Walaupun aku pasrah, mengikuti kemauan ibu membuatku sedikit bersedih. Sebenarnya, aku tidak mempermasalahkan asal-usul Andi. Aku juga tidak mempermasalahkan dia miskin ataupun kaya raya!
Hanya saja, Ibu tidak mau kami menjadi bahan lelucon bagi keluarga besar keluarga Wicaksono. Ibu ingin Ayahku selalu menjadi nomor satu di keluarga besar meskipun harus mengorbankan anaknya sendiri. “Berhenti!” Suara Kakek memenuhi ruangan. Kali ini, Kakek marah. Apakah Kakek merasa sudah dipermalukan di depan umum? Saat itu juga, aku menahan malu dan sedih bersamaan. Semuanya karena pernikahan sialan ini! Seandainya saja aku menerima Arga, mungkin hanya aku yang akan menderita, tetapi tidak dengan Kakek. Karena nyatanya, justru Kakek yang dipermalukan di depan keluarga besar oleh Ibuku. “Kalo kamu berani pergi selangkah pun dari sini, saya akan minta Delano untuk menceraikan kamu." Kakek mengancam ibu. Aku menelan saliva saat itu juga. Menurutku, selama ini Ibu menikah dengan Ayah demi mendapatkan gelar kasta. Jadi, Ibu tidak akan mau diceraikan Ayah. Ibu pun berhenti melangkah sesuai dugaanku. Dengan lunglai, dia berbalik mengantarkan aku kepada Kakek, bahkan Ibu kembali duduk begitu saja tanpa perlawanan. “Maaf atas kegaduhan ini, Andi," kata Kakek pada Andi. "Semua menantu Wicaksono nggak 100% berasal dari keluarga terpandang. Jadi, nggak ada salahnya saya menjodohkan Andi dengan Inggit!” Pengucapan janji pernikahan mulai dilangsungkan. Aku masih merasa tidak nyaman dengan Andi. Sampai benar-benar para tetua meminta kami berciuman. Mataku mendelik, pertanyaan aneh mulai menggelitik benakku saat ini. ‘Gila! Kami baru ketemu hari ini, nggak mungkin kami menyatukan bibir! Bagaimana caraku menghindar?' batinku kesal dan penuh perasaan ambigu. “Bagaimana, sudah siap?” tanyanya berbisik, membuat mataku membelalak semakin lebar. Bahkan jantungku seakan berhenti sejenak. Hingga semua orang bersorak, ternyata Andi hanya memberi sentuhan sayang di keningku. Aku mengembuskan napas lega. Tapi yang membuatku kesal, Andi selalu mengejek nakal melihat ke arahku. “Sialan aku pikir….” Gumamku terhenti yang di putus oleh suaranya. “Pikir apa? Aku akan benar-benar mencium bibirmu. Hahaha. Itu mimpi! Saat aku lihat ekspresi kamu dari awal, aku sadar kamu menolakku karena aku miskin. Seperti kata Ibu kamu,” bisikan itu, membuatku tertegun lagi. “Ingat ya! Walaupun aku seburuk itu di mata keluargamu, aku akan selalu memperlakukan Istriku dengan penuh kasih sayang.” Saat ini aku seperti sedang digoda olehnya, pikirku dia akan mengancam balik. Mendengar kata-kata Anda penuh kasih sayang. Inilah hal yang sangat kubutuhkan. Sepertinya, Andi memang jodohku. “Terima kasih, Kakek Wicaksono. Pria ini sangat unik. Kakek memang hebat,” gumamku yang membuat Andi tersenyum. Andi Hermawan, dia sah menjadi suamiku. Andi memiliki perawakan dengan tinggi 172 cm. Kata-kata manis yang dia ucapkan membuatku yakin, dia pria baik dan sabar. Bahkan sesudah dimaki Ibu, dia masih bisa tenang tanpa membalas. Baru kusadari hanya senyum manis yang terlihat di wajahnya. Mungkin itu juga yang menarik perhatianku hari ini. Tidak terasa waktu berlalu. Saat ini, aku harus mengikuti keinginan Kakek untuk tinggal di mansion selama beberapa hari sebelum ikut Andi ke rumahnya. Aku sedang berada di dalam kamar tidur bersama Andi. ‘Malam ini adalah malam pertamaku dan Andi, si pria Asing!’ jeritku dalam hati, sambil menutup mata. Mengintip pria itu dari sela-sela jemari tangan. Andi mendekat dan mencoba membuka tangan yang menutupi wajahku. Jujur, saat ini aku ingin teriak dan lari. Tapi, dia sudah menjadi suamiku bahkan dia berhak melakukan apa saja denganku. “Kamu kenapa?” tanya Andi lembut, suaranya menghipnotis pikiranku. ‘Ayo Inggit, kamu harus siap kali ini.’ Aku berusaha menyemangati diriku sendiri. Akhirnya terbesit ide untuk ke kamar mandi. “Aku ganti pakaian dulu, ya?” tanyaku, meminta ijin. Dari cara dia memegang tangan dan mendekatiku, bisakah aku mencari alasan lagi? Akhirnya kedua tangan ini sudah turun dari wajah, aku terus menunduk. Tidak ada keberanian menatap wajahnya. “Hahaha. kamu ternyata lucu juga, ya. Tau enggak? Saat ini aku ngerasa seperti predator yang mau memakan istrinya sendiri,” ujar Andi dengan terus terkekeh. Kesal itu pasti, aku merasa kena leluconnya kali ini. Memangnya dia tidak merasa gugup atau tidak enak denganku. Kita ini baru bertemu, tapi dia malah menertawakan aku saat ini. “Hem … sudah puas ketawanya?” balasku dengan senyum seringai. “Kali ini dibolehkan atau nggak? Aku mau ke kamar mandi,” balasku ketus. Sebenarnya lebih ke rasa kesal, karena dia tertawa. Aku segera berdiri dari ujung tempat tidur dan melangkah ke kamar mandi, tapi dia menarik tanganku begitu saja sampai wajah ini menemukan dada bidang miliknya. Kalian tahu perasaan apa yang aku rasakan saat ini, aroma tubuhnya begitu maskulin. Bahkan aku betah berlama-lama di sana. Tapi tunggu, aku kan baru kenal dia. Pastinya aku akan menjaga diri ini, lebih jual mahal sedikit. Seketika aku langsung menarik tubuhku menjauh dari dada bidangnya, ternyata dia kembali menggoda yang membuat wajahku memerah. Seperti stroberi, yang lagi mau matang dari pohonnya. “Enggak masalah kalau mau berlama-lama di sana, ini juga punyamu. Aku sudah jadi milikmu seutuhnya,” ucapnya, tentu saja itu godaan terbesar buatku. ‘Sial lah, membayangkan malam pertama saja aku sudah keringat dingin. Malah ditambah godaan dari kata-kata dia!’ umpatku kesal dalam hati, tapi mata ini tetap melotot dan menelan saliva melihat sosok yang maskulin itu."Jadi ke kamar mandi, enggak? Apa perlu Mas Andi temani? Siapa tau perlu bantuan ... buka resleting bajumu." Dia menggodaku lagi. Aku merasa, Mas Andi sangat senang menggodaku. “Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri,” jawabku yang gugup. Mas Andi hanya tersenyum, lalu membiarkan aku pergi untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Suara air di kamar mandi saat ini, membuatku sedikit tenang. Hingga keluar dengan perasaan canggung, melihat matanya lekat menatapku dalam. Bahkan Mas Andi melihat diriku dari atas sampai kaki. Pasti pikiran kotor melintas di benaknya. Apa dia pikir aku mau langsung melakukan malam pertama? Padahal sampai saat ini, aku masih gemetar dan takut padanya. Aku masih belum siap melakukan semuanya. “Ayo sini! Aku mau kenal kamu lebih dekat,” pintanya sambil menepuk tempat tidur, di sebelahnya bersandar saat ini. “Aku duduk di sini saja,” balasku yang duduk di kursi meja rias. “Kamu mau kakek Wicaksono tau, kalau kita masih asing? Bukankah pernikahan ini k
