Hari yang kutunggu tiba. Pagi ini, perasaanku gelisah, tetapi aku antusias.
“Sumpah! Hari ini aku nikah! Rasanya masih nggak percaya!” pekikku, antara senang, bingung atau mungkin hambar. Aku dan kedua orang tuaku sudah sampai di mansion keluarga Wicaksono. Aku memakai gaun pengantin milik Ibu. Yaitu gaun pengantin berwarna putih dengan brokat burung Phoenix. Gaun ini begitu cocok dengan tubuhku yang ramping. Sejak pernikahan Vanya adikku satu tahun yang lalu, predikat perawan tua sudah sangat melekat di hidupku. Setiap pertemuan keluarga, selalu saja ada yang bertanya, kapan nikah? Sudah punya pacar belum? Ingin rasanya aku menyumpal mulut mereka dengan tisu toilet. Aku sudah berada di ruang tamu, tetapi orang tuaku masih berada di luar menyapa kerabat yang lain. Aku melihat Kakek tersenyum padaku. Lalu, aku duduk berseberangan dengan Kakek. “Inggit sayang, ini Andi Hermawan." Kakek memperkenalkanku pada calon suamiku. Lalu, aku melihat Kakek tersenyum pada Andi. "Andi, ini Inggit Ganarsih Wicaksono. Dia cucu yang sering saya ceritain.” Mendengar perkataan kakek Wicaksono, membuatku terkejut. ‘Apa? Bukannya dia adalah orang yang pernah ditolong Kakek? Asal-usul Andi aja nggak jelas. Bahkan, Ibu selalu mengumpatnya sebagai pria miskin dan benalu di keluarga Wicaksono.’ Saat itu juga, aku menutup mata berusaha menerima kenyataan. Tuhan, apakah aku sudah salah memilih jodoh? “Kenapa Inggit, kamu enggak suka? Apa Inggit menyesal karena udah terima pilihan kakek?” tanya Kakek, semakin membuatku gugup. Melihat tinggi badannya yang 175cm, sebenarnya sudah membuatku takjub. Bahkan parasnya yang tampan mampu membuat jantungku berdegup kencang. Salahnya, aku melangkah terlalu cepat meninggalkan Ibu dan Ayah beserta saudaraku yang lain. Sampai sekarang, aku belum menjawab pertanyaan Kakek. Tubuh ini seolah membeku dan lidahku seolah kelu. ‘Semoga Ibu nggak murka,’ batinku panik. Berharap ibu akan sadar setelah kami menikah nanti. “Inggit?” tegur Kakek, menyadarkan lamunanku. “Oh, aku nggak menyesal,” jawabku sedikit ragu. Saat ini, ingin kabur dari kakek, aku takut dia melempar pertanyaan-pertanyaan yang membuatku panik. “Mana orang tua kamu?” tanya kakek, membuatku semakin panik. “Em … anu, anu.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, lalu lanjut menjawabnya. “I-Ibu dan A-Ayah masih berbicara dengan yang lain di luar,” jawabku terbata. Kemudian membeku lagi, seperti bingung harus bagaimana. Pria itu mengulurkan tangannya, aku masih tidak bisa mengontrol diri dengan rasa terkejut ini. Bahkan lama aku memperhatikan, tangannya yang dibalut kaos tangan putih. “Ehem!” Suara Andi membuatku sadar, perlahan aku menjabat tangannya. “Andi Hermawan. Semoga kita bisa menjadi pasangan Suami Istri yang bahagia,” ucap Andi. Bodohnya aku bukannya menjawab, tetapi justru menatapnya dengan bingung. Namun senyum manisnya, menyadarkanku lagi. “Oh … ya, aku Inggit Garnasih Wicaksono.” Tersadar dengan ucapanku yang singkat dan terkesan kaku. Aku tidak menunjukkan ekspresi yang berkesan. Bukannya marah atau tersinggung, Andi malah terkekeh kecil seperti