pertanyaan itu bagaikan sindiran di pagi ini.

“Emang Kakek enggak dengar suara aneh semalam?” Mas Andi yang melirikku dengan sedikit mengejek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status