Share

Jodoh Pilihan Opa

"Kalian menikahlah! Opa bisa pergi dengan tenang kalau cucu kesayangan Opa menikah dengan pemuda sebaik Nak Agam."

Aina melirik Agam yang duduk tak jauh darinya. Pemuda itu baru saja datang dengan Tante Maya setengah jam lalu. Iseng membahas dengan Mama kenapa anak-anak mereka yang sudah masuk usia matang belum juga menikah. 

Sepuluh menit kemudian Aina bergabung. Celetukan itu keluar begitu saja dan siapa yang mengira kalau semua orang yang ada di situ justru semangat menanggapinya.

"Bagaimana kalau Aina menikah saja dengan Agam. Mereka sepertinya akan cocok."

"Benarkah?" Mama semangat menanggapi. "Apa Agam tidak keberatan? Anakku Aina jauh dari kata sempurna. Dia masih kekanak-kanakan. Tidak seperti Agam yang sudah jauh lebih dewasa."

Tante Maya tersenyum menanggapi. "Agam tentu akan setuju. Apalagi Aina cantik dan ceria. Soal kekanak-kanakan, itu cukup wajar mengingat usianya lebih muda lima tahun dari Agam, bukan?" Tante Maya melirik Agam yang memilih diam mendengarkan. Walau samar, Tante Maya jelas bisa melihat rona merah di pipi anaknya.

"Bagaimana dengan calon mempelai wanitanya. Apa dia bersedia?" Tante Maya melirik Aina yang sedang duduk di dekat Opa.

Aina memilih tersenyum kecil. Setidak setuju apapun dia dengan rencana itu, Aina jelas tidak mungkin langsung mengutarakan kalimat penolakan.

"Aina masih ingin sendiri, Tante." Alasan klasik itulah yang akhirnya gadis itu pilih. "Aina juga sedang meniti karir. Jadi, Aina sama sekali belum memikirkan soal menikah untuk satu atau dua tahun ke depan."

Situasi menjadi canggung. Senyum lebar dan tawa yang tadi mengudara menghilang hingga sebuah kalimat pendek menyela, berusaha membunuh rasa canggung yang ada.

"Kau masih bisa tetap bekerja walau sudah menikah, Aina." Mama berujar dengan santai. 

"Tentu saja. Agam jelas akan mengizinkannya." Tante Maya semangat menimpali.

Aina hendak memberikan alasan lain saat suara Opa yang duduk di sampingnya lebih dulu menyela.

"Agam pemuda yang baik. Tidak ada salahnya kalau kalian menikah. Tante Maya dan Mamamu jelas sahabat yang dekat, mereka bisa akur sebagai besan." 

"Tapi, Opa-"

"Kau sudah dewasa, Aina. Kau harus menikah dengan orang yang tepat. Orang yang memiliki keluarga yang baik. Orang yang dewasa, penyayang, pekerja keras dan bisa menjagamu dengan baik. Opa merasa Agam cukup memiliki kriteria itu. Percaya pada opamu ini, Opa jelas punya penilaian yang baik."

Aina menggigit bibir. Opa memang selalu mengatakan hal yang menurutnya baik untuknya. Sedari dulu, opanya itu bahkan selalu memberikan yang terbaik untuk Aina. Pendidikan, kasih sayang dan cinta yang hampir tidak pernah Aina dapatkan dari sosok Ayah.

Itulah kenapa Aina selalu merasa berat untuk menolak keinginan Opa. Tapi ini menyangkut sebuah pernikahan. Hal yang jelas penting sekali untuknya. 

Aina jelas mau menikah, tapi bukan sekarang. Juga bukan dengan sosok pemuda yang saat ini dijodohkan dengannya. Dia yang ingin Aina nikahi saat ini sedang dinas di luar kota. Aina juga belum memastikan apakah Bintang, sahabatnya itu mau menikahinya atau tidak.

Selama lima tahun menjalin hubungan persahabatan, mereka belum pernah membahas tentang itu. Mereka dekat, sering berbagi apapun. Semua orang bahkan kerap mengira mereka pacaran. Namun, hanya sebatas itu. Bintang sesekali mengencani gadis lain hanya untuk putus dan menjadikan Aina tempat curhatnya. 

Tapi, bukankah ciuman yang mereka lakukan kemarin adalah sebuah pertanda adanya kemajuan dari hubungan mereka? Aina jelas tidak bisa menyimpulkannya seorang diri. Dia harus meminta kepastian Bintang terlebih dulu dan itu jelas butuh waktu.

Kabar buruknya, ketidakjelasan hubungan mereka membuat Aina tidak bisa mengatakan kalau dia sudah mempunyai calon suami pilihannya sendiri.

"Opa, bukankah ini terlalu buru-buru?" 

"Kau tidak percaya pada penilaian, opamu, Aina?"

Aina menggeleng cepat. "Bukan begitu, Opa. Hanya saja bisakah Aina memikirkannya terlebih dulu. Pernikahan bukan hal yang mudah."