mengejekku. ‘Tenang, Inggit! Apapun asal-usulnya, dia pilihan Kakek kamu. Pernikahan ini pasti lancar. Sedangkan kekayaan masih bisa dicari. Setidaknya, kamu selamat dari perjodohan Ibumu,’ batinku, berusaha menguatkan diri. “Menyesal, ya? Jauh dari ekspektasi.” Bisikan yang diikuti aroma hembus napasnya, membuat aku mendelik. Mau kusimpan di mana wajahku saat ini? Andi sadar dengan segala ekspresi yang dia lihat sejak tadi. Aku menggeleng, lalu berdiri. Aku berjalan di belakang kakek menuju ruang pernikahan. “Inggit!” Suara Ibu sangat khas seperti tsunami yang akan memporak-porandakan hariku. ‘Tuhan, jangan sampai Ibu melihat sosok calon Suamiku ini,’ batinku. Langkah kakinya penuh semangat dan semakin terdengar dekat di belakangku. “Ayah, maaf kami terlambat,” ujar Ibu. Segera, aku membuka mata melihat ekspresi wajah Ibu. Aku mengelus dada lega, perasaan yang masih tidak menentu ini sesekali menghentikan detak jantungku. Kedua orang tuaku duduk di tempatnya masing-masing. Tidak lama kemudian, Kakek mulai berbicara di depan para tamu. “Pagi ini, aku akan menikahkan Cucuku tersayang.” Aku menelan Saliva mendengar ucapan kakek, sesekali melihat ekspresi wajah Ibu yang masih sumringah bahagia. “Akan aku perkenalkan calon pria yang akan jadi Suaminya. Andi kemarilah!” Kakek memanggil Andi dengan penuh kasih sayang. Saat itu juga, ekspresi ibu berubah masam. Bahkan, seperti dilempar kotoran ke wajahnya. Ibu menatapku, amarah itu seperti melepas nyawa ini. Aku pikir, Ibu akan tetap diam dan menahan amarahnya. Namun prediksiku meleset. Ibu berdiri, lalu menghampiri Kakek. “Ayah nggak bercanda, kan? Aku harap, ini bukan lelucon!” Ibu kesal. “Kenapa harus bercanda? Nggak ada sejarahnya Wicaksono bercanda dalam urusan sakral begini.” Wajah Ibu semakin memerah saat mendengar jawaban Kakek yang begitu santai. “Gila! Ayah suruh Inggit nikah sama pria miskin yang nggak jelas asal-usulnya ini?!" Ibu menunjuk Andi dengan kecewa dan tatapan menghina. Ibu benar-benar terlihat kecewa. “Kalau gitu, aku bawa Inggit pulang aja!” Ibu menolak pernikahanku dan Andi. Bukan Ibu kalau menerima menantu miskin. Ibu menarik tanganku. Aku pasrah. Mungkin ini memang takdirku tidak jadi menikah.Walaupun aku pasrah, mengikuti kemauan ibu membuatku sedikit bersedih. Sebenarnya, aku tidak mempermasalahkan asal-usul Andi. Aku juga tidak mempermasalahkan dia miskin ataupun kaya raya! Hanya saja, Ibu tidak mau kami menjadi bahan lelucon bagi keluarga besar keluarga Wicaksono. Ibu ingin Ayahku selalu menjadi nomor satu di keluarga besar meskipun harus mengorbankan anaknya sendiri. “Berhenti!” Suara Kakek memenuhi ruangan. Kali ini, Kakek marah. Apakah Kakek merasa sudah dipermalukan di depan umum? Saat itu juga, aku menahan malu dan sedih bersamaan. Semuanya karena pernikahan sialan ini! Seandainya saja aku menerima Arga, mungkin hanya aku yang akan menderita, tetapi tidak dengan Kakek. Karena nyatanya, justru Kakek yang dipermalukan di depan keluarga besar oleh Ibuku. “Kalo kamu berani pergi selangkah pun dari sini, saya akan minta Delano untuk menceraikan kamu." Kakek mengancam ibu. Aku menelan saliva saat itu juga. Menurutku, selama ini Ibu menikah dengan Ayah demi m