Aku mendelik. Pria itu sengaja membuatku malu di depan kakek. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari berkata seperti itu, semalam tidak terjadi apa-apa. Hanya kejadian memalukan yang membuatku berteriak. “Kamu mau, Kakek mencari daun muda lagi? Kegiatan olahraga malam itu hanya para pengantin baru yang bisa melakukannya. Kakek saat ini fokus dengan keberlangsungan kasta Wicaksono. Jadi, cepatlah kasih Kakek cicit,” pintanya. “Kakek!” ucapku sedikit meninggi dengan wajah merah muda, saat ini perasaanku malu sekali. Kejadian semalam itu di luar dugaan. Aku kira, dia akan memaksa malam pertama denganku. Ternyata, dia memastikan bahwa aku benar-benar datang bulan. Hanya saja, hal itu membuatku sangat malu. “Tenang saja kakek, ini pasti tokcer. Apalagi semalam aku sudah melihatnya,” ucapnya sambil melirikku penuh ejekan. Suamiku ini ternyata suka menggoda dan membuatku sedikit malu di depan umum. “Tapi, apa cucu kakek siap hidup dengan pria tanpa pekerjaan jelas seperti aku? Pe
Malam ini, aku menempatkan rumah sewa. Rumah sederhana dengan perabotan yang tidak banyak. Aku sedang berada di kamar berbicara dengan seseorang yang mengajakku bisnis di saluran telepon. “Kamu harus balikin uangku sesuai perjanjian!” “Namanya bisnis, kalo udah bangkrut di tanggung bersama. Mulai saat ini, jangan hubungi aku lagi!” Panggilan itu ditutup begitu saja. Tapi dia hanya memanfaatkan aku dan menipuku. Mas Andi terlihat memperhatikan dari depan pintu kamar. Aku tetap tidak fokus dengan kehadirannya, bahkan air mataku jatuh juga kubiarkan. “Kamu baik-baik aja?” tanya Mas Andi yang membuatku mengangkat kepala. “Yang mas Andi liat, gimana? Apa masih baik-baik saja?” Aku tidak peduli dengannya. Padahal dia baru saja pulang bekerja serabutan seperti biasanya. “Kamu sadar nggak, mas? Semua masalah ekonomi yang aku hadapi saat ini adalah salahmu!” Semua kekesalan, aku limpahkan ke Mas Andi, tapi dia tetap tidak marah. Bahkan dia masih tenang mendengarkan omelanku.
Mas Andi masih terus bertahan, bahkan dia tetap tenang. Justru aku yang semakin merasa terhina menariknya dengan paksa. “Mas! Ayo pergi dari sini! Jangan rendahkan dirimu lagi!” teriakku menarik paksa tangan mas Andi. Entah kekuatan dari mana yang membuatku bisa menarik mas Andi. Kami berjalan menjauh dari Ibu sampai berada di dekat pintu gerbang. Tiba-tiba, sosok penolongku hadir lagi. Tangan keriput itu menggenggam tangan kiriku. “Jangan memberontak! Ayo ikut Kakek!" Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak, refleks tubuhku juga mengikuti lagkahnya. “Ayah!" seru Ibuku dengan suara pelan dan kaku. Kakek Wicaksono menatap penuh amarah ke arah Ibu. Sontak, membuat Ibu semakin menunduk. Mungkin aku akan menang kali ini, tapi Ibuku tidak mungkin akan semudah itu menerimaku kembali. “Dasar menantu tidak tau diuntung!” Bentakan itu diikuti tangannya yang melayang di pipi Ibu. Saat itu juga, terlihat membekas merah di pipinya yang putih. Bahkan matanya menatap tajam ke arah
Aku tertunduk dan meneteskan air mata setelah melontarkan pertanyaan itu, memang konyol. Tapi sangat masuk akal bagiku saat ini.Tangan lembut itu menyapu pundakku, bersama dengan suara khasnya kakek Wicaksono berusaha menenangkanku lagi.“Inggit, jangan pernah bertanya seperti itu lagi. Mungkin Ibumu saja, yang salah dalam memperlakukan kalian. Sekarang kamu turuti saja, sementara kamar belakang tidak buruk-buruk amat,” jelasnya.Napas panjang yang kuhembuskan, terasa sekali melepas kekesalan. “Baiklah,” jawabku singkat. Kami menuju kamar belakang, sebuah ruangan yang tidak pernah di huni. Bahkan pembantu sekalipun enggan menginjakkan kakinya di sini. “Kakek pulang saja, di sini terlalu berdebu. Bahkan ada banyak kotoran tikus. Inggit takut nanti alergi Kakek kumat,” pintaku, sambil menyibak sarang laba-laba.Kakek Wicaksono tersenyum, menepuk pundakku. Dia akhirnya pergi meninggalkan kami. “Biar mas saja yang membereskan,” ujar mas Andi lembut, aku sebenarnya kesal sama dia tapi