Opa tertawa kecil. "Kau tidak akan menikah sekarang jika karena itu alasan kau menolak."

Opa kini beralih menatap Agam, subjek pembicaraan lain. "Bagaimana kalau bulan depan, Agam? Kau tidak keberatan, bukan?"

"Opa!" 

"Terserah Opa baiknya. Agam setuju."

"Hey?!"

"Lihat, anakku bahkan langsung menyutujuinya tanpa berpikir." Tante Maya berseru girang.

"Sepertinya kita akan menjadi besan, Maya." Mama menimpali tak kalah senang.

Tak ada satu pun dari mereka mendengarkan apalagi memperhatikan ekspresi calon pengantin wanitanya.

"Bisakah kita bicara?" Aina memilih berdiri, menghampiri calon suami dadakannya itu. "Hanya berdua."

"Tentu."

Aina berjalan lebih dulu, Agam mengikutinya tanpa perlu disuruh. Opa, Mama dan Tante Maya sudah sibuk membahas rencana pesta pernikahan dadakan itu.

**

Kamar di lantai dua. 

"Bukankah ini konyol?" Aina tersenyum kecil. "Kita jelas tidak bisa menikah karena sebuah candaan orang tua kita, bukan? Apalagi kita sama sekali tidak saling mengenal satu sama lain."

Agam menghela nafas pendek. Dia jelas tahu situasinya, tapi dia juga tahu apa yang hatinya inginkan.

"Tentu saja bisa. Lagi pula, aku mengenalmu Aina. Kau dari divisi pemasaran PT Yanova. Kita pernah bertemu beberapa kali. Kau lupa?"

Aina tahu. Dia jelas mengenal Agam. Pemuda itu pernah bertemu dengan Bintang di kantor. Mereka beberapa kali bertegur sapa sebagai formalitas pekerjaan saat Aina iseng mengunjungi ruangan milik Bintang. Tak lebih dari itu.

"Maksudku mengenal dalam artian kita saling tahu apa yang kita suka, kepribadian, kebiasaan dan banyak hal yang tidak bisa diketahui hanya dari sebatas tegur sapa ringan saat urusan pekerjaan." Aina memberikan definisi mengenal versinya lebih jelas.

"Itu bisa kita lakukan saat kita sudah menikah. Bagiku itu bukan hal yang sulit."

Aina tak habis pikir dengan sosok di depannya. Agam terlihat santai saja menanggapi rencana konyol itu.

"Apa kau begitu menginginkan pernikahan ini?" 

Agam berjalan mendekat. Membuat Aina refleks melangkah mundur. 

"Kau ingin jawaban yang jujur?" Suara pemuda itu berubah menjadi serius dari sebelumnya.

Aina refleks mengangguk. 

"Aku memang sangat menginginkannya. Bahkan jika itu harus dilakukan sekarang, aku siap. Ah, tidak. Aku bahkan selalu siap kapan pun itu."

Hening tercipta. Cukup lama. Hingga helaan nafas panjang pun bahkan bisa terdengar dengan jelas. 

"Apa yang harus aku lakukan agar kau setuju dengan pernikahan ini?" 

"Kenapa aku harus setuju dengan pernikahan ini?" Aina balas bertanya.

"Karena itu keinginan opamu?" Agam mengeluarkan kartu As miliknya. Hal yang membuat Aina tak bisa langsung menyahut seperti sebelumnya.

"Apa alasan kau setuju dengan pernikahan ini?" 

Agam tersenyum kecil. Haruskah dia mengatakan alasan yang sebenarnya kalau dia jatuh cinta pada gadis itu bahkan di detik pertama pertemuan mereka?

Sosok cantik yang penuh semangat dan suka bicara itu menarik atensinya. Agam bertemu dengan Aina saat harus menyelesaikan satu-dua hal dengan perusahaan tempat gadis itu bekerja. Mereka memang tidak bekerja secara langsung, namun mereka bertemu cukup sering mengingat orang yang Agam temui memang cukup dekat dengan Aina.

Dan entah ini beruntung atau keajaiban, hari ini saat mamanya meminta dengan paksa dirinya untuk menjadi supir untuk mengunjungi Opa dan sahabat lamanya, Agam justru bertemu dengan Aina. Bukan hanya bertemu, melainkan langsung diberikan akses untuk menikahinya. Mana mungkin Agam menolak.

"Kau bisa mengajukan syarat apapun untuk pernikahan kita. Aku akan memenuhinya. Apa itu cukup membantu?" Agam memilih memendam kebenaran itu sendiri. Setidaknya untuk sekarang yang ia butuhkan adalah kemauan Aina untuk menyutujui pernikahan ini.

"Anggap saja aku membantumu untuk mewujudkan keinginan opamu. Itu bentuk kebaikan." 

"Tanpa pamrih?" Aina menatap Agam penuh selidik. "Tidak mungkin, Agam. Kau pasti menginginkan sesuatu juga dariku, bukan?"

"Tentu. Aku ingin kita menikah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status