"Jadi ke kamar mandi, enggak? Apa perlu Mas Andi temani? Siapa tau perlu bantuan ... buka resleting bajumu." Dia menggodaku lagi. Aku merasa, Mas Andi sangat senang menggodaku. “Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri,” jawabku yang gugup. Mas Andi hanya tersenyum, lalu membiarkan aku pergi untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Suara air di kamar mandi saat ini, membuatku sedikit tenang. Hingga keluar dengan perasaan canggung, melihat matanya lekat menatapku dalam. Bahkan Mas Andi melihat diriku dari atas sampai kaki. Pasti pikiran kotor melintas di benaknya. Apa dia pikir aku mau langsung melakukan malam pertama? Padahal sampai saat ini, aku masih gemetar dan takut padanya. Aku masih belum siap melakukan semuanya. “Ayo sini! Aku mau kenal kamu lebih dekat,” pintanya sambil menepuk tempat tidur, di sebelahnya bersandar saat ini. “Aku duduk di sini saja,” balasku yang duduk di kursi meja rias. “Kamu mau kakek Wicaksono tau, kalau kita masih asing? Bukankah pernikahan ini k
Aku mendelik. Pria itu sengaja membuatku malu di depan kakek. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari berkata seperti itu, semalam tidak terjadi apa-apa. Hanya kejadian memalukan yang membuatku berteriak. “Kamu mau, Kakek mencari daun muda lagi? Kegiatan olahraga malam itu hanya para pengantin baru yang bisa melakukannya. Kakek saat ini fokus dengan keberlangsungan kasta Wicaksono. Jadi, cepatlah kasih Kakek cicit,” pintanya. “Kakek!” ucapku sedikit meninggi dengan wajah merah muda, saat ini perasaanku malu sekali. Kejadian semalam itu di luar dugaan. Aku kira, dia akan memaksa malam pertama denganku. Ternyata, dia memastikan bahwa aku benar-benar datang bulan. Hanya saja, hal itu membuatku sangat malu. “Tenang saja kakek, ini pasti tokcer. Apalagi semalam aku sudah melihatnya,” ucapnya sambil melirikku penuh ejekan. Suamiku ini ternyata suka menggoda dan membuatku sedikit malu di depan umum. “Tapi, apa cucu kakek siap hidup dengan pria tanpa pekerjaan jelas seperti aku? Pe
Malam ini, aku menempatkan rumah sewa. Rumah sederhana dengan perabotan yang tidak banyak. Aku sedang berada di kamar berbicara dengan seseorang yang mengajakku bisnis di saluran telepon. “Kamu harus balikin uangku sesuai perjanjian!” “Namanya bisnis, kalo udah bangkrut di tanggung bersama. Mulai saat ini, jangan hubungi aku lagi!” Panggilan itu ditutup begitu saja. Tapi dia hanya memanfaatkan aku dan menipuku. Mas Andi terlihat memperhatikan dari depan pintu kamar. Aku tetap tidak fokus dengan kehadirannya, bahkan air mataku jatuh juga kubiarkan. “Kamu baik-baik aja?” tanya Mas Andi yang membuatku mengangkat kepala. “Yang mas Andi liat, gimana? Apa masih baik-baik saja?” Aku tidak peduli dengannya. Padahal dia baru saja pulang bekerja serabutan seperti biasanya. “Kamu sadar nggak, mas? Semua masalah ekonomi yang aku hadapi saat ini adalah salahmu!” Semua kekesalan, aku limpahkan ke Mas Andi, tapi dia tetap tidak marah. Bahkan dia masih tenang mendengarkan omelanku.
Mas Andi masih terus bertahan, bahkan dia tetap tenang. Justru aku yang semakin merasa terhina menariknya dengan paksa. “Mas! Ayo pergi dari sini! Jangan rendahkan dirimu lagi!” teriakku menarik paksa tangan mas Andi. Entah kekuatan dari mana yang membuatku bisa menarik mas Andi. Kami berjalan menjauh dari Ibu sampai berada di dekat pintu gerbang. Tiba-tiba, sosok penolongku hadir lagi. Tangan keriput itu menggenggam tangan kiriku. “Jangan memberontak! Ayo ikut Kakek!" Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak, refleks tubuhku juga mengikuti lagkahnya. “Ayah!" seru Ibuku dengan suara pelan dan kaku. Kakek Wicaksono menatap penuh amarah ke arah Ibu. Sontak, membuat Ibu semakin menunduk. Mungkin aku akan menang kali ini, tapi Ibuku tidak mungkin akan semudah itu menerimaku kembali. “Dasar menantu tidak tau diuntung!” Bentakan itu diikuti tangannya yang melayang di pipi Ibu. Saat itu juga, terlihat membekas merah di pipinya yang putih. Bahkan matanya menatap tajam ke arah
Aku tertunduk dan meneteskan air mata setelah melontarkan pertanyaan itu, memang konyol. Tapi sangat masuk akal bagiku saat ini.Tangan lembut itu menyapu pundakku, bersama dengan suara khasnya kakek Wicaksono berusaha menenangkanku lagi.“Inggit, jangan pernah bertanya seperti itu lagi. Mungkin Ibumu saja, yang salah dalam memperlakukan kalian. Sekarang kamu turuti saja, sementara kamar belakang tidak buruk-buruk amat,” jelasnya.Napas panjang yang kuhembuskan, terasa sekali melepas kekesalan. “Baiklah,” jawabku singkat. Kami menuju kamar belakang, sebuah ruangan yang tidak pernah di huni. Bahkan pembantu sekalipun enggan menginjakkan kakinya di sini. “Kakek pulang saja, di sini terlalu berdebu. Bahkan ada banyak kotoran tikus. Inggit takut nanti alergi Kakek kumat,” pintaku, sambil menyibak sarang laba-laba.Kakek Wicaksono tersenyum, menepuk pundakku. Dia akhirnya pergi meninggalkan kami. “Biar mas saja yang membereskan,” ujar mas Andi lembut, aku sebenarnya kesal sama dia tapi
“Sadar Inggit,” gumamku yang membujuk diri sendiri, “Tapi itu sesuatu yang sayang untuk di lewatkan. Lagian dia suamiku, jadi enggak masalah aku menikmatinya.” Entah sisi lainku yang lain berusaha mempengaruhi agar diri ini lepas kendali.Sampai aku benar-benar tersadar dan lompat turun dari tempat tidur, aku malu saat mas Andi membuka matanya. Hal itulah yang menyadarkan diri ini, dari perbuatan konyol.“Kenapa Ngiit?” Pertanyaan mas Andi membuatku makin salah tingkah.“Eng-nggak, Mas. A- anu, Inggit mau mandi dulu,” kilahku yang panik. Mas Andi terlihat menggelengkan kepala sambil tersenyum, matanya menatapku begitu dalam. Hal seremeh itu juga membuatku salah tingkah saat meninggalkannya ke kamar mandi. Sekonyol salah ambil handuk, dengan selimut yang dia kenakan.“Mau mandi atau mau tidur lagi,” godanya yang membuat wajah ini memerah. Aku yang sangat malu, buru-buru melepas selimut itu dan menarik handuk yang berada di dekat kursi. Langkahku cepat menuju kamar mandi sampai saat
Rasanya kenyal menempel di bibir bahkan tidak hanya itu yang kurasakan, juga ada rasa lembek dan sedikit ada lendirnya, begitu aku membuka mata. “ Huek ... huek ....” Perut ini mual tidak karuan, sebuah kecoa yang mati menempel di dinding menyentuh bibirku.Perasaan mual belum hilang lengkap menjadi kesal, saat melihat wajah mas Andi yang menahan tawa di dalam kamar mandi.“Mending juga nabrak bibirku,” gumamnya dengan tawa tersunging, gigi putihnya menjadi hiasan yang membuat aku semakin dongkol.“Puas! Punya suami kok gini banget,ya!” umpatku kesal, meninggalkan dia begitu saja di kamar mandi.Suara sikat dan air menjadi alunan musik di tengah rasa kesalku kali ini, ditambah suara riuh di dalam perut yang menandakan waktunya menambah energi kampung tengah. “Mas, sudah belum?” tanyaku sembari tetap duduk di atas tempat tidur.Mas Andi tidak bersuara sama sekali, sepertinya dia sibuk membersihkan kamar mandi sampai suaraku tidak terdengar. Aku mengentakkan kaki berjalan dengan berkaca