“Sadar Inggit,” gumamku yang membujuk diri sendiri, “Tapi itu sesuatu yang sayang untuk di lewatkan. Lagian dia suamiku, jadi enggak masalah aku menikmatinya.” Entah sisi lainku yang lain berusaha mempengaruhi agar diri ini lepas kendali.Sampai aku benar-benar tersadar dan lompat turun dari tempat tidur, aku malu saat mas Andi membuka matanya. Hal itulah yang menyadarkan diri ini, dari perbuatan konyol.“Kenapa Ngiit?” Pertanyaan mas Andi membuatku makin salah tingkah.“Eng-nggak, Mas. A- anu, Inggit mau mandi dulu,” kilahku yang panik. Mas Andi terlihat menggelengkan kepala sambil tersenyum, matanya menatapku begitu dalam. Hal seremeh itu juga membuatku salah tingkah saat meninggalkannya ke kamar mandi. Sekonyol salah ambil handuk, dengan selimut yang dia kenakan.“Mau mandi atau mau tidur lagi,” godanya yang membuat wajah ini memerah. Aku yang sangat malu, buru-buru melepas selimut itu dan menarik handuk yang berada di dekat kursi. Langkahku cepat menuju kamar mandi sampai saat
Rasanya kenyal menempel di bibir bahkan tidak hanya itu yang kurasakan, juga ada rasa lembek dan sedikit ada lendirnya, begitu aku membuka mata. “ Huek ... huek ....” Perut ini mual tidak karuan, sebuah kecoa yang mati menempel di dinding menyentuh bibirku.Perasaan mual belum hilang lengkap menjadi kesal, saat melihat wajah mas Andi yang menahan tawa di dalam kamar mandi.“Mending juga nabrak bibirku,” gumamnya dengan tawa tersunging, gigi putihnya menjadi hiasan yang membuat aku semakin dongkol.“Puas! Punya suami kok gini banget,ya!” umpatku kesal, meninggalkan dia begitu saja di kamar mandi.Suara sikat dan air menjadi alunan musik di tengah rasa kesalku kali ini, ditambah suara riuh di dalam perut yang menandakan waktunya menambah energi kampung tengah. “Mas, sudah belum?” tanyaku sembari tetap duduk di atas tempat tidur.Mas Andi tidak bersuara sama sekali, sepertinya dia sibuk membersihkan kamar mandi sampai suaraku tidak terdengar. Aku mengentakkan kaki berjalan dengan berkaca
“Tapi aku lapar, Mas.” Dengan suara pelan aku berbicara di samping mas Andi.“Sabar, nanti kamu bisa makan. Tunggu di sini dulu ya Mas berangkat kerja, bentar saja,” bujuknya.Bibirku manyun tidak terima, ‘Emang dia mau bawa makanan dari mana? Mau berangkat kerja terus bawa makanan, secepat apa dia dapat uang? Buat bayar kos saja enggak bisa.' Itulah pikiran yang aneh melintas begitu saja.“Kenapa bengong?” tanya mas Andi yang menatap wajahku yang masih manyun. Aku hanya mendengkus dan meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaanya, agar dia paham kalau aku marah atas saran tidak masuk akalnya itu.Baru saja pintu terbuka nyonya besar Ana Rahma sudah berdiri di hadapanku saat ini, dengan kedua tangannya terlipat di depan, menatapku bagai tersangka.“Inggit, kamu lupa sama perjanjian semalam? Ibu tunggu dari pagi, suamimu yang miskin itu bahkan tidak terlihat batang hidungnya.” Mendengar setiap kata demi kata yang keluar dari bibir Ibuku, seperti aku merasa terlahir dari